15.


Wisnu berjalan cepat, setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Satu jam lalu, papanya menghubungi dan mengabarkan jika Ryan dibawa ke IGD karena mengalami kecelakaan luka bakar. Wisnu tak lagi bertanya apapun selain meminta informasi, rumah sakit mana yang mereka tuju untuk anak sulungnya.

Ia yang tengah menghadiri pertemuan bidding salah satu perusahaan air, terpaksa undur diri akibat khawatir dengan kondisi Ryan yang dikabarkan melepus setengah badan. Wisnu bahkan tak peduli dengan aturan dan sopan santun dalam berkendara. Bak kesetanan, ia melajukan mobilnya secepat mungkin untuk sampai di rumah sakit.

Saat sudah memasuki parkiran, papanya menghubungi kembali untuk mengabarkan jika Ryan harus menjalani rawat inap hingga lukanya berangsur membaik. Beliau memberitahu Wisnu kamar rawat Ryan agar pria itu bisa langsung menuju tempat yang dimaksud.

Napas Wisnu naik turun dengan cepat saat tubuhnya sampai di depan pintu dengan nomor kamar yang ia dengan dari papanya. Tangannya membuka pintu dan melihat pemandangan mengerikan di matanya.

Ryan terbaring tanpa busana. Ia hanya mengenakan celana dalam saja dan menangis mengeluhkan kulitnya yang sakit. Di samping Ryan, tampak mamanya menangis menenangkan cucunya seraya memarahi Shanti yang berdiri seraya terisak. Bayu pun tampak tak nyaman meski berada di gendongan maminya.

Rungu Ryan mendengar jelas bagaimana mamanya menegur istrinya dengan keras, ketus, dan tegas.

"Mama tuh gak masalah ya, Shan, kalau kamu gak bisa jadi istri yang rajin. Pinta Mama tuh cuma satu, jagain dan warat anak kamu sebaik mungkin. Mereka itu masa depan kamu dan Wisnu. Jangan ceroboh sampai kaya gini. Ya Allah, Mama miris lihat cucu mama begini." Tangis mama Wisnu pecah lagi bersamaan dengan rintihan sakit yang keluar dari mulut Ryan.

Kacau. Satu kata itu penilaian Wisnu melihat kondisi kamar VIP yang papanya pesan untuk Ryan. Bayu merengek tak nyaman, papanya menenangkan Ryan seraya mengipas tubuh anak itu yang melepuh dan mamanya memarahi Shanti habis-habisan.

"Wisnu bilang kamu istri yang rajin dan cermat. Mama berusha percaya omongan anak Mama, meski saat Mama ke rumah kalian, mama Cuma bisa menemukan kekacauan di sana. Rumah berantakan, kotor, barang yang berada tidak pada tempatnya hingga kulkas yang gak ada bahan masakan. Mama gak masalah, Shan, gak masalah. Hanya saja tolong jangan lalai sama cucu Mama. Apalagi Ryan."

Shanti hanya menunduk dengan wajah yang terlihat pilu. Wisnu memahami jika Shanti juga pasti terpukul dengan kejadian ini. Entah bagaimana awal mulanya hingga hari yang harusnya menjadi jadwal wisata Ryan, menjadi batal dan pindah ke rumah sakit untuk dirawat.

"Ma, sudah." Wisnu angkat suara seraya masuk mendekati mereka. Ia mengambil Bayu yang tampak rewel dari gendongan Shanti dan menimang bungsunya agar lebih tenang. "Shanti pasti gak sengaja," bela Wisnu mencoba mendinginkan suasana.

"Setiap pembelaan atas kesalahan pasti kalimat gak sengaja. Mama tahu pasti dia gak sengaja, tapi cerobohnya ituloh ... masa suruh Ryan goreng nugget sendiri. Kalau gak sanggup masak, bilang Mama biar mama bawain dari rumah buat cucu mama makan."

"Shanti gak suruh Ryan goreng ngget, Ma," bela Shanti lirih ditengah isaknya.

"Memang gak suruh, tapi anak kamu itu kaya anak saya yang inisiatifnya tinggi. Tahu ada yang belum beres, pasti dikerjakan. Kamunya yang kurang rajin dan ringkas dalam bekerja mengurus anak dan rumah tangga." Wajah si oma masih tegang dan terlihat tak terima dengan apa yang menimpa cucunya. Setiap melihat tubuh Ryan, wanita paruh baya ini pasti meringis seakan ia yang merasakan sakit dan perih.

"Beneran Shan, lain kali kalau kamu lalai gini, mending Ryan tinggal sama Mama."

"Ma, Ryan anak kami. Selayaknya menjadi tanggung jawab kami." Wisnu menyela lembut perkataan ibunya. "Wisnu minta maaf, libutan Mama dan Ryan jadi batal."

"Bukan masalah liburan batal, Nu. Ini kasihan anaknya sakit begini. Mama jadi ngenes lihat Ryan yang sudah rajin belajar saat ujian, jadi gagal liburan. Salah siapa?" Mata Oma melirik Shanti dengan binar menantang. "Salah siapa Ryan gak jadi berangkat lihat robot kesukaan dia?"

