Yang Pertama | 2019
Dia membuka matanya. Terdiam dan terus berbaring di atas tempat tidur. Detak jam terdengar di antara cericip burung yang terdengar dari jendela. Celoteh riang yang terkesan mengejek bagi telinga orang yang terasa hampa.
Segaris sinar matahari menerobos masuk dari celah tirai yang tertutup menandakan bahwa pagi telah tiba. Namun, mengapa hatinya masih terasa sekelam malam?
Waktu demi waktu berlalu, tapi dia tidak menemukan alasan untuk bangkit. Dalam diam dia memandang langit-langit berharap kantuk akan tiba dan dan dia dapat kembali terlelap. Bila perlu, tanpa perlu terbangun lagi.
Kicau burung terdengar makin jauh seiring dengan makin naiknya sang raja siang menduduki tahtanya di tengah langit. Namun dia tetap diam. Kesunyian mengimpitnya kuat.
Tidak ada suara yang memanggilnya bangun.
Tidak ada kelotak piring atau peluit ceret yang menyambut paginya.
Tidak ada aroma kopi yang menguar, memberi tahu bahwa ada yang hilang di sana.
Rumah itu sepi dan kosong. Rasa kehilangan mulai naik dan menekan dadanya hingga sakit. Matanya terasa panas dan tak lama kemudian tetes air mata pertama mengalir di pipi, disusul dengan isak tangis yang tak berhenti.
Di luar sana hari terus berjalan tanpa menyadari bahwa dunia satu orang telah berhenti selamanya. Waktu berjalan maju tanpa ampun melindas segala kenangan yang rapuh.
Ini hari pertama dia bangun sendirian di kamar yang dia tinggali bersama sang istri selama lima puluh tahun.
Ini hari pertama dia bangun tanpa disapa oleh kecupan sayang.
Ini hari pertama dia bangun setelah pemakaman.
==================
"Lakukan."
Suara itu bergema di telinganya. Berotoritas dan mendesak. Namun tangannya tetap gemetar. Kakinya terasa lemas dan sewaktu-waktu bisa kehilangan kekuatan.
Dia menelan ludah, berusaha membulatkan tekad, tapi rasa takut mencengkramnya erat. Sesuatu dalam hatinya melawan.
Ini tidak benar.
"Lakukan!"
Suara itu kembali terdengar, makin memaksa, makin mengancam.
"Aku ... tidak ... bisa," ucapnya tercekat, menggenggam erat benda di tangannya. Getaran tangannya makin tak terkendali. Air mata mulai membasahi pipinya. Giginya bergemeletuk sementara hawa dingin merayapi tulang punggungnya.
"Kau harus melakukan tugasmu atau kau kuanggap tak layak."
Dia menghela napas dalam. Air mata mengalir makin deras. Gagang pisau dari besi terasa licin di genggamannya yang berkeringat.
Perlahan, dia menggerakkan benda itu mendekati makhluk tak berdaya di hadapannya, memandang pasrah dengan kedua bola mata hitam yang berkilau.
Ketika jarak ujung pisaunya hanya berjarak kurang dari satu senti dari perut lembut korbannya. Dia kembali ragu. Namun akhirnya dia menutup mata dan merasakan pisaunya mengiris lapisan daging empuk.
Teriakan sang korban menggema memenuhi ruangan.
Sudah terjadi dan dia tidak bisa berhenti. Dia harus melakukannya sampai tuntas, membelah perut korbannya hingga organnya terlihat. Namun, keteguhannya kembali goyah dan pisau itu akhirnya terjatuh di meja keramik menimbulkan bunyi denting.
"HADUH! BELAH TIKUS AJA SUSAH BANGET!" seru salah satu temannya mengambil pisau bedah yang terjatuh.
Tangisnya pun pecah. "Tapi ini kan pertama kalinya aku bedah makhluk hidup!"
"Minggir! Aku aja yang bedah! Kamu mau nilai biologi kita jelek?" seru temannya lagi sementara suara tangis terdengar makin kencang.
===============
Haha! Aku buat dua karya.
Yang pertama yg soal percobaan biologi itu. Tapi berasa receh. Jadilah aku kebayang yang kedua.
Mana yang kamu suka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top