TIGA

~~~

Jackson melompat dari kasur ketika merasakan sinar matahari pagi mulai menyeruak dari gorden. Dengan buru-buru ia merampas jam meja di jangkauannya dan saat itulah mata pemuda itu membulat sempurna.

"Ma! Kenapa tidak membangunkan Jackson?!"

Secepat yang ia bisa, Jackson berlari untuk mandi lalu mengenakan seragam sekolah. Berseru penuh nada protes pada mamanya yang kini sedang menjemur pakaian.

"Ma, kenapa Jackson tidak dibangunkan?"

"Lho? Tadi adek bilang karena hari ini perayaan hari guru, jadi boleh tidak pergi ke sekolah. Mama kira Jackson tidak mau sekolah hari ini?" Itu yang mama Jackson katakan membuat Jackson meringis. "Itu ada roti bakar di atas meja, jangan makan sambil berlari!"

Jackson segera menyambar satu buah roti kemudian memakannya sambil memakai sepatu. Ia berlari secepat yang ia bisa ke sekolah. Tapi memang Jackson bukan atlet, ia akan cepat lelah jika terus berlari.

Tak ada waktu lagi! Ghani! Ghani mungkin saja....

Pemuda itu beruntung karena jalanan sudah agak sepi, tapi tetap saja tak begitu membantu.

Aku harus mendapatkan tumpangan....

Wajah Jackson seketika berubah cerah ketika ia melihat sebuah mobil polisi ke arah sekolahnya. Dia berhasil memberhentikan mobil itu.

"Pak polisi! Saya terlambat pergi ke sekolah! Bisa bantu saya?"

Memang nekat, tapi ternyata petugas polisi itu juga tidak sibuk. Dan lebih mengejutkannya, petugas itu mengenal Jackson karena ayah mereka berteman.

"Terima kasih, Pak."

Jackson kembali berlari, tenaganya pulih selama di mobil. Pintu kelas sudah di depan mata.

"Salwa, aku menyukaimu! Maukah kamu menjadi pacarku?"

Terlambat!

Di ambang pintu kelas, Jackson menatap Ghani yang berlutut dengan setangkai bunga imitasi dan Salwa berdiri di depannya. Wajah gadis itu tampak memerah malu. Sorakan dari penghuni kelas makin membuat suasana heboh.

"Terima! Terima! Terima!"

Jackson tak sanggup lagi melihatnya, ia mundur perlahan dan bersiap untuk pergi. Untuk satu detik, matanya bertemu dengan mata Salwa.

Hitam bertemu hitam.

Pemuda itu tak lagi menoleh dan segera berlari pulang dengan langkah putus asa.

Aku ... gagal.

~~~

Jackson tengah terkurap di atas tempat tidurnya, masih setengah jam sebelum makan malam dan tubuhnya masih lemas karena kejadian di kelas tadi.

Apa Ghani diterima? Sepertinya iya.

Tubuhnya hanya diam seperti seonggok daging tak bernyawa. Pikirannya mengelana entah ke mana. Sampai suara ketukan pintu dan panggilan "Kak?" membuatnya kembali ke dunia nyata.

"Masuk, dek."

Hanya itu yang Jackson katakan. Ia mendengar suara pintu kamar yang dibuka dan suara langkah kaki mendekat.

"Kak Jackson baik-baik saja, kan?"

Jackson hanya diam, masih dalam posisinya.

"Adek menolak Ghani."

Apa?

Mendengar pernyataan itu, Jackson segera membalikkan badan dan menatap adiknya. Salwa. Tunggu, ternyata adik Jackson adalah Salwa?!

"Sungguh?" Pemuda itu bangkit duduk, sehingga kini telapak kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin. Salwa duduk di sampingnya.

"Iya, adek menolaknya. Karena adek belum mau pacaran." Jackson menatap Salwa di sampingnya, sinar wajahnya berbeda dengan yang di sekolah. Pemuda itu tahu apa yang adiknya ini pikirkan. "Lagi pula, Kak Soni pasti tidak mengizinkan."

Hening melanda keduanya selama satu menit.

"Kak, adek tidak suka keadaan yang seperti ini. Adek merasa tidak nyaman hanya memanggil nama Kakak di sekolah. Itu tidak sopan. Kenapa Kak Jackson tidak mau status kita sebagai saudara sepupu diketahui orang? Apa Kak Jackson juga tak mau menjadi Kakak adek lagi?"

Jackson menggeleng panik menyadari mata Salwa terlihat basah. "Bukan, maksud Kakak bukan itu, dek. Kakak hanya...."

"Jangan jadikan alasan "takut tidak bisa menjaga adek dengan baik" itu sebagai alasan, Kak. Sekarang adek cuma punya Kak Jackson. Apa Kak Jackson tahu bagaimana perasaanku selama ini? Apa Kak Jackson tidak kesulitan selalu berpura-pura datang paling pertama saat kerja kelompok? Apa Kak Jackson tidak mau teman Kak Jackson bermain ke rumah ini? Padahal ini rumah Kak Jackson!"

Jackson segera menarik Salwa ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat, berharap bahunya dapat menjadi sandaran.

"Kakak tak sekuat Kak Soni untuk menjaga adek. Justru Kakak yang lemah ini hanya akan menyulitkanmu. Kakak terlalu menyayangimu." Dapat Jackson rasakan dorongan kuat di kedua bahunya sehingga pelukannya terlepas. Kini ia dihadapi oleh tatapan tajam Salwa yang sayu karena air mata.

"Sayang? Bohong! Adek tidak minta Kak Jackson untuk menjadi Kak Soni. Kak Jackson punya cara sendiri untuk menjaga adek. Adek tahu ini bukan cara Kak Jackson yang sebenarnya." Jackson terdiam, inginnya ia membawa Salwa kembali ke pelukannya tapi tubuhnya masih kaku. "Adek ingin Kak Jackson menjadi diri sendiri, berhentilah menjadi orang lain. Adek juga menderita."

"Maaf," ucap Jackson pelan.

Pemuda itu hanya menunduk. Bahkan ketika Salwa meninggalkannya masih dengan mata berair pun ia masih bergeming.

"Jadilah Kak Jackson yang dulu. Yang berlari ke rumah sebelah untuk menelepon Mama. Cara yang hanya terpikirkan oleh Kak Jackson."

Itu adalah kalimat terakhir sebelum Salwa menutup pintu.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top