Kisah Kedua Puluh Empat - Pengantar Surat


"Setelah mengantar semua surat kepada penduduk, kau harus pergi ke rumah kecil yang terletak di ujung desa."

Claria mengedipkan mata heran memandangi tukang pos senior yang seumur dengan kakeknya. Rambut pria itu sudah putih seluruhnya dan kerut-kerut memenuhi wajah kotak itu. Kulit pipinya jatuh bergelambir.

"Untuk apa?" tanya gadis berusia enam belas tahun itu.

"Untuk membacakan surat dari cucu nyonya Whirtsy," balas si tukang pos sambil tersenyum ramah. "Temani nenek Whirtsy selama beberapa waktu sebelum kau kembali ke sini dan melapor."

Claria mengangguk walau dia tidak sepenuhnya paham. Dia adalah pengantar surat, tukang pos junior yang akan menggantikan kakek yang makin sulit berjalan tanpa tongkat. Seusai nama pekerjaannya, tugasnya adalah mengantarkan surat, bukan membacakan. Namun dia menurut. Ketika matahari mulai condong ke barat, Claria tiba di rumah kecil nan apik di ujung barat desa, dekat perbatasan dengan padang. Tempat itu sepi karena orang lebih suka lewat gerbang utara desa yang langsung mengarah ke kota besar. Bagian barat desa hanya terhampar padang rumput besar sebelum bertemu laut dan tebing.

Gadis bertopi pos itu mengetuk pintu kayu coklat bernuansa hangat yang diapit oleh tembok-tembok putih dirambati oleh tanaman. Tak lama kemudian nenek Whirtsy keluar. Seorang wanita tua dengan rambut perak tersanggul dan bungkuk. Dia harus menggunakan tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya. Wajahnya bundar dan menyenangkan, Claria langsung menyukainya.

"Selamat siang, aku Claria, tukang pos yang bertugas membaca surat Anda."

Senyum nenek Whirtsy langsung mengembang. "Oh! Silakan masuk. Aku sudah menunggumu. Bagaimana kabar Tuan Gornebb?"

"Pak Gornebb kesulitan untuk bergerak sejak jatuh dari kereta kuda. Tugas-tugasnya dibagi-bagikan kepada tukang pos yang lebih muda," jelas Claria riang sambil masuk dan duduk di sebuah kursi kayu empuk.

"Pantas saja beberapa hari ini tidak ada yang datang dan membacakan surat untukku." Nenek itu mengeluarkan sehelai amplop yang sudah lecek dari kotak penyimpanan di lemari dan membawakan benda itu dengan hati-hati ke Claria. "Tolong bacakan surat dari anakku yang merantau. Ini surat satu-satunya yang kuterima sejak dia pergi puluhan tahun silam. Aku buta huruf."

Claria menerima benda itu dengan keheranan dan nenek itu terkekeh.

"Aku sudah hafal isi surat itu, tapi selalu menyenangkan kalau mendengar orang membacakannya. Tuan Gornebb biasa membacakannya untukku, tapi sejak dia terluka, tidak ada yang bersedia datang dan membantu. Aku bersyukur kamu datang, Nak."

Claria membuka surat itu dan terdiam. Dia membaca kalimat yang tertulis di sana dan hatinya terasa sesak.

"Nenek, apakah Nenek yakin aku membacakannya?"

Nenek Whirtsy terkekeh lagi. "Tentu saja. Aku ingin mendengar bagaimana anakku sudah sukses menjadi pejabat pemerintah dan akan kembali ke mari begitu dia sempat."

Gadis itu menelan ludah kemudian dia memaksakan diri tersenyum. "Ma-maaf, Nek, di sini huruf-hurufnya sudah banyak yang pudar. Aku akan bacakan secara singkat saja ya."

Nenek Whirtsy mengangguk bersemangat dan Clarisa mulai membaca. Setelah selesai, dia berpamitan pada nenek tua yang tersenyum bahagia sementara hati Clarisa terasa berat seperti digelayuti batu. Dia kembali ke kantor pos saat senja dan menemukan Tuan Gornebb masih ada di sana sementara tukang pos lain sudah pulang.

"Bagaimana?" tanya kakek itu dengan ramah.

"Tuan Gornebb ...." Claria tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Orang tua itu tersenyum maklum dan berjalan tertatih mendekati gadis itu.

"Kau sudah membaca surat Nyonya Whirtsy?"

Claria mengangguk. "Anaknya ...."

Tuan Gornebb menggeleng pelan. "Jangan katakan yang sebenarnya. Tolong gantikan aku untuk membacakan surat pada Nyonya Whirtsy setiap hari. Aku hanya percaya padamu."

"Nyonya Whirtsy menunggu anaknya seumur hidup ...." Lagi-lagi Claria terdiam. Matanya terasa panas dan air mata mulai menggumpal di sudut mata.

"Itu lebih baik daripada tahu bahwa anaknya memilih pergi dan melupakan ibu yang sudah merawatnya."

"Tapi ...." Claria memandang kakek tua itu dan sebutir air mata turun di pipinya.

"Biarkan Nyonya Whirtsy bahagia dan bangga hingga akhir hidupnya. Apakah kau bisa melakukan hal itu?"

Claria terdiam lama. Dia mengingat wajah nenek yang dipenuhi kebahagiaan ketika dia selesai mengarang. Entah apa yang akan terjadi pda semangat hidup yang dimiliki oleh Nyonya Whirtsy jika tahu kebenarannya. Claria tidak ingin membayangkannya.

Dalam satu anggukan kepala, dia menyanggupi untuk melanjutkan kebohongan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top