Menjejak di Antara Raga | 2024
Nyaris aku menjatuhkan buku itu karena terkejut. Namun aku berusaha menenangkan diri dan terus membaca.
Sayang tidak banyak yang kudapat. Entry hari lain hanya berkisar tentang jumlah makanan yang tersedia dan berapa orang yang makan. Satu hal yang kutangkap dari diari itu adalah, semakin ke belakang, tulisannya semakin berantakan hingga berakhir menjadi coretan seperti garis lurus yang tak membentuk kata.
Aku menelan ludah.
Entah bagaimana aku terlempar ke masa depan, tanggalan terakhir yang kuingat adalah 5 Februari 2024, hari di mana ayah didatangi rentenir menagih utang uang kuliahku. Pagi yang tidak menyenangkan, demi menguliahkan aku, ayah dan ibu berutang. Beberapa saudara bersedia memberikan pinjaman lunak, tapi ada yang menagih membabi buta.
Hatiku berdenyut nyeri. Air mata menggenang dan siap mengalir ketika mengingat perjuangan ayah dan ibu. Aku harus kembali pada mereka. Jika aku bisa terlempar ke masa depan, pasti ada cara aku bisa kembali ke masa lalu. Sambil menghapus jejak air mata yang seperti aliran sungai di pipi, aku menarik napas dan berdiri. Aku memutuskan membawa buku itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa kupahami kelak. Untuk berjaga-jaga aku juga mengambil kartu sang petugas. Aku lebih membutuhkannya dari pria yang tergeletak di sana.
Melintasi lorong, aku tiba di depan pintu ganda dari besi yang perlahan kubuka. Pemandangan yang menyambut membuatku nyaris berteriak. Kubekap mulutku agar tak ada kata yang keluar.
Di hadapanku terbentang tempat seperti aula luas penuh dengan wahana. Bianglala mini, carousel, mesin permainan, olahraga ketangkasan, sebut saja yang biasa kau temukan di pasar malam. Namun yang membuatku harus membungkam mulut adalah puluhan tubuh serupa dengan Meyer bergelimpangan.
Wajah-wajah tanpa bola mata berserakan. Beberapa memakai jas seperti Meyer, beberapa memakai gaun putih kusam sepertiku, membuat telapak tanganku terasa dingin dipenuhi keringat.
Aku bisa saja menjadi seperti mereka.
Sambil menelan ludah aku berjalan pelan melintasi aula, mengamati apa yang bisa aku ambil dari tubuh-tubuh itu. Petunjuk, senjata, apa pun.
Tiba-tiba kakiku dipegang oleh salah satu tangan melepuh yang terulur.
"Lari."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top