Serpihan Kesadaran | 2024
"Lari."
Aku terbangun dengan sebuah kata yang menggaung di dalam kepala.
Dejá vu.
Dengan rakus aku menghirup udara sebanyak-banyaknya dan merasakan pasir memenuhi tenggorokan membuatku terbatuk.
Setelah semenit berperang melawan partikel tanah dalam laringku, akhirnya aku bisa bernapas lebih baik. Baru saat itu aku sadar aku terbangun di bawah bayangan batu menjorok yang kujadikan tempat perlindungan dari udara dingin. Ingatan yang berhasil kukumpulkan memberi tahu bahwa aku sudah sehari berjalan sejak meninggalkan Derek.
Tidak perlu makan dan minum. Bahkan buang air pun tidak, membuatku bertanya-tanya apakah aku benar-benar manusia? Tubuh ini terlalu praktis.
Mengerikan.
Apa yang telah dilakukan para ilmuwan itu pada gadis semuda ini?
Aku terdiam sambil mengingat-ingat hal yang terjadi ketika kesadaranku pergi. Kali ini aku kembali diikat di tempat tidur dengan kabel-kabel yang menancap di kepala, dada dan tangan. Aku tetap tidak bisa membuka mata dan suara-suara yang familiar terdengar.
Benar, mereka yang berbicara tentang alien. Namun kali ini mereka membahas hal lain.
"Spesimen ... tidak stabil ... kesadaran ... hilang ... timbul ...."
Mataku bergerak-gerak dalam kelopaknya, berusaha membuka tapi ada sesuatu yang menahannya. Aku berusaha menggerakkan tangan sekuat tenaga, tapi hanya jariku yang bergerak.
"Tanda vital melonjak ...."
Terdengar suara panik tertahan. Aku bertanya-tanya apakah itu karena aku?
Aku merasakan kulitku ditusuk oleh sesuatu dan perlahan kesadaranku menumpul.
Tidak!
Aku masih ingin tahu lebih banyak!
Tubuhku berusaha meronta tapi aku merasa sebuah beban berat diletakkan di atas kepala, menenggelamkan pikiranku agar kembali terlelap. Kekuatanku berkurang, daya juangku melemah.
Seperti kepalamu dibenamkan ke dalam air dan kau mulai menelan cairan dingin dengan hidungmu.
Yang bisa kau lakukan hanyalah menyerah.
"Kau ... tidak boleh lari."
Aku ingat kalimat lengkap yang diucapkan orang di dalam mimpiku.
Sebuah campuran perasaan takut, gamang, dan gelisah meronta di dalam dada. Suara itu begitu dekat dan familiar, sesuatu yang membuatku mengingat sesuatu tapi hilang begitu mulai terbentuk. Aku yakin jawaban keberadaanku di tempat ini ada di ingatanku yang itu.
Sesuatu ....
Namun sekuat apa pun usahaku berusaha mengingat, semakin rapuh ingatan itu. Seperti pasir yang makin digenggam makin merembes keluar dari telapak.
Pada akhirnya yang tersisa hanyalah perasaan tidak nyaman yang menggantung di dada.
Aku bangkit berdiri dan merapatkan gelungan kain yang melingkar melindungi hidung dan mulut dari pasir. Tidak pilihan bagiku selain terus melangkah. Arah utara yang ditunjuk Derek terasa begitu samar sekarang. Tanpa sesuatu yang menjadi patokan, aku tidak yakin masih mengikuti arah ke mana Derek menunjuk. Namun, pilihan apa yang kupunya selain melangkah?
Setidaknya aku tidak akan mati kelaparan atau kehausan di gurun ini. Semoga saja aku tidak cukup sial bertemu cacing raksasa yang diceritakan Derek.
Sebuah senyum tipis tersungging ketika aku mengingatnya. Sekejap, sebelum aku melanjutkan perjalanan, berharap serpihan kesadaranku menemukan jalan pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top