10.

"Ibu-Ibu, silakan. Saya kebetulan baru pulang antar Rafa jalan-jalan sama papanya." Seorang tetangga di acara arisan RT mengeluarkan puluhan gantungan kunci gambar kincir angin, bunga tulip, wanita berbusana khas Belanda, juga aneka gambar lainnya.

Bu RT yang memimpin acara arisan sore ini, semangat menerima satu kantung berukuran sedang, berisi buah tangan kecil yang ternyata gantungan kunci dan hiasan kulkas. "Alhamdulillah. Habis dari Belanda, Bu?"

Seorang Ibu yang ditanya tersenyum jemawa dan bangga. "Alhamdulillah. Ada rejeki untuk ajak Rafa melihat belahan bumi bagian Belanda."

Sontak, para ibu-ibu peserta arisan yang datang, berdecak kagum dengan tangan yang semangat memilah gambar oleh-oleh Mama Rafa.

"Enak ya jadi Mama Rafa. Penghasilan rasanya tak tebatas."

Si Mama Rafa yang baru selesai menghabiskan sus fla, tersenyum sungkan namun penuh bangga. "Alhamdulillah. Saya dan suami kerja keras banting tulang demi Rafa. Kami rela LDR karena suami pelayar dan saya sekretaris direktur utama. Semua penghasilan, kami dedikasikan untuk Rafa dan masa depan kami. Inshaallah, bulan depan juga saya mau ajak ibu-ibu ke perumahan sebelah. Kebetulan, kami habis ambil rumah di sana dan mau syukuran."

"KPR, Bu? Kena berapa cicilan perbulannya?" Suara lain menyahuti.

"Kebetulan kemarin kami beli cash enam ratus juta lebih sedikit, Bu. Tipe enam puluh, dua lantai. Lumayanlah, buat investasi. Perumahan sebelah, saya lihat clusternya bagus-bagus banget."

"Iya. Perumahan sebelah memang bagus banget." Kali ini, Shanti ikut menyahuti. "Kapan hari saya coba makan Pizza Hut di sana. Baru buka gerai. Nyaman banget. Apalagi, ada danau wisatanya. Wajah sih, harga segitu yang tipe 60."

Ibu-ibu lainnya mulai ikut menimpali bagaimana keberhasilan rumah tangga Mama Rafa. Rafasya, anak tunggal usia lima tahun, hidup bagaikan sultan. Memang orang tuanya jarang berada di rumah karena sibuk dengan karir mereka masing-masing. Namun, semua itu selalu terbayar lunas dengan segala fasilitas kelas atas yang Rafasya punya. Kolam rennag tiup ukuran besar yang bisa anak itu gunakan kapanpun ingin berendam, mainan perosotan serta ayunan dan playground yang Shanti tahu berharga belasan juta yang bebas ia gunakan kapanpun, serta liburan keliling dunia setiap orang tuanya mendapat rejeki berlimpah.

"Bu Wisnu dulu kan kerja, ya? Kenapa sekarang enggak lagi?" Mama Rafasya bersuara. "Padahal tempat Bu Wisnu kerja kan, perusahaan keren. Tempat saya saja, hanya mau kardus dari perusahaan Bu Wisnu dulu."

Shanti tersenyum simpul, padahal hatinya sedikit terusik. "Sehabis melahirkan Bayu, saya kualahan cari yang momong anak, Bu. Apalagi, waktu bayi, Bayu sempat langganan rumah sakit. Jadi, demi anak saya memutuskan untuk keluar kerja dan di rumah saja."

"Sayang sekali loh ya. Padahal, kalau kita punya banyak penghasilan, anak bisa mendapatkan yang terbaik untuk mereka. Sekolah dengan kualitas baik, mainan baik, pengalaman baik seperti liburan Rafa kemarin dan yang lainnya. Orang tua bekerja itu, bukan berarti menelantarkan anak. Justru ini adalah perjuangan kita memberikan yang terbaik untuk mereka." Mama Rafa mulai beretorika dengan lantang layaknya seorang narasumber seminar rumah tangga. "Jangan cengeng lihat anak gak cocok sama pengasuh. Mereka kan harus belajar untuk bisa berbaur dengan semua kalangan."

"Tapi kalau saya, anak mau tiga, ya pilih di rumah, sih." Suara lain menimpali. "Cari uang, kan, gak harus di kantor. Saya tiap bulan tetap terima gaji dari tiga penerbit. Padahal, di rumah saja urus anak."

"Itu karena Mamak Menik penulis," timpal Mama Rafsya. "Lagian, setahu saya, royalti tidak melulu besar, kan, nominalnya? Maksud saya, kita sebagai ibu dan ratu dirumah kita, harus pintar mengatur dan menata masa depan. Terutama untuk anak kita."

Shanti yang mulai jengah dengan topik di arisan ini, menjawab asal, "Saya percaya sih, kalau rejeki udah di atur Tuhan. Meski saya tidak kerja, suami saya alhamdulillah cukup kok menafkahi kami."

"Tapi tetap, kita juga harus turut kerja keras demi keluarga."

Topik ini entah mengapa membuat Shanti jadi ingin segera pulang. Beralasan hendak buang air besar, ia pamit duluan dan keluar rumah si empunya hajat arisan bulan ini. Sambil berjalan pulang, Shanti berpikir. Alangkah indahnya andai ia masih bekerja di pabrik kardus. Mungkin saja, jika masih di sana, saat ini sudah naik jabatan seperti Wisnu atau Sazkia. Penghasilannya pasti besar, apalagi jika digabungkan dengan milik suaminya.

