1.
“Miii! Adek kecebur got!”
Shanti melafalkan banyak-banyak istighfar dalam hati. Tolonglah, anak-anak! Mami kalian masih harus membuat halaman berikut daftar isi untuk naskah novel yang sedang ia layout. Hari sudah mendekati senja dan kalian yang baru mandi satu jam lalu sudah bikin masalah baru.
“Miii!” Sulung Shanti berteriak lagi.
Rasanya, kepala Shati ingin pecah. Ia memang hanya di rumah saja, tetapi bukan berarti kegiatannya hanya leha-leha. Meski bukan pekerja kantoran, Shanti yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga tiga tahun lalu, memiliki kesibukannya sendiri sebagai layouter lepas.
“Miii! Kakak gak mau tolongin adek. Adek kotor banget!”
Sulungnya juga begitu. Usia tujuh tahun seharusnya sudah memiliki empati dan simpati minimal terhadap adiknya sendiri yang baru berusia tiga tahun. Bukan malah diam saja dan berteriak-teriak hingga membuat telinga Shanti terasa berasap.
Ibu dua anak ini akhirnya beranjak dari meja komputer yang terletak di ruang tamu rumah sederhana keluarganya. Setelah mendengkus kesal sembari menyabarkan hati, Shanti melangkah cepat keluar tanpa peduli dengan penampilannya yang hanya mengenakan daster seharga seratus ribu dapat tiga.
“Adek ngapain, sih, cebur got?” Ia mendelik pada bungsunya yang hanya terdiam dengan linangan air mata dalam parit-parit depan rumah. Dengan sigap dan cepat, Shanti mengangkat bocah berkaus Tayo yang sudah banyak ternoda lumpur hitam. “Mandi lagi, kan!” sesal Shanti dengan nada sedikit membentak.
“Bola adek jatoh,” bela anak itu dengan cicitan yang terdengar mengenaskan. “Adek turun ambil ke got, eh bolanya ternyata gak jatoh ke got.”
“Terus bolanya dimana?” Andai bisa dihitung, kira-kira nada suara Shanti saat ini sudah sampai desibel ke delapan. Sudah paling keras, kencang, dan sarat emosi jiwa.
“Di dalam tong sampah,” jawab si sulung yang baru Shanti sadari, ada dibelakangnya, mengekori ibu dan adik bocah itu. “Ini sudah kakak ambil.” Senyum si sulung merekah penuh bangga. Seakan ia baru saja melakukan aksi heroik yang menyelamatkan sebuah bangsa.
Padahal, tanpa si sulung sadari, hati ibunya sedang mendidih dengan panas kurang lebih 500 derajat celcius akibat melihat tangannya kotor dengan percikan sampah. Shanti baru saja membuang pepaya busuk dan nasi basi semalam tanpa membungkus ke dalam kantung plastik. Dari jarak satu meter yang membentang di antara mereka, Shanti bisa mencium aroma busuk dan memuakkan.
Sebusuk dendam menantu pada mertua yang selalu merecoki rumah tangga dan sememuakkan kisah perebut suami orang yang tayang di televisi dengan lagu itu-itu saja.
“Kamu gak mau tolong adek, tapi malah main ke tong sampah!” Teriakan Shanti kini seperti petir yang menyambar sutet ditengah sawah.
“Kakak kan menolong bolanya adek,” bela anak itu dengan wajah bingung. Apa salahnya mengambil bola plastik seharga lima ribu yang ia beli di warung gang belakang?
“Tapi kamu gak menolong adek! Sama saja, Ryan!” Sekarang, teriakan itu seperti petir yang menyambar pohon hingga tumbang tak bersisa.
Senja datang disambut tangisan kencang Ryan dan adiknya. Rumah yang baru satu jam sepi dan tenang, kini kembali ribut. Tanpa ampun, Shanti menarik tangan Ryan dan menggendong Bayu, bungsunya, menuju kamar mandi untuk mandi lagi.
Rasanya serba salah. Jika anak-anak dikurung di dalam rumah, Shanti tak akan bisa fokus menyelesaikan pesanan penerbit yang menjadi pelanggannya. Jika membiarkan kakak adik ini bermain di depan rumah, hasilnya selalu begini. Lalu, kapan Shanti bisa memiliki waktunya sendiri?
