Seperti Berlian
"Aku ingin kamu berpidato di sana," bisiknya tepat di telingaku.
Aku menoleh setelah ia menjauhkan wajahnya dan duduk tegak seperti semula. Senyumnya mengembang kala aku menatapnya. Tatapan penuh harap dari matanya membuat aku tak bisa menahan perasaanku. Aku ingin waktu cepat berlalu, kemudian membawaku pada kebahagiaannya. Aku ingin harapannya tak hanya menjadi mimpi belaka, tapi menjadi sebuah kenyataan yang akan membuat ia selalu tersenyum.
"Aku tidak mau berjanji, Ibu. Tapi aku berharap hari ini aku bisa mewujudkan keinginan Ibu," jawabku.
Aku kembali menatap lurus ke depan, di mana seorang wanita yang mengenakan blazer hitam dengan rambut yang dicepol rapi akan memulai pembicaraannya di mikrofon. Ia berdehem pelan, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh tamu yang sudah duduk rapi di dalam gedung besar yang ditaburi kebahagiaan ini.
"Selamat siang," sapanya sebagai pembuka pidato. Serentak seluruh penghuni gedung menjawab sapaannya. Lalu, hening kembali. Tatapan mereka menjurus pada wanita itu, tak terkecuali denganku dan wanita di sampingku.
"Hadirin yang terhormat. Saya ucapkan terima kasih pada tamu undangan yang sudah menyempatkan hadir dalam acara bergengsi yang sudah berjalan selama empat tahun belakangan ini. Tahun ini kami menghadirkan kembali event yang dikhususkan untuk para pengusaha ini agar kalian--para pengusaha--di tanah air kembali bersemangat dalam menjalankan usaha kalian."
Aku terdiam sejenak, kata pengusaha masih terdengar asing di telingaku. Sepertinya aku belum pantas untuk dipanggil pengusaha. Sungguh! Aku hanya gadis yang tahun lalu baru saja lulus dari salah satu Universitas di Jakarta dengan gelar Doktor. Aku malu jika menyebutkan profesiku adalah pengusaha pada mereka--para pengusaha sukses--yang sudah berpuluh-puluh tahun menggeluti dunia bisnis.
Telingaku masih mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh wanita di depan sana. Kali ini ia menjelaskan tentang kategori yang akan mendapatkan penghargaan siang ini. Beberapa macam penghargaan dimulai dari pengusaha dengan ide menarik, pengusaha dengan perusahaan terbaik, dan masih banyak lagi. Namun, penghargaan yang paling diinginkan para pengusaha itu adalah penghargaan dengan kategori pengusaha dengan omzet tertinggi tahun ini.
Berbicara masalah omzet, pengusaha yang menghadiri acara ini pasti memiliki omzet yang tinggi. Mereka memiliki berbagai fasilitas yang mendukung usaha mereka dan tentu saja dari modal yang banyak itulah mereka akan menghasilkan laba yang banyak pula. Sedangkan aku, aku tidak yakin akan mendapatkan penghargaan itu. Omzet yang aku peroleh sebagai pengusaha berlian--yang perusahaannya baru berdiri tahun kemarin--pasti tidak akan melampaui omzet yang mereka peroleh. Mereka sudah lama bergelut di dunia bisnis, itu masalahnya.
Aku sendiri sudah menanam modal banyak pada perusahaanku itu. Banyak dari kalangan pengusaha rekan kerja ibuku juga yang menginvestasikan harta mereka untuk modal perusahaanku. Dari modal yang terkumpul itulah aku memulai usaha berlian yang kemudian dijadikan berbagai macam perhiasan menarik yang tentunya akan membuat para wanita rela membuang uang milyarannya untuk membeli perhiasan dari bahan berlian dariku.
Dari sekian banyak pengusaha yang diundang siang ini, hanya akulah yang berjenis kelamin perempuan. Kebanyakan tamu yang hadir adalah kaum pria. Sedangkan para perempuan yang duduk di samping mereka itu hanyalah istri mereka yang mendampingi sekaligus mendoakan yang terbaik pada mereka. Ada juga pengusaha yang didampingi oleh ibunya, sama seperti aku.
Waktu ternyata sudah berjalan cukup lama, wanita di depan sana yang sedari tadi memberitahu teknis penilaian dan pemberiaan penghargaan telah selesai berbicara. Kini, di atas panggung megah itu telah berdiri seorang pria yang telah siap untuk memulai pembicaraannya.
"Selamat siang. Para hadirin yang terhormat saya akan mengumumkan pemenang penghargaan dalam acara tahunan yang telah berjalan cukup lama ini ...."
Pria itu sudah membawa sebuah map yang di dalamnya berisi nama-nama pengusaha yang meraih penghargaan.
Riuh tepuk tangan tendengar saat pengusaha yang dipanggil namanya melangkah ke depan. Mereka adalah pengusaha yang meraih penghargaan dalam kategorinya masing-masing.
