Fatamorgana | 2024
Aku berjalan dan berjalan. Pada waktu terik atau pada waktu gelap. Matahari bergantian naik ke kepala dan turun. Aku tidak menemukan manusia sepanjang perjalanan hanya beberapa serangga dan mamalia kecil yang berlindung dari panas di antara sisa bangunan.
Tersesat.
Itu satu-satunya jawaban masuk akal mengapa aku masih belum menemukan satu pun hunian manusia. Walau sudah menduganya, tetap aku merasa kesal. Berjalan tanpa penunjuk arah memang ide buruk.
Sambil menghempaskan diriku ke tumpukan batu terdekat, rasa putus asa mulai menggelayuti pikiran. Selama beberapa hari terakhir, kesadaranku juga berkelana. Keinginanku untuk pulang tak kunjung mendapat restu. Seperti judi semesta, aku telah menjadi pegawai kantor, penyihir kerajaan, pekerja tambang, ibu dua orang anak, dan calo tiket konser, tapi tidak sekali pun kembali ke duniaku berasal.
Beberapa kali aku mengunjungi tempat di mana para peneliti menyuntikku dengan sedatif tiap kali aku berusaha bangun.
Ritme yang berulang sementara aku masih terjebak di dunia pasca kiamat tanpa memiliki tujuan pasti.
Aku tahu aku harus terus berjalan. Seandainya tanpa tubuh ajaib ini, aku pasti sudah menjadi tulang belulang di antara bebatuan.
Kuangkat kepalaku, menatap ke cakrawala untuk memandangi pasir tanpa ujung disertai dengan tiupan angin yang membuat jarak pandang berkurang.
Ada seseorang?
Aku menyipitkan mata berusaha untuk memperjelas. Dia sepertinya sedang menoleh ke arahku, lalu tiba-tiba bayangan orang itu menghilang. Mataku membelalak tidak percaya.
Mungkinkah itu halusinasiku seperti waktu aku melihat mayat memegang kaki.
Berjalan tanpa berbicara dengan makhluk hidup memang membuatku mulai gila. Sesekali, aku memutar boneka pengamen untuk menemaniku dengan nyanyiannya, sekadar membuatku merasa lebih sadar.
Ada gerakan. Aku segera menoleh hanya untuk mendapati sosok itu berada lebih dekat. Aku dapat melihat siluetnya di antara pasir bertebangan, dia membawa sebuah tombak.
Hilang lagi.
Kali ini aku berdiri, bersiaga. Ilusi atau tidak, dia membawa senjata.
"Kau memanggilku?" Suara seorang pemuda terdengar begitu dekat membuatku terlonjak dan segera menoleh.
Sosok itu berdiri satu meter dariku. Rambutnya hitam kehijauan dengan iris berwarna kuning. Wajahnya serius, tanpa senyum. Matanya menatap tajam sementara tombak dengan ujung berwarna hijau tergenggam erat di tangannya.
Tidak ada sikap mengancam, tapi keberadaan makhluk itu seperti tokoh anime menjadi nyata.
Aku melangkah mundur, berusaha menjaga jarak aman sambil berkedip.
Tiba-tiba saja dia hilang.
Apa yang terjadi?
Aku menahan napas sambil memandang sekeliling. Dia ada di sampingku, lebih dekat, hingga aku dapat merasakan embusan napasnya. Sontak aku melompat mundur.
"Jika kematian mengetuk pintumu, panggil namaku, Adeptus Xiao. Aku akan menjawab panggilanmu."
Aku memejamkan mata erat berharap ini hanya ilusi. Hanya ada suara deru angin. Ketika kubuka mataku perlahan, aku mendapati sebuah langit-langit dari kain berwarna coklat tua.
"Kau sudah bangun rupanya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top