Segala yang Berwarna Biru | 2024

Aku kembali membuka mata sambil meraup sebanyak-banyaknya udara ke paru-paru.

Entah sudah berapa kali aku merasakan seperti ini. Terbangun dengan paksa di tempat baru yang tak kukenali.

Lelah.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Terlalu banyak kejadian aneh, terlalu banyak hal mustahil. Aku menutup mata dengan kedua tanganku, menolak menghadapi kegilaan yang terjadi. Ingin rasanya terus tertidur daripada dipertemukan dengan keganjilan.

Rasa dingin yang menyambar tubuhku karena makhluk tak kasat mata masih terasa membuat jantungku berdetak cepat. Beku yang mencapai tulang dan menyentuh organ-organ dalamku.

Mengerikan.

Aku takut dan merindukan pelukan ibu yang berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Isak tangis perlahan terdengar. Aku butuh waktu untuk menyadari bahwa suara itu berasal dari diriku. Segala hal yang terjadi membuatku merasa asing bahkan dengan tubuhku sendiri.

Air mata mengalir sementara aku berusaha mencari sisa-sisa keinginan untuk terus maju. Hasrat untuk menyerah terasa begitu pekat bagai kabut yang memenuhi kepala.

Sedikit lagi, biarkan aku beristirahat sedikit lagi sebelum aku menemukan tenaga untuk bangkit.

Hingga tangisku mereda, tidak ada hal buruk yang terjadi. Tidak ada monster yang tiba-tiba menyerang, tidak ada pergantian suhu yang membuat nyaris mati.

Perlahan sekali, aku menurunkan tangan dan membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah langit biru. Cantik, dengan awan tipis yang menggantung memberi aksen. Terang tapi tidak membuat silau, aku dapat berlama-lama melihatnya.

Rasa damai yang sudah lama pergi perlahan-lahan datang dan mengetuk, membuat tubuhku terasa sedikit rileks. Didorong oleh rasa penasaran, aku bangkit dari tidurku dan memandang sekeliling dan mendapati diriku menginjak awan.

Bukan empuk seperti yang dipikirkan orang, tapi gumpalan-gumpalan sepadat tanah yang membuatku menjejak dengan mantap.

Tenang dan sunyi.

Sesuatu yang terasa begitu lama tak kurasakan.

Di mana aku?

Sambil bertanya-tanya aku melihat sebuah pintu harmonika berwarna biru tua di batas cakrawala, dengan satu kusen jendela mengambang di sampingnya, satu-satunya benda yang ada di antara langit dan awan.

Tidak memiliki pilihan lain, aku berjalan ke arah pintu itu. Langkahku terasa ringan seakan diriku tak berbobot, berjalan tanpa suara. Beberapa kali aku memandang sekeliling hanya untuk mendapati tidak ada pergerakan dari awan.

Tempat itu statis. Seperti sesuatu yang diawetkan dalam waktu yang berhenti bergerak.

Ketika akhirnya tiba, aku mencoba menyentuh kaca jendela, hanya untuk mendapati tanganku melewati kusen.

Walau dipenuhi tanya, aku memutuskan untuk membuka pintu harmonika itu dengan mendorongnya ke samping.

Pemandangan yang muncul di depanku membuatku tertegun sesaat.

Pasar dekat rumah.

Keramaian yang familiar justru membuatku terasa asing. Tidak ada yang menoleh ke arahku, seakan kemunculan pintu harmonika dengan seorang gadis berlatar belakang langit adalah hal yang biasa.

Apakah aku pulang?

Rasa takut menggelayutiku seperti kawan lama. Entah berapa kali aku merasa diriku dipermainkan oleh tangan yang menenun semesta. Untuk sesaat aku tertegun di depan hal yang begitu aku rindukan, mempertanyakan apakah perjalananku akhirnya selesai.

Aku dapat mengenali tukang sayur di ujung jalan, tempat ibu biasa menawar, juga penjual ikan yang sering memberi bonus ikan kecil. Tempat itu kukenali bagai telapak tangan sendiri, karena ibu sering mengajakku ke sana dan membantunya mengangkat belanjaan.

Mengambil napas panjang, akhirnya aku memutuskan. Rasa takut tidak akan membawaku ke mana-mana. Jika ada kesempatan aku kembali, aku akan mengambilnya.

Satu langkah kaki dan aku berada di perbatasan.

Satu langkah lagi dan aku sepenuhnya sudah berada di tempat di mana aku seharusnya ada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top