"Aku tidak menjanjikan apa pun pada Ibu, jadi kuharap Ibu tidak kecewa," ucapku. Aku menatap mata wanita itu, kegelisahan sudah bercokol di sana. Aku tidak pernah yakin atas semua keputusanku mengikuti ajang bergengsi ini. Namun, aku ingin membuat ibuku bangga padaku. Karena dia pernah berkata, "Wanita tidak pernah takut pada apa pun. Berjuanglah seperti Kartini yang memperjuangkan kehidupan semua wanita di Indonesia." Dia selalu menyuruhku berjuang untuk menggapai cita-citaku dan undangan untuk masuk ke gedung ini, merupakan bagian dari mimpiku yang dulu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Hari ini aku harus memetik buah hasil perjuanganku.
Ibu masih diam saat keramaian mulai menyelimuti ruangan besar ini. Hingga akhirnya aku bersuara kembali, "Jika Ibu sudah tidak mau menunggu, kita bisa pulang."
"Aku tidak suka pada orang yang pulang sebelum perang berakhir, menurutku dia seperti pecundang," katanya.
Aku mengerti, sangat-sangat mengerti pada ucapannya. Hingga akhirnya aku memilih bungkam dan memalingkan wajahku ke depan. Kulihat para pengusaha di atas panggung tersenyum bangga. Apakah aku akan ikut berdiri di sana?
"Akhirnya, semua pengusaha yang mendapatkan penghargaan pada kategori yang telah saya bacakan tadi telah berbaris di depan. Dengan hormat saya panggil Bapak Djuanda selaku CEO perusahaan Ginta Jaya yang tahun kemarin memenangkan penghargaan sebagai CEO terbaik memberikan penghargaan untuk mereka."
Riuh tepuk tangan kembali terdengar saat mereka duduk di kursi semula. Penghargaan yang diberikan adalah sebuah piala yang terbuat dari emas dengan bentuk bintang serta tulisan kategori yang diraihnya. Bentuknya sangat bagus. Mereka juga diberi piagam penghargaan. Aku hanya memasang wajah tak percaya, ternyata aku tidak bisa ikut berdiri di sana. Ah, tunggu, aku masih punya harapan. Penghargaan untuk pengusaha dengan omzet tertinggi masih bertengger di atas meja khusus di atas panggung.
"Dan ini adalah puncak acara kita, pemenang penghargaan dengan kategori pengusaha dengan omzet tertinggi diraih oleh ...." Pria itu menggantungkan ucapannya. Sangat membuat aku bertanya-tanya. Aku harap itu aku, tapi ...
"Selamat kepada Sekar Larasati, pengusaha muda yang memulai usahanya satu tahun yang lalu. Bergelut dalam usaha berlian dengan omzet lima triliun di tahun pertamanya. Tempat dan waktu kami persilakan."
Aku tercengang! Sungguh, apakah ini nyata? Sekar Larasati, namaku dipanggil? Aku menoleh ke arah Ibu dan wanita itu mengacungkan jempolnya. Binar kebahagiaan terpancar di matanya. Aku segera berdiri dan melangkah untuk menerima penghargaan yang aku impikan.
"Silakan pidatonya, Nona," ucap pria itu.
Aku mengangguk, kemudian mendekati mikrofon untuk mulai berpidato. Aku sudah mewujudkan mimpimu, Bu.
"Selamat siang. Terima kasih atas penghargaan yang telah diberikan ini. Sungguh! Saya tidak pernah menyangka saya dapat berdiri di sini. Saya ucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa.
"Saya akui, saya hanya perempuan biasa yang baru saja menggeluti dunia bisnis. Kenapa saya memilih menjadi pengusaha berlian? Sebenarnya ada banyak makna di balik usaha yang saya tekuni itu. Di antaranya karena wanita yang sedang duduk di sana. Dia pernah berkata, "Wanita itu seperti berlian, mahal dan apabila rusak maka tidak ada lagi harga untuknya. Wanita berhak dimiliki oleh mereka yang memiliki kecintaan terhadap sesuatu yang berharga." Maka dari itu saya ingin menjadikan para wanita terlihat cantik dengan barang-barang berharga di tubuhnya, walaupun saya tahu tanpa mengenakan berlian pun wanita sudah terlihat berharga.
"Saya akan menyinggung sedikit tentang wanita--kaum saya--yang katanya lemah. Detik ini saya menolak dengan keras tuduhan seperti itu. Jika wanita itu lemah, maka saya tidak mungkin akan berdiri di sini. Bagi saya, wanita merupakan ciptaan Tuhan yang paling agung, yang memiliki perasaan lembut dan tak pernah patah semangat. Saya selalu meniru Ibu saya, tentang semua hal yang selalu dilakukan olehnya. Saya masih ingat perkataannya waktu itu, "Jika para pria berperang menggunakan senjata, maka wanita berperang tanpa menyisingkan lengan bajunya."
"Saya mengerti kata-kata itu. Dan saya rasa saya akan memeluknya saat ini, karena saya telah berhasil berperang sesuai dengan arahannya serta memberinya sedikit kebahagiaan yang selalu diimpikannya."
Aku turun dari panggung dan menghampiri Ibu. Aku langsung berhambur memeluknya. Kemudian dia berbisik, "Jika ada kata yang lebih tinggi derajatnya dari sekadar kata 'aku bangga', maka akan kuucapkan detik ini juga."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top