"Shanti minta maaf, Ma." Ibu kandung Ryan ini hanya bisa menunduk pasrah menerima semua ocehan mertuanya. Meski wajah Shanti sudah basah berurai air mata, tetap saja seperti tak ada ampun untuk wanita ini. Meski kesal dan emosi, Wisnu tak tega juga melihat istrinya diperlakukan begini. Wajah Shanti terangkat dan menatap Wisnu nelangsa. "Mami bisa jelasin, Pi." Sorot mata Shanti membuat hati Wisnu terasa nyeri, tetapi kondisi hubungan mereka juga masih dingin.

Alih-alih mendekati istrinya dan memberikan pelukan, Wisnu justru keluar kamar dan mencari dokter atau perawat untuk bertanya tentang kondisi anaknya. Setelah mendapat informasi yang ia butuhkan, Wisnu kembali memasuki kamar yang sedikit mulai tenang karena mamanya tak lagi mengomel panjang lebar.

"Mi, pulang," perintah Wisnu tegas pada Shanti yang tampak terperanjat. "Papi antar pulang sekarang."

Shanti terlihat bingung juga panik. "Tapi kan Ryan—"

"Ada Mama, Mi. Biar Ryan sama Oma dan Opanya. Mami pulang sekarang." Tatapan mata Wisnu tajam dan tegas. Seakan meminta Shanti untuk patuh dan tak membantah apapun perintahnya.

Hati Shanti terasa mencelus melihat Wisnu memperlakukannya begini. Biasanya, Wisnu akan meminta penjelasannya dan memberikannya pengertian bagaimana memperbaiki keadaan yang kacau. Kali ini, Wisnunya beda. Suaminya berubah menjadi sulit mengerti apa yang ia inginkan. Shanti hanya ingin memberi penjelasan dan tetap tinggal di kamar ini untuk merawat Ryan.

"Mi, pulang. Berangkat sekarang." Wisnu membuka pintu dan menatap Shanti tegas.

Tubuh Shanti yang sudah gemetar akibat menahan amarah dan tekanan, mendekati Ryan dan mencium sekilas putranya. "Nanti Mami ke sini lagi." Lalu, beranjak dari kamar rawat itu dan mengikuti langkah Wisnu yang tegas dan cepat menuju parkiran.

Selama perjalanan pulang menuju rumah, Wisnu tak sedikit pun bicara. Gestur pria itu tegang dan dingin seperti diliputi amarah yang besar. Shanti ingin memulai obrolan dan klarifikasinya, tetapi takut Wisnu akan menyela dan menolak dengar ucapannya.

Sampai rumah, Wisnu memarkirkan mobilnya di depan rumah. Pria itu membuka pintu kemudi dan langsung memasuki kediamannya tanpa menunggu Shanti yang masih sedih sendiri. Air mata Shanti ingin jatuh lagi, tetapi wanita itu berkeras menahan isak tangis.

Shanti mengambil Bayu dan menggendong bocah itu, lalu turun mobil. Saat ia memasuki kediaman mereka, Shanti melihat Wisnu yang membuka lemari Ryan dan mengambil baju-baju bocah itu.

"Kakak udah packing di tas jinjing Bumblebee itu, Pi." Shanti mencoba memancing suara dan obrolan Wisnu.

"Tas itu untuk ke Singapura, bukan rumah sakit." Wisnu tak menoleh pada Shanti dan tetap fokus memilah baju untuk dibawa kembali ke tempat anak dan orangtuanya berada.

"Mami bisa jelasin, Pi ... beneran Mami gak suruh Ryan goreng nugget sendiri. Mami beneran gak tahu kenapa anak itu tiba-tiba ada di dapur dan mainan penggorengan panas."

Wisnu beralih mengambil tas secara acak dan memasukkan baju-baju Ryan. Sedikitpun ia tak tampak tertarik memberikan waktu pada Shanti yang berdiri di ambang pintu.

"Mami minta maaf,Pi. Beneran minta maaf."

Netra Wisnu kini memindai keadaan rumah yang berantakan. Tumpukan baju kering ada di depan tivi, serakan mainan yang ada di atas kamar mereka, dapur dengan minyak tumpah dan wajah yang masih tergeletak di lantai. Wisnu meringis samar membayangkan seberapa banyak minyak panas yang mengguyur tubuh anaknya.

"Papi ...," panggil Shanti sekali lagi penuh permohonan. "Maafin Mami," cicitnya nelangsa dan sendu.

"Beresin rumah ini sekarang. Buktikan kalau kamu adalah ibu yang rajin dan cermat, seperti pembelaanku pada Mama terhadap kamu." Wisnu bersuara dingin dan tegas, sebelum beranjak pergi meninggalkan Shanti dan Bayu.

Tangis Shanti pecah dan isaknya cukup terdengar pilu. Ia meliarkan padangan dan menyadari tugasnya sangat banyak hingga rasanya tak mampu mengemban seorang diri. Ia memeluk Bayu dan terisak sendiri sambil memeluk bocah itu.

Shanti merasa ia gagal menjadi istri dan ibu. Shanti merasa hidupnya kacau dan ia tak bisa membenahi semua yang terlanjur runyam.

Shanti tak bisa. Shanti tak sanggup. Shanti tak mampu. Sekeras apapun usahanya dan sebesar apapun niatnya, alam seakan tak merestui setiap langkahnya mencoba menjadi ibu sempurna. Apapun yang coba ia persembahkan untuk anaknya, selalu berakhir gagal atau membuatkan bencana.

Shanti meracau dalam tangis seguknya, "Aku gak bisa, aku gak sanggup, aku selalu gagal."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top