Perjalanan ke Tanah Leluhur | 2019

Ada yang bilang kalau kembali ke masa lalu bisa dilakukan dengan menapak tilas perjalanan orang-orang lama. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya. Hidup terlalu lama di kota membuatku terbiasa dengan modernitas. Buat apa aku harus mengintip ke masa lalu bila aku bisa dengan praktis menyalakan api dengan satu jentikan jari?

Sayangnya guru sejarahku tidak berpendapat demikian. Seperti orang yang gagal move on, dia senang sekali menyuruh anak didiknya ke tempat-tempat terbelakang di sekeliling kota dab meminta kami menyusun laporan dari observasi kami.

Menyebalkan? Tentu saja!

Apa gunanya internet kalau kita masih harus datang langsung ke tempat?

Sayang, karena dia guru dan aku murid. Aku harus mengais nilai dengan menuruti apa yang dia mau. Jadi di sinilah aku sekarang, di cagar budaya Rumah si Pitung, seorang tokoh pahlawan yang konon menjadi momok bagi kolonial Belanda. Ala-ala Robin Hood kalau si pemandu yang bercerita.

Omong-omong soal pemandu, aku cukup terkejut melihat pemuda berusia tak lebih dari dua puluh tahun menjadi orang yang menjelaskan banyak hal pada kami. Memakai baju khas Betawi lengkap. Sadariah--baju koko berwarna hitam--sebagai atasan, lalu ada juga celana dari batik berwarna coklat dan putih plus selendang yang diikat di pinggang. Aku bertanya-tanya apa dia tidak panas dengan berpakaian seperti itu.

"Karena aku suka," jawabnya ketika aku bertanya karena penasaran. "Lagipula budaya adalah identitas. Itu memberikanku kejelasan tentang siapa aku."

Aku menatapnya sinis. "Walau tidak praktis?"

Pemuda itu tertawa. "Banyak nilai-nilai baik yang leluhur kita wariskan lewat budaya. Kamu lihat tangga-tangga sebelum kita naik ke rumah panggung?"

Aku mengangguk. "Tempat kita harus membersihkan kaki sebelum naik?"

"Itu namanya Balakuji, ritual sederhana untuk menolak bala dan menyucikan diri. Dengan melakukan itu, leluhur kita mengajarkan untuk menjaga kebersihan dan meletakkan hal buruk di luar rumah. Rumah adalah tempat di mana kita bisa beristirahat."

Aku tertegun mendengar penjelasannya, tidak menyangka kalau manusia purba bisa berpikir sejauh itu. Pemandu kami terus saja mengoceh tentang berbagai macam kebiasaan dan alasan mengapa rumah panggung didirikan. Aku mendengarkannya sambil diam-diam mengubah pikiranku.

Mungkin saja, masa lalu tidak selamanya harus dilupakan.

==============

Oke aku mabok. Udah ah, pokoknya nulis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top