14.

"Papi kerja? Kan ini hari Minggu." Ryan bertaya pada papinya yang tengah bersiap di depan cermin kamar. Wisnu tampil rapi dengan kaus kerah merah marun dan celana jins warna gelap. Pria itu tengah menyisir rambutnya yang lurus dan tebal.

Wisnu menghentikan geraknya menyisir dan menoleh pada sulung yang mewarisi hampir seluruh wajah masa kecilnya. "Iya, kerja. Kakak di rumah saja sama Mami dan Adek, ya."

"Tapi, kan, ini Minggu."

"Papi lembur. Harus pergi ke proyek untuk pantau pengiriman barang, Kak. Nanti kalau Kakak sudah besar, pasti tahu deh rasanya bekerja."

Ryan tak lagi melanjutkan obrolan dengan papinya dan memilih mengambil ponsel Shanti dan menghubungi omanya. Ia melakukan vidio call dan bercerita kepada sang oma tentang kebosanannya berada di rumah pada akhir minggu.

"Emangnya Papi kerja? Gak ajak Kakak jalan-jalan?"

Ryan menggeleng dengan wajah sedih. Ia mengadu pada sang oma bahwa sudah tak sabar ingin berwisata.

Ditempatnya, Wisnu hanya terdiam menatap sang anak yang tampaknya lebih nyaman dengan oma daripada maminya. "Setelah ujian selesai, Kakak boleh jalan-jalan." Suara Wisnu terdengar oleh mamanya dan mereka terlibat percakapan singkat sebelum akhirnya Wisnu pamit untuk berangkat kerja."

Setelah keluar kamar, netra Wisnu melirik Shanti yang tampak fokus dengan komputernya. Entah apa yang dikerjakan istrinya, Wisnu menebak paling menyelesaikan urusan tata letak naskah novel yang menjadi rutinitas sampingan Shanti. Ia tak mengucapkan apapun pada Shanti, pun Shanti yang memilih tetap fokus pada layar monitor kerjanya.

Meski sudah lewat beberapa hari dari penolakan Wisnu terhadap pemohonan liburan Shanti, hubungan mereka masih dingin. Wisnu lebih suka tidur bersama Ryan di kamar anak-anak, sedang Shanti tidur di kamar mereka bersama Bayu. Shanti tak lagi menyambut Wisnu yang selalu pulang larut malam dan membuatkannya teh jahe hangat.

Wisnu agak kesal juga dengan Shanti yang semakin kesini, semakin dirasa bertambah manja. Harusnya, semakin matang usia wanita, semakin dewasa pemikiran mereka. Shanti kerap mengeluh saja tanpa mencoba memperbaiki keadaan atau membuktikan padanya bahwa ia memiliki satu saja hal yang bisa Wisnu banggakan.

Setelah memakai alas kaki, Wisnu menekan tombol kunci mobil dan bersiap pergi. Jadwal hari ini hanya visit ke tempat wisata yang sedang proses pembangunan waterboom dan memastikan beberapa pipa impor yang ia kirim pada klien kondisinya baik. Ia juga harus menjelaskan beberapa hal pada kliennya, setelah itu pulang. Perkiraan Wisnu, acaranya hari ini hanya akan memakan waktu sekitar setengah hari saja. Namun entah mengapa ia malas berada di rumah, padahal Minggu adalah hari untuk membantu Shanti membersihkan dapur dan kamar mandi.

Tanpa terasa, ujian Ryan berakhir sudah. Bocah itu kepalang senang setiap hari menghubungi omanya dan saling bercerita tentang banyak hal terkait liburan. Apa yang akan mereka lakukan di sana dan apa yang akan mereka bawa dari sini.

Hati Shanti entah mengapa terasa nyeri melihat putranya hendak pergi, tetapi ia harus mengalah di rumah ini. Bayu sudah sembuh dari sakitnya dan anak itu sudah kembali aktif. Apa sih susahnya memberi ijin pergi beberapa hari ke luar negeri yang jaraknya tak harus melintasi antar benua? Halo, Wisnu, Singapura itu dekat dari Jakarta. Tiket pesawatnya bahkan lebih murah daripada ke Bali. Namun, mengapa pelit sekali dengan istri sendiri, sih?

Setiap malam, diam-diam Shanti suka menangis sendiri merasakan lelah lahir batin. Semingguan ini ia menangani segalanya seorang diri. Tanpa bantuan Wisnu, juga semangat dari pria itu. Mengajari Ryan materi ujian, membersihkan rumah karena Wisnu tak lagi bisa membantunya sejak pria itu lembur terus, memantau asupan makanan untuk Bayu karena Shanti tak ingin begadang lagi menggendong anak berbobot 25 kilo itu sehari semalam tanpa henti. Belum lagi, mengerjakan tumpukan naskah yang harus ia atur tata letaknya.

Ingatan Shanti seringkali terlempar pada lima tahun lalu, saat ia masih berkarir meski sudah memiliki Ryan. Satu dua kali dalam seminggu, seluruh tim di divisinya pasti pergi untuk makan siang bersama. Selama menikmati kebersamaan, mereka akan saling bercerita tentang banyak hal yang bukan pekerjaan. Shanti banyak mendapat wejangan tentang rumah tangga juga tumbuh kembang anak. Shanti pun juga banyak bercerita tentang bagaimana dulu ia mencari uang jajan tambahan sebagai content writter di sebuah situs. Semua itu membanggakan dan menyenangkan bagi Shanti. Dengan karirnya, ia bebas beraktualisasi diri dan menunjukan eksistensinya.

