Menuju Cahaya | 2024
Aku berusaha menenangkan diriku, rasa teror yang mencengkram erat dadaku perlahan terurai walau di sudut kepala aku tahu segalanya sedang tidak baik-baik saja. Sewaktu-waktu ingatan asing bisa merampas kesadaranku dan mungkin saja, suatu ketika ingatan itu akan menggantikan keberadaanku di tubuh ini, sama seperti diriku merebutnya dari pemilik sebelumku.
Menyadari itu, rasa takut kembali menusukkan kuku-kuku tajamnya ke jantungku, membuat detaknya meningkat.
Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu untuk menenangkan diri. Rasa takut hanya akan menumpulkan akal sehat. Walau susah, aku harus melakukannya. Dengan goyah, aku berusaha berdiri. Menumpukan tangan ke tembok membuatku akhirnya bisa kembali berdiri. Pintu sudah di depan mata dan aku merasakan dengan insting, pintu keluar sudah dekat.
Mungkin di luar sana ada penyintas yang kucari. Aku menanamkan pikiran itu, agar bisa lebih tenang. Menggenggam tanganku erat, aku mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk kembali melangkah dan mendorong pintu ganda dari besi itu.
Sebuah ruangan besar dengan meja resepsionis menyambutku. Ada semacam deretan gerbang kecil yang sering kulihat ketika aku membayar ongkos MRT. Dugaanku benar, pintu keluar sudah di depan mata. Namun, tidak seperti yang kuduga, aku merasa enggan meninggalkan tempat ini. Ada rasa familiar yang membuatku tertahan.
Mungkinkah itu keinginan dari tubuh ini?
Aku menoleh menatap sekali lagi ruangan di balik pintu ganda yang tadi kubuka. Tidak ada yang berubah, mayat dan dinding besi berwarna putih.
Aku ingin menghormati keinginan itu, tapi ada tujuan yang ingin kucapai. Ada pertanyaan yang ingin kujawab.
Maka dengan satu tarikan napas panjang, aku membulatkan tekad dan berjalan menuju pintu keluar dari kaca yang pecah di beberapa bagian. Cahayanya terlalu terang membuatku tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya.
Menghindar dari mayat-mayat yang masih berhamburan, aku melangkah melewati pintu kaca yang pecah. Mataku menyipit berusaha melihat di tengah terang cahaya dan perlahan-lahan ketika aku terbiasa, aku melihat sekelompok orang dengan pakaian hazmat berwarna putih menunggu.
Jantungku berdetak keras memompakan adrenalin ke seluruh tubuh. Reaksi flight or fight terpicu, tapi aku berusaha untuk tidak melakukan gerakan tiba-tiba. Aku mengerjap, berusaha lebih cepat untuk bisa melihat mereka.
"Apakah kalian orang baik?" tanyaku terdengar bodoh, tapi hanya itu yang bisa kupikirkan.
Terdengar suara orang berbicara walau tidak jelas karena teredam hazmat, sebelum aku mendengar langkah kaki berjalan ke arahku.
Mereka belum menjawab membuat adrenalin semakin deras mengalir dalam darah.
Mereka kawan atau lawan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top