Simfoni Peluru dan Mortar | 2024
Alisku berkerut tidak paham. Derek memiliki cara unik untuk menyampaikan berita buruk.
"Maksudku, kau adalah mutasi dan dianggap berbahaya." Dia menarik napas, kembali mengelus bagian belakang lehernya dengan gelisah. "Ada perintah untuk mengisolasimu sampai mereka mengirimkan peneliti." Derek tampak gelisah.
"Menurutmu, aku harus bagaimana?" tanyaku hati-hati. Derek masih memiliki nurani, aku berjudi dengan sifat seseorang.
"Aku ... tidak tahu. Para peneliti memiliki sifat eksentrik. Kamu sudah lihat kondisi Laboratorium. Walau ada peneliti yang masih memegang kemanusiaannya, tapi kebanyakan bersedia melakukan apa pun untuk memajukan teknologi dan menyelamatkan manusia yang berada di ambang kepunahan."
Derek menatapku dengan tatapan iba. "Aku tidak tahu siapa yang dikirim, aku akan memberitahumu bila ada kabar lagi. Mari berharap yang dikirim adalah kenalanku. Jika demikian, aku bisa berbicara dengannya .... Dengar, jangan bertindak gegabah, oke? Semuanya masih belum pasti."
Aku tidak menjawab, hanya memandang Derek yang terlihat gelisah sekaligus berusaha untuk menenangkanku.
Untuk apa?
Apakah waktu yang singkat ini membuatnya merasa berempati padaku?
Kurasa dia menceritakan tentang babi yang disembelih ibunya itu karena telah menduga akan ini.
"Beristirahatlah. Aku akan meminta seseorang membawakan kasur. Hari sudah malam. Besok semoga aku bisa memberi kabar baik." Dia tersenyum canggung sebelum keluar, terutama ketika aku tidak bereaksi. Aku merasa dia ingin aku menahannya dengan pertanyaan, tapi tidak kulakukan.
Tak lama kemudian, seseorang berbaju hazmat masuk membawakan kasur tipis yang digulung dan bantal usang yang tak kalah tipisnya. Aku hanya berdiri di ujung ruangan melihatnya meletakkan akomodasiku. Dia tidak berkata apa pun dan keluar ketika selesai.
Aku berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit di mana ada kipas berputar pelan, sekadar membuat udara bergerak di dalam kotak berukuran sembilan meter persegi. Tidak ada rasa kantuk atau pun lelah, membuatku bertanya-tanya seberapa jauh mutasiku bila dibandingkan manusia biasa. Aku sekarang berpikir kalau sebenarnya manusia di Terra tidak memiliki teknologi untuk membawaku pulang ke masaku. Jika tidak, mereka pasti akan berusaha kembali ke masa lalu dan mencegah bencana iklim terjadi.
Ingatan tentang ayah, ibu dan adik kembali terputar. Aku rindu mereka. Alasanku hidup tetap sama. Aku akan kembali entah bagaimana caranya.
Seperti lampu ide menyala di ujung pikiran, aku tiba-tiba mendapat pemahaman. Jika jalan pulang tidak ada saat aku terjaga, mungkin jalan itu ada saat aku menutup mata.
Benar. Jika selama ini ada ingatan-ingatan asing yang berusaha masuk saat kesadaranku tipis, mungkin aku bisa tidur untuk terbangun di masa lalu. Sama seperti saat aku dibawa ke masa ini.
Mendapat resolusi baru, aku menarik napas dan menutup mata sambil berharap aku bisa langsung kembali bertemu keluargaku.
Sensasi aneh yang membuatku merasa ditarik keluar dari tubuh kembali kurasakan, tapi kali ini aku tidak terlalu meronta. Kubiarkan diriku dibawa ke alur masa. Hingga tiba-tiba aku membuka mata, di antara dentuman bom dan rentetan peluru.
Aku melihat diriku memakai seragam loreng-loreng dan memegang senjata laras panjang, sesuatu yang terasa begitu nyaman seakan aku terbiasa. Aku ingat cara mengoperasikannya.
"LETNAN DUA CALLEWAY! SEGERA TEMBAK!" seruan dari kapten terdengar begitu dekat.
Tubuhku langsung berlutut dan mengarahkan senjata ke prajurit Jerman sambil bersembunyi di parit-parit yang digali untuk menyembunyikan diri dari tembakan musuh.
Aku merasakan tubuhku bergerak otomatis mengokang dan menembakkan senjata di antara desing peluru.
Tubuh ini bukan tubuhku, aku hanya berdiam di sudut pikiran Calleway dan melihatnya beraksi.
Tiba-tiba aku mendengar teriakan-teriakan untuk lari. Suara sang kapten terdengar di antara dengung pesawat yang mendekat.
"MUNDUR! MUNDUR!!!"
Aku tidak bergerak, entah mengapa. Saat ada bayangan pesawat melintas, kepalaku menengadah ke atas hanya untuk melihat sebuah benda dijatuhkan ke arahku.
Dalam gerakan lamban, aku dapat merasakan bagaimana respon tubuhku berusaha lari dari benda itu.
Lima.
Empat.
Tiga.
Dua.
Satu.
Benda itu menghantam tanah dan aku merasakan sebuah angin dahsyat mendorongku dengan rasa sakit menusuk tajam di seluruh tubuh. Telingaku berdenging karena suara ledakan dan mataku dipenuhi cahaya berwarna putih.
Aku tahu, kematian sedang menjemputku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top