Usai memandikan ulang kedua anaknya, Shanti meminta mereka duduk diam di depan televisi yang menyiarkan Upin Ipin, dengan dua toples biskuit dan dua botol plastik jus mangga. Tak lupa, ia yang berkeringat setelah mengurus anak-anaknya, mengancam, “Kalau macam-macam lagi, gak mama kasih ayam goreng untuk makan malam. Juga, gak boleh ikut mama belanja dan jajan kue pukis besok pagi!”
Ancaman pukis selalu berhasil mengintimidasi si sulung. Terbukti, Ryan si anak kelas satu SD itu mendadak nurut dan fokus menatap televisi yang menayangkan Kak Ros tengah memarahi kedua adiknya. Berbeda dengan Bayu yang tak peduli ancaman ibunya dan fokus mengambil Oreo lalu menikmati kudapan itu.
Shanti menghela napas panjang lagi. Ia berjalan kembali menuju meja komputer dan melanjutkan apa yang tertunda. Ia sudah berjanji mengirim hasil layout paling lambat malam ini, karena naskah yang ia pegang sudah mendekati jadwal cetak.
Adzan maghrib berkumandang. Shanti mengintip ke ruang tivi dan sedikit lega mendapati kedua anaknya tertidur. Harusnya ia membangunkan Ryan dan menyuruh anak itu ke masjid untuk salat jamaah. Namun, rasa bersalah karena mengguyur Ryan dengan emosi sambil merah-marah tanpa henti, membuat Shanti memutuskan untuk membiarkan Ryan istirahat saja kali ini.
Ia menatap jam digital yang ada di pojok kanan bawah laptopnya. Masih ada satu jam lagi untuk salat. Baiknya, ia meneruskan saja membuat daftar isi, lalu melakukan hal-hal lain yang harusnya ia lakukan sejak tadi.
Mencuci piring yang sejak semalam belum sempat ia pegang, menghangatkan opor ayam yang ia beli pagi tadi, mencuci baju yang sudah satu minggu menumpuk, dan—
“Assalamulaikum.” Shanti membeku. Bagaimana bisa ia tak mendengar deru mobil suaminya?
“Wa—waalaikumsalam, Papi.” Shanti mencoba tersenyum saat pintu rumahnya terbuka dan Wisnu berjalan memasuki kediaman mereka.
Mata pria itu memicing menatap Shanti yang meringis dari meja komputernya. Kening Wisnu juga mengerut jelas memindai penampilan Shanti yang ... “Kamu belum mandi? Sejak pagi?”
Iya, Shanti lupa mandi saking pusingnya mengurus rumah dan anak-anak, serta tenggat menyelesaikan layout yang tak selesai-selesai.
“Uhm—aku ada tenggat layout. Ini penulisnya agak perfeksionis. Aku harus mencari gambar tema bunga sakura yang—“ penjelasannya terhenti. Wisnu berjalan melewatinya tanpa tertarik mendengar alasan mengapa daster yang Shanti kenakan masih yang pria itu lihat kala mereka bangun tidur.
Shanti menghela napas panjang. Ia beranjak dari mejanya dan memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya nanti saja. Ia kini berdiri di belakang Wisnu yang terpaku di tengah dapur.
“Aku—belum sempat cuci piring dan baru akan menghangatkan opor sekarang. Kalau boleh, aku minta tolong—“
“Kamu mandi saja,” sela Wisnu tanpa tertarik menoleh pada istrinya. “Aku yang cuci piring dan hangatkan lauk. Aku lapar. Jalanan macet banget dan aku lelah.”
Tenggorokan Shanti rasanya tercekat, melihat pria yang ia cintai menyingsingkan lengan kemeja dan mulai meremas spons cuci diiringi suara kucuran air keran.
Wisnu tak bicara apapun atau menoleh padanya. Pria itu fokus mengeksekusi tumpukan piring dan gelas sembari melirik panci berisi opor yang tengah dihangatkan dengan api sedang.
Dengan hati yang merasa bersalah, Shanti melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Bau badannya memang tak bisa dibayangkan. Belum mandi dari semalam dan rambutnya tercepol tanpa bentuk yang estetik. Apalagi, habis mengurusi bocah yang bermain dengan lumpur parit dan percikan sampah.
