Teater Kehidupan | 2024
Aku menunggu hingga mereka memandang ke arah lain sebelum aku mengendap mengambil senjata yang ada di genggaman Derek. Aku masih dapat melihat dia bernapas walau pelan membuat kelegaan mengalir.
Namun, aku tahu kemungkinan dia bertahan hidup begitu tipis jika aku tidak segera merawat lukanya. Maka, aku dengan cepat bergerak kembali ke bayangan untuk menyembunyikan diri. Para pemburu itu menggunakan lampu senter untuk menerangi sekitar, membuat mereka tampak seperti mercusuar, mangsa yang mudah.
Senjata di tanganku terasa begitu familiar dan pas. Seperti saat aku menjadi Calleway, prajurit dari perang dunia. Aku bertanya-tanya apakah aku memperoleh kemampuan itu dari dia?
Hanya ada satu cara membuktikan.
Aku mengarahkan senjata ke salah satu peneliti yang paling luar dan menekan pelatuk. Peluru meluncur dengan halus ke dada target dan dalam sekejap, dia sudah terkapar di tanah.
Seketika terjadi keributan dan berondongan peluru mengarah ke arah tembok yang melindungiku. Aku segera menyingkir menggunakan kegelapan sebagai selimut.
Mengapa semua ini terasa begitu familiar?
Tiga orang lain tertembak dan menyusul rekannya. Suasana menjadi mencekam. Mereka tahu kalau lawan mereka membaur dengan kegelapan dan menyerang dengan taktis. Tak butuh waktu lama sampai para peneliti itu melarikan diri demi keselamatan mereka.
Mungkin mereka merasa otak mereka lebih berharga daripada dibiarkan membusuk di padang pasir.
Begitu suara kendaraan terdengar menjauh, aku segera ke arah Derek. Segera aku membuka baju hazmatnya, nyaris mencabiknya agar aku bisa segera membebat luka. Wajahnya memucat seiring dengan banyaknya darah yang keluar. Kesadarannya hilang timbul tapi dia sempat menyunggingkan senyum padaku.
"Tira ...."
"Aku akan merawatmu," ucapku keras kepala terus membuka baju hazmat dan menggunakannya sebagai perban darurat untuk menekan luka Derek yang ternyata dekat dengan paru-paru.
Atau mungkin sudah kena?
Aku menggigit bibir panik.
"Pergi," ucap Derek dengan kekuatan terakhirnya seraya menunjuk arah utara.
Air mata mulai menggenang di pelupuk ketika melihat pemuda itu tersenyum lemah dan kehilangan cahaya di matanya. Derek pun diam tak bergerak dengan mata membuka.
Dia sudah meninggal.
Satu-satunya temanku di dunia itu.
Aku menangis sejadi-jadinya, tidak peduli kalau para peneliti itu akan datang membawa bantuan.
Pertanyaan menggantung di kepalaku, apakah Derek melakukan kesalahan dengan membawaku kabur? Apakah mungkin lebih baik aku menjadi eksperimen Braham?
Derek menolongku dan kehilangan nyawanya dalam proses, tapi dia tidak kehilangan nurani bahkan di kondisi terburuk. Tidak seperti para peneliti yang menggunakan nyawa manusia seperti mainan dengan alasan mengalahkan kiamat.
Aku menutup mata Derek yang meninggal sambil tersenyum. Dia tahu dia melakukan hal yang benar dan itu memberikan kedamaian pada istirahat panjangnya. Walau demikian, aku tetap merasa kehilangan.
Kesepian kembali memelukku bagai kawan lama. Aku kembali sendiri di dunia asing.
Dengan berat hati aku berdiri meninggalkan Derek dan mengambil apa yang bisa diambil dari tubuh peneliti yang juga tak bernyawa.
Aku yang mencabut nyawa mereka.
Serbuan emosi menerjangku, hanya kutahan dengan alasan aku melakukannya untuk membela diri.
Pilihan apa yang kupunya?
Dengan hati yang berat dipenuhi rasa bersalah dan tangan yang gemetar karena baru saja aku menjadi pembunuh, aku melangkah di kegelapan meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju utara.
Aku tidak akan membiarkan pengorbanan Derek sia-sia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top