Garam Pada Luka | 2024
Gelap.
Aku merasakan kesadaranku melayang-layang di antara hampa. Seluruh indraku padam. Suara, penglihatan, sentuhan, rasa, penciuman. Aku seperti nyawa yang terkurung dalam cangkang tanpa kontak dengan dunia luar.
Apakah kali ini aku benar-benar mati?
Ibu. Bapak. Adik.
Apakah ketergesaanku membuat segalanya gagal?
Harusnya aku tidak gegabah. Mencoba hal yang membuatku menghilang. Aku menyesal sementara diriku mengambang tanpa arah.
Aku berusaha menghitung agar tidak kehilangan kesadaran.
Satu.
Sepuluh.
Seratus.
Empat ratus tiga puluh lima.
Tujuh ratus delapan puluh tiga.
Menghitung.
Dan menghitung.
Hingga aku mendengar suara tawa. Inderaku kembali, membuatku membuka mata.
Cahaya.
Redup hingga menjadi terang benderang dan aku kembali merasakan sentuhan. Sebuah kain terbentang di depanku dengan canda tawa dua anak laki-laki dan sepasang suami istri. Tangan mereka memegang sebuah bungkusan plastik berisi bumbu kacang dan kecap yang dimakan bergantian dari satu orang ke orang lain. Sesekali sang ibu mendulang kepada sang ayah sebelum dia menyodorkan tusuk kayu dengan batagor kepada anak sulungnya. Sesekali terdengar tawa renyah ketika salah satu dari mereka bercerita hal lucu.
Aku tertegun melihat pemandangan itu. Dadaku terasa hangat dan dipenuhi oleh berbagai emosi.
Sebuah keluarga.
Keluarga yang kurindukan.
Tapi mereka bukan ayah dan ibuku. Mereka bukan keluargaku.
Setetes air mata mengalir di mata yang memandang tanpa berkedip.
"Adik?! Kenapa menangis, Dik?" Si sulung menyadari ekspresi ganjil yang kupunya. Aku ternyata menghinggapi raga sang adik terkecil dan perasaanku mempengaruhi tubuh yang kutempati.
Sang kakak segera menghampiriku dan menawarkan batagor di tangan. "Adik lapar?"
Aku menggeleng sementara lebih banyak air mata mengalir di pipi. Aku hanya ingin pulang dan bertemu dengan keluargaku. Mengapa keinginan sederhana itu terasa begitu rumit?
Menyaksikan kebahagiaan keluarga milik orang lain membuatku makin menyadari kekosongan yang kurasakan.
Kini seluruh keluarga mengelilingiku. Sang ibu menghapus air mataku dengan tisu sambil bertanya apakah ada yang sakit atau mungkin kepedasan makan batagor.
Lagi-lagi aku menggeleng sementara aku memohon dalam hati agar segera pergi dari tempat ini.
Bukan kematian yang membuatku meronta, tapi kebahagiaan karena itu seperti menabur garam pada luka yang menganga. Menamparku dengan hal yang paling kuinginkan.
Tangisku makin menjadi.
Aku telah membuat liburan keluarga kecil ini rusak. Dengan sebuah jeritan aku berontak, sebelum tiba-tiba aku merasa diriku ditarik keluar.
Dan gelap yang familiar kembali menyapa. Aku hanya berharap, kali ini aku benar-benar pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top