11.
[Mbak Say, hasil LO yang kemarin, penulisnya gak cocok. Tolong direvisi, ya. Katanya dia gak suka ada gambar dauh berguguran. Minta konsep yang lebih pas sama nuansa winternya.]
Shanti menghela napas panjang seraya mengayun Bayu dalam gendongan. Sejak semalam, Bayu rewel dan demam. Bocah ini hanya menangis, menangis, dan menangis hingga mau tak mau, Shanti harus menggendong terus, sejak semalam hingga siang ini. Meski Wisnu membantunya bergantian menenangkan Bayu, tetap saja rasa lelah dan emosi tak bisa terus-terusan ia tahan. Ia butuh istirahat, tetapi tugasnya sebagai ibu membuat tubuhnya harus tetap berdiri tegak.
Mobil jemputan Ryan datang. Shanti membuka pagar dan menyambut sulungnya yang baru pulang sekolah. Sebelum kembali menutup pagar, matanya menangkap Rafasya yang tengah menaiki mobil remote sambil makan siang disuapi babysitternya. Babysitter itu tersenyum dan menagguk sopan pada Shanti, saat mereka melewati kediamannya. Shanti balas mengangguk dan tersenyum, sebelum menutup pagar rumahnya.
"Ryan ganti baju, terus makan. Mama belikan sup iga tadi. Kamu ambil sendiri ya di panci."
Shanti kembali fokus pada Bayu yang lagi-lagi merengek. Anak ini hanya tertidur dua sampai tiga jam saja setelah diberi paracetamol, lalu bangun lagi dan rewel lagi. Tubuh Shanti sudah lelah dan stress berat. Rasanya, ia ingin berteriak sehisteris mungkin mengeluarkan segala penat dan keksesalannya atas kondisi ini.
Andai. Andai ia bekerja dan memiliki babysitter seperti Rafasya, mungkin ia tak akan selelah ini. Ia bisa memiliki teman yang membantunya mengurus anak sakit. Cuti demi anak pasti ia lakukan jika bekerja. Dan di rumah, ia bisa berbagi tanggung jawab dengan pengasuh yang ia bayar. Bukan menanggung semua tugas dan kewajiban seorang diri begini.
Sebenarnya, pagi tadi ia sudha meminta Wisnu untuk ijin bekerja. Hanya saja, janji temu meeting dengan salah satu perusahaan konstruksi besar membuat Wisnu terpaksa tetap jalan meski mata pria itu juga tampak berat. Menjadi manager bukan pekerjaan ringan. Kata Wisnu, ada taret omset dan pencapaian yang harus ia kejar dengan taktik dan perencanaan matang. Semua itu, butuh geraknya dan anak buah yang solid.
Sebagai istri yang kini bertugas di rumah saja, Shanti tentunya tak bisa membantah penjelasan Wisnu. Mau tak mau, ia mengalah lagi dengan mengambil semua tugas menjaga Bayu juga mengurus Ryan seperti biasa. Andai semua manusia di bumi ini paham, betapa beratnya tugas wanita yang seharian menjaga anak dan rumah. Membereskan kekacauan yang tak pernah selesai, menyiapkan kebutuhan perut yang harus sesuai dengan kemampuan dompet, dan mengurus anak sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Ya, kalau hanya satu anak, jika sudah dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya, Shanti yakin hanya wanita tertentu yang sanggup bertahan dengan tumpukan tugas ini.
Ponsel Shanti berdenting lagi. Pesan masuk dari penerbit yang selalu memakai jasanya.
[Mbak, kok gak respon? Gimana? Bisa revisi, kan?]
"Bayu, sebentar ya, Sayang. Mami mau balas pesan sebentar." Shanti menurunkan Bayu ke atas sofa ruang tamu, lantas bergerak cepat mengetik balasan. Seperti tak terima dengan perlakuan ibunya, Bayu menangis histeris hingga anak itu memuntahkan makanan yang tadi dilahapnya. Sofa berkulit bahan bludru itu seketika ternoda muntahan yang baunya tak sedap.
Shanti terperanjat mendapati anaknya menangis hingga muntah dan mengotori sofa miliknya. Lelah, penat, tekanan, dan emosi yang sejak tadi menumpuk dan tertahan, seketika meledak tanpa bisa Shanti cegah lagi.
"Bayu! Muntah itu di lantai, bukan di sofa!" Tak kalah dengan anaknya, Shanti pun histeris mengeluarkan segala amarah dan penat yang terpendam.
"Mami!" Tiba-tiba, suara Wisnu terdengar dari luar pagar. Tak lama, pria itu masuk dengan tergesa dan mengambil Bayu yang semakin histeris setelah dibentak ibunya. "Ganti baju dulu, ya, Nak. Setelah itu kita ke dokter." Wisnu melirik sinis pada Shanti yang posisinya tengah berdiri sambil memegang gawai. Tanpa menyapa istrinya, Wisnu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan muntah Bayu dan mengganti baju anak itu.