Sedang sekarang, lingkup pergaulannya sangat terbatas dan ia tak lagi memiliki teman untuk bertukar cerita dan keluh kesah. Satu-satunya orang yang ia harap bisa menjadi sandaran kepenatannya hanyalah Wisnu tetapi pria itu tak mampu mengerti inginnya. Semua itu membuat Shanti jadi merasa tertekan sendiri dan diam-diam berurai air mata pada dini hari.

Ia rindu Wisnu. Rindu belaian pria itu, juga kata-kata lembut yang selalu mampu membuat degup jantung Shanti bak genderang perang. Ia rindu bagaimana Wisnu menggodanya dengan kalimat yang romantis, tetapi selalu sukses membuat hatinya berdesir. Ia rindu berdua bersama Wisnu, bercerita bersama, bercanda, bercumbu dan bercinta hingga mereka puas dan bahagia.

Semakin tua usia pernikahan mereka, entah mengapa Shanti merasa bebannya semakin berat. Ia ingin bebas tertawa dan bercanda bersama teman-temannya seperti dulu dan berpergian dengan penghasilannya sendiri. Hidupnya sekarang, terasa seperti berada dalam penjara norma dan pandangan masyarakat tentang sosok istri yang harus selalu sempurna kepada anak dan suami. Shanti lelah, sangat lelah.

Pagi ini, Ryan sudah bangun tanpa harus dibangunkan. Semalam, omanya menghubungi dan meminta anak itu bersiap untuk perjalanan menuju Singapura. Beruntung, Wisnu sudah mengurus perpanjangan paspor seluruh anggota keluarganya, sekalian saat pria itu harus perpanjang paspor sebelum ke Malaysia demi menghadiri pameran pipa dan plumbing.

Shanti yang moodnya masih buruk, enggan membeli makan karena malam ini pasti hanya ia dan Bayu yang menikmati makan malam. Wanita ini hanya memasak nasi di magic com dan berniat menggoreng nugget saja. Ryan tak pernah rewel dengan apapun menu yang disajikan maminya. Hal itu membuat Shanti cukup tertolong dan tak perlu pusing memikirkan menu makan hari ini.

"Mi ... makannya udah matang belom?" Ryan berteriak dari dalam kamarnya. Ajaib, anak ini mandi sendiri, pakai baju sendiri, dan saat ini memeriksa tas jinjingnya sendiri. "Keburu Oma datang dan pesawat terbangnya siap di bandara, Mi." Kalau urusan pelancong, Ryan paling aktif dan inisiatif.

"Belom. Kakak makan nugget saja sama saus mau? Apa telur dadar?" Shanti yang sejak tadi melipat baju yang baru diangkat dari jemuran, akhirnya berdiri. Pekerjaannya belum selesai dan masih banyak baju yang menumpuk di atas kasur palembang depan tivi.

"Nugget aja. Mami jangan lama-lama masaknya. Kakak takut terlambat."

Shanti mencebik seraya berdecih santai. "Sekolah gak takut terlambat, tapi sama pesawat takut telat. Padahal, bayarnya sama mahal. Lebih mahal sekolah malah," dumal Shanti seraya membuka kulkas dan mengambil bungkus nugget dan sosis.

Saat ia mulai menyalakan kompor, Bayu yang sejak tadi bermain sendiri di kamar seketika menangis kencang akibat jatuh dari kasur. Shanti terperanjat dan lari menyelamatkan si bungsu, takut terdapat luka yang membutuhkan pertolongan cepat. Ia menggendong Bayu dan menenangkan anak itu agar berhenti menangis. Tangan Shanti juga sibuk membalur minyak gosok di kening Bayu yang agak benjol.

Baru saja tangis Bayu reda dan tenang, terdengar deru mobil yang berhenti tepat di depan rumah Shanti. Ia melihat siapa yang datang, dan mendapati kedua mertuanya sudah sampai. Mereka turun dari taksi dan memasuki kediaman Shanti setelah wanita itu membuka pagar.

"Bayu kenapa? Kok benjol?" pertanyaan pertama Oma, alih-alih mengucap salam.

"Itu—" dan sebelum Shanti memberi penjelasan, terdengar teriakan Ryan dari dalam rumah, bersamaan dengan suara gaduh dari dapur.

Oma dan Opa yang mendengar tangis dan teriakan pilu cucunya, seketika lari kedalam, disusul Shanti yang masih menggendong Bayu.

Sesampainya di dapur, Oma berteriak kencang dan wajah Shanti seketika pucat dengan tangan gemetar. Di depannya, tepat di depan matanya, Ryan jatuh terlentang dengan luka bakar akibat tersiram minyak panas, dan wajan penggorengan nugget yang terjatuh di samping anak itu.

"Panggil lagi taksinya! Cepat ke rumah sakit sekarang!" Oma berteriak dengan tangis yang pecah melihat cucunya menangis dengan kondisi kulit memerah dari leher ke tangan hingga kaki.

Alih-alih berlari ke luar mengejar taksi yang tadi mengantar mertuanya, Shanti justru bergerak linglung hingga Opa yang berlari ke luar memanggil tetangga dan meminjam mobil untuk mengantar Ryan menuju IGD terdekat.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top