Jangankan ke Belanda. Umroh tiap tahun pun, Shanti yakin bisa memenuhi itu semua. Sayang, Wisnu berkeras memintanya berhenti kerja saat Bayu selalu masuk rumah sakit kala bocah itu masih bayi. Mata Shanti melirik pada rumah Rafasya. Ada Pajero Sport dan Honda Civic terparkir gagah di sana. Jika dibandingkan dengan mobilnya yang hanya Mobilio, tentu jauh kelasnya. Bukannya Shanti enggan bersyukur, hanya saja, sekelumit ucapan Mama Rafasya tadi mau tak mau menari-nari dalam pikirannya. Ucapan tersebut membuatnya ingin memperbaiki keadaan rumah tangga, demi masa depannya, Wisnu, juga anak-anak. Mama Rafasya saja bisa beli tunai rumah di cluster elit. Jika ia bekerja, tak menutup kemungkinan ia dan Wisnu bisa membeli villa di Bandung, bukan?

"Papi," panggil Shanti saat tubuhnya sudah memasuki rumah. Wisnu tampak sedang membersihkan kamar mandi bersama dua jagoan mereka. "Mami mau ngomong. Papi buruan mandiin anak-anaknya."

Wisnu hanya berdeham menanggapi ucapan Shanti. Pria itu lantas dengan sigap membilas anak-anaknya yang sejak tadi bermain busa sambil mandi. Shanti membantu Wisnu menyiapkan baju Ryan dan Bayu, hingga saat mereka keluar kamar mandi dengan balutan handuk, Shanti langsung mendandani mereka.

"Mami mau ngomong apa?" Bayu yang menyusul keluar kamar mandi dua puluh menit kemudian, mengajak Shanti masuk kamar mereka dengan lirikan mata. Anak-anak sedang fokus menikmati ayam goreng tepung sambil menonton televisi.

Shanti menuruti Wisnu. Ia mengekori suaminya yang baru selesai mandi ke dalam kamar. Tanpa canggung dan malu, Wisnu membuka belitan handuknya di depan Shanti dan berganti baju. "Mami ada mau beli panci?"

"Kenapa jadi bahas panci?" tanya Shanti santai seraya memindai gerakan suaminya di depan lemari.

"Pulang arisan RT, tiba-tiba bilang mau ngomong. Ada yang nawarin panci?"

"Enggak," jawab Shanti dengan gelengan. "Mami mau minta ijin Papi."

"Oh, ibu-ibu mau wisata? Kemana?"

"Bukan wisata," jawab Shanti sedikit gemas. "Papi jangan potong omongan Mami. Mami mau ngomong serius."

Kali ini, Wisnu yang sedah selesai mengenakan baju, berbalik menghadap istrinya dan menatap wanita itu serius. "Apa, Mi?"

Jantung Shanti berdegup kencang. Bayangan jawaban Wisnu yang pasti menolak permintaannya kali ini, menari dalam pikirannya dan membuatnya sedikit gentar. Namun, bukankah semua harus dicoba? Mana tahu sekarang Wisnu bisa memberikannya ijin berkarir lagi.

"Mami ... Mami ijin mau kerja lagi, Pi. Mami ... mau bantu Papi cari uang, biar kita bisa punya banyak aset atau liburan ke luar negri lebih sering."

Wajah Wisnu seketika menegang. Rautnya serius dengan tatapan yang tajam menghunus Shanti. Pria ini tak menjawab permintaan istrinya yang terduduk di pinggir ranjang sambil menunduk dengan gestur memohon yang amat sangat. Setelah menghela napas panjang demi menetralkan emosi yang menggelora di dada pria itu, Wisnu menjawab, "Papi belum bisa ijinin Mami untuk yang satu ini. Maaf, Mi."

Sebenarnya hati Shanti sudah siap dengan penolakan ini. Ia menebak jika Wisnu pasti menjawab dengan hal yang membuatnya kecewa. Hanya saja, meski sudah bersiap patah hati, mengapa rasanya tetap sakit?

Shanti mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan raut kecewa. "Kenapa, Pi?"

Wisnu mendekati Shanti dan duduk tepat di depan wanita itu. Ia mengusap lembut rambut Shanti yang tergerai indah sore ini, lalu mengecup mesra bibir istrinya yang tampak gemetar ingin menangis. "Karena Papi ingin Mami menjadi ibu penuh waktu untuk anak-anak kita. Soal aset dan liburan ke luar negeri, biar Papi yang usahain. Mungkin tak bisa sesering yang Mami inginkan. Setidaknya, dalam satu dua tahun, kita tetap bisa ke Lego Land dan Universal Studio, kan?"

"Tapi Mami mau Eropa, bukan Singapore lagi, Malaysia lagi."

"Doakan Papi ada rejeki. Semoga Tuhan mengabulkan pinta Mami."

Wisnu beranjak dari duduknya setelah mengecup singkat kening dan pipi Shanti yang mulai basah air mata. Pria itu meninggalkan Shanti sendirian di kamar, demi mengurus kedua anak mereka yang mulai terdengar berebur sisa saus keju ayam tepung milik mereka.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top