Dalam kamar mandi, Shanti memikirkan apa yang harus ia berikan kepada Wisnu sebagai ungkapan permintaan maaf atas hari ini. Atas pekerjaan rumah yang tak sempat ia selesaikan dan penampilannya yang lebih buruk dari pembatu sebelah rumah. Ah, Shanti ingat. Tadi ia sempat membaca sedikit bab akhir novel roman yang ia layout. Si tokoh perempuan memberikan kejutan untuk suaminya yang kembali pulang setelah prahara rumah tangga mereka, dengan berpenampilan menggoda.
Shanti ingat. Ia punya lingerie kuning yang selalu Wisnu puji ketika ia mengenakan benda itu. Mumpung anak-anak sedang lelap, tak ada salahnya sedikit menggoda dan bermain sebentar, bukan?
Senyum Shanti merekah dan ia segera menyelesaikan keramas dan lulur di sekujur tubuhnya. Entah berapa puluh menit ia habiskan di dalam kamar mandi. Yang jelas, saat ia keluar dengan belitan handuk, tak ada suara di dalam rumahnya. Televisi sudah mati dan anak-anaknya masih terlelap.
Dimana Wisnu? Mata Shanti meliar ke ruang makan dan dapur, lalu mendapati piring kosong kotor ada di dalam bak cuci piring. Wisnu sudah makan sendiri, batin Shanti. Mungkin sekarang pria itu di kamar dan menunggunya memberi servis romantis? Hati Shanti berdebar dan ia melangkah pelan dengan gestur anggun. Meski kini berat badannya selisih lima belas kilo dari saat perawan, tetap saja pergerakannya harus gemulai dan menggoda. Ia yakin, Wisnu tak akan peduli dengan bentuk gelambir perutnya.
“Papi,” panggil Shanti menggoda dengan bisik yang ia buat sesensual mungkin.
Sayang, tak ada yang menjawab panggilannya, meski Wisnu ada di kamar itu. Ia sudah mengganti baju kerjanya dengan kaus oblong dan celana pendek.
Wajah Shanti pias, meski ia terus melanjutkan geraknya mengganti daster malam, lalu membereskan sarung Wisnu yang pasti baru saja pria itu pakai untuk salat. Ia mengambil mukena dan bermunajat sebentar sebelum harus kembali ke meja komputer untuk menyelesaikan tenggatnya.
Mood dan semangat Shanti merosot tajam, padahal situasi rumah sudah seperti harapannya. Sepi dan tenang. Namun, tetap saja ia tak fokus dan konsen mengerjakan daftar isi karena hatinya kini menangis karena rasa bersalah lagi.
Jika begini terus, bagaimana nasib rumah tangganya kelak?
Apa cinta Wisnu akan terus besar seperti awal mereka menikah? Saat wajah Shanti masih cerah bersinar dan tak memiliki satupun daster di lemarinya.
Apa romantisme dan keintiman mereka akan tetap bertahan setelah sembilan tahun pernikahan? Karena akhir-akhir ini, Wisnu lebih suka bermain ponsel hingga terlelap atau membantunya menidurkan anak-anak sampai pria itu tertidur sendiri.
Wisnu seperi lupa bahwa ia pria yang membutuhkan sesuatu yang hanya bisa Shanti berikan, tetapi pria itu akhir-akhir ini seperti enggan mengajaknya bercinta.
Shit! Mengapa tiba-tiba Shanti merasa rumah tangganya sedang berjalan mengarah pada jurang—amit-amit! Shanti enggan melanjutkan pemikirannya!
*****
Holla! Kaget tetiba daku post cerita lagi? Wkwkwkwk...
Ini cerita parade nulis Lovrinz batch tiga yang baru selesai beberapa hari lalu. Di sini aku mau info saja, kalau cerita ini hanya akan post sampai bab 15 saja alias kurang dari setengah keseluruhan cerita.
Versi parade, ada 30 bab yang bisa kalian kepoin di FB grup lovrinzandfriend.
Sedang versi terbit, ada 36bab total termasuk ekstrapart.
So, yang kepo ini cerita tentang apa, hyukkk mareeee dibacaaa
Loplop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top