Perjalanan menuju klinik terasa menegangkan. Wisnu terdiam dengan wajah yang menegang selama perjalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Ryan duduk di belakang sendiri, sedang Bayu dipangku Shanti. Menurut Shanti, harusnya Wisnu berbasa basi padanya. Minimal, menanyakan kabar Bayu hari ini dan mengapa anak itu muntah. Atau, bertanya mengapa ia menjeris histeris kepada anaknya tadi.
"Pi, tadi itu aku—"
"Papi lagi nyetir. Fokus." Wisnu menyela dingin. Terlihat sekali sedang enggan berdiskusi dengan Shanti, entah tentang apapun itu.
Mobil Wisnu sampai di klinik pratek dokter anak langganan Bayu. Setelah mematikan mesin, ia mengambil Bayu dari pangkuan Shanti dan turun tanpa bicara apapun kepada istrinya juga Ryan. Beruntung, Ryan paham apa yang harus ia lakukan. Bocah itu turun sendiri dan mengekori langkah papinya. Sedang Shanti, lagi-lagi menahan kesal dan amarahnya sendiri.
Senyum Wisnu baru terlihat saat ia melakukan pendaftaran dan memasuki ruang praktek dokter. Seperti biasa, dokter langganan Bayu menyambut mereka dengan senyum teduh menenangkan dan sapaan yang menyenangkan. Wisnu mulai menjelaskan kronologi yang dialami Bayu. Badan demam mulai tengah malam, dilanjut suara serak, rewel, dan susah makan.
"Radang tenggorokannya parah sekali," ucap si dokter anak saat melakukan pemeriksaan. Wajah dokter pria paruh baya itu serius melihat dalam mulut Bayu yang diterangi senter kecil. "Ada panas dalam juga," tambahnya setelah selesai memeriksa tubuh Bayu dengan stetoskop.
Dokter itu mempersilakan Wisnu kembali duduk dan menjelaskan perihal yang terjadi pada Bayu. Setelah mendapatkan resep, Wisnu pamit undur diri setelah mengucapkan terima kasih.
Selama menunggu antrian obat, tak sedikitpun pasangan suami istri itu bicara. Wisnu berdiri di ujung ruang apotek sambil menggendong Bayu yang masih rewel, sedang Shanti duduk menunggu antrian bersama Ryan. Setelah obat mereka dapat, Shanti mengajak Wisnu pulang yang tak ditanggapi pria itu.
Perjalanan pulang sama seperti perjalanan pergi tadi. Sepi dengan ketegangan yang melingkupi. Shanti hendak bicara, tetapi bingung bagaimana memulainya. Apa yang terjadi sejak semalam hingga sore ini, membuat tekanan batinnya semakin besar. Ia lelah fisik, pikiran, dan ... hati. Bukannya tak ikhlas mengurus anak sakit, Shanti hanya butuh sedikit asupan semangat dari orang lain, minimal suaminya sendiri.
"Adek minum obat dulu, ya. Setelah itu, tidur sama Papi dan Kak Ryan." Wisnu merawat anaknya dengan telaten. Tampak jelas jika pria itu sangat khawatir dan cinta pada putranya. Orangtua mana yang tak sayang anak, terutama ibu?
"Pi ...," sapa Shanti hati-hati di ambang pintu kamar anak-anaknya. "Maaf." Hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya. Minta maaf, karena apapun yang terjadi di rumah, pasti salah dirinya.
"Dokter bilang Bayu ada salah makan yang bikin dia radang dan panas dalam. Kamu kasih dia es?" Suara Wisnu tenang, santai, tetapi ampuh membuat bulu kuduk Shanti merinding.
"Enggak jajan es," sangkal Shanti, "tapi ... Bayu makan kembang gula yang Ryan dapat dari teman sekolahnya. Papi tahu sendiri, kan, kalau Bayu harus makan apa yang Ryan makan. Mereka pasti rebutan." Air mata Shanti mulai menetes satu per satu. Bibir wanita itu gemetar dengan wajah pucat akibat paduan lelah dan tekanan.
Wisnu melirik Shanti dengan tatapan dingin. "Papi rasa Mami hapal dan tahu betul kalau Bayu tidak bisa sembarangan makan manis, apalagi pemanis buatan. Sejak kecil Bayu tidak bisa menerima sembarang asupan."
"Tapi Bayu pasti ribut sama Ryan kalau gak dikasih," bela Shanti. "Mami capek ngamuk-ngamuk terus untuk lerai mereka. Papi harusnya ngerti!" Enggan terlihat cek cok di depan anak-anak, Shanti berbalik dan memasuki kamar seorang diri. Ia yakin, Wisnu pun enggan mendengar pembelaan panjang lebarnya tentang bagaimana capeknya seharian mengawasi dan mengurus dua anak laki-laki. Juga, pria itu pasti tak membutuhkan pertolongannya, karena sejak tadi Shanti sedikitpun tak diberi porsi untuk turut andil.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top