Aku Mencintaimu

"Pa! Papa!"

Rendra yang tengah duduk di kursi kerjanya tersentak, menoleh menatap puteri kesayangannya yang berwajah cemong. Tadi katanya Key hendak membuat kue untuk Aldo. Anak gadisnya itu kian merapatkan jarak mereka, berdiri di samping Papanya sambil menatap menelisik wajah lelahnya.

"Pa, kok murung? Hari ini Key kan cuma nyuruh Neva ngepel, ngelap kaca, nyuci mobil. Carel juga disuruh bersihin kolam renang sama kolam ikan doang. Fina pergi, jadi belum Key suruh apa-apa. Tapi kok Papa udah ngambek aja?" Key bersungut-sungut, seingatnya, dia hari ini belum memberikan perintah yang 'keterlaluan' pada saudara tirinya. Rendra mencubit hidung Key membuat cewek itu meringis.

"Jangan sembarangan nyuruh sodara-sodara kamu. Di rumah kita punya Lima ART malahan. Kasian mereka."

"Namanya gembel harus diperlakuin kayak gembel dong."

"Key." Tegurnya.

Key manyun. Rendra menghela napas berat. Dia terlalu memanjakan Key sejak kecil. Apalagi semenjak Lea meninggal Enam tahun lalu. Segala yang diinginkan puterinya, tidak pernah sekali pun bisa dia bantah.

Dia sudah bersumpah, akan melakukan hal hina sekali pun jika itu berhubungan dengan si semata wayang. Permata yang selalu dia banggakan sekali pun sikapnya sesekali jahat dan sangat keterlaluan.

Dia tidak kuasa memberi hukuman. Cara mendidik yang salah memang. Tapi, dia pun lebih dari sadar bahwa dibalik sikap galak dan judesnya, Key amat rapuh dan mudah untuk dipecahkan. Rendra pernah kehilangan seseorang yang amat berarti untuk hidupnya. Menjadi alasan kenapa dia hancur lebur nyaris tidak lagi sanggup menggerakkan kakinya.

Kegagalannya, membuat Lea pergi selamanya menitipkan buah hati mereka Satu-satunya. Rendra benar-benar tidak berdaya, berbagai cara sudah dia lakukan untuk kesembuhan istrinya. Bolak-balik ke luar Negeri demi mendapatkan perawatan yang lebih prima. Namun Tuhan berkehendak lain. Manusia hanya bisa berikhtiar, takdir yang mereka tempuh, hanya Tuhan yang menentukan.

Tapi Lea tidak pernah mengeluh.

Sekali pun penyakitnya sedang kambuh, dia terlalu kuat sampai tidak sekali pun menangis di depan Rendra juga puterinya.

Lea sadar Key selalu membutuhkannya. Puterinya hancur kalau melihat dia melemah. Karenanya, bibirnya tidak pernah pudar mengukir senyuman. Ketika sakitnya sudah tidak tertahankan, dia akan meminta Rendra untuk mengajak Key pergi jalan-jalan.

Dia wanita terkuat yang pernah Rendra kenal sepanjang hidupnya.

"Key mirip banget sama Mama." Dia tiba-tiba bergumam. Baik Lea atau pun FIna, dua-duanya sangat dicintainya. Namun, kedua wanita itu memiliki bagian hati yang berbeda. Lea tidak tergantikan, sampai detik ini, dalam setiap langkahnya sosok tegar itu tidak pernah pudar dari ingatan. "Key selalu bikin Papa inget sama Mama."

"Key kan anak Mama." Key nyengir lebar. Dia memeluk kepala papanya, membuat Rendra mengukir sunggingan tipis. "Key anak Papa."

"Makanya jangan nakal terus."

"Key gak nakal." Key duduk di atas meja kerja papanya. Dua kakinya yang tidak bisa mencapai lantai berayun-ayun. "Pa, ceritain soal Papa sama Mama dulu dong."

"Papa lagi ada kerjaan." Rendra berkata menyesal. Menatap tumpukan file yang ada di sisi puterinya. "nanti aja, ya."

Key menggigit bibir bawahnya, menatap sang Papa dengan mata berkaca-kaca, hidungnya kembang-kempis pertanda tidak mau dibantah. Rendra menghela napas berat. Dia memang terlalu lemah dan tidak tegaan. Tangan besarnya terulur, mengelus pipi berlemak bayi.

"Yah, Papa ceritain deh. Tapi jangan jahatin Carel sama Neva lagi. Oke?"

"Oke!" Key mengiyakannya terlalu cepat. Membuat sang Papa tidak yakin anaknya itu akan menepati janjinya. Tapi, tidak ada salahnya juga mengingat masa lalu mereka bukan? Masa lalu yang telah mempertemukan dia dengan almarhumah istrinya.

"Begini ceritanya~"

***

"Minggir!" pemuda itu berkata tegas. Menatap tajam pada tiga orang preman yang sedang memalak seorang gadis di gang menuju apartemennya. Sore beranjak malam, hamparan es putih memanja sepanjang mata menatap. Berada di gang sepi terjebak di antara Tiga orang pria kulit hitam berbadan besar merupakan salah Satu hal tersial yang gadis itu alami.

Mata cokelat menatap menusuk, pemuda berwajah asia yang memakai jaket tebal demi melindungi tubuhnya dari suhu dibawah Nol derajat tidak mau membuang waktunya. Dia melirik gadis bersyal ungu yang menatapnya dari celah pemalaknya nyaris tanpa berkedip.

"Minggir!"

"Jangan jadi pahlawan kesiangan!" Si mata hijau menggertak galak. Pemuda itu tidak kenal rasa takut. "Kau pikir-"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu meremas wajah si preman kemudian menghantamkan kepalanya ke tembok tinggi di dekatnya. Premannya langsung tidak sadarkan diri. Tergeletak bersimbah darah membuat kedua temannya panik.

Rendra namanya, dia menatap telapak tangan kanannya, menatap dalam dua orang di depannya yang tampak ketakutan tetapi juga ingin melawan. Pemuda itu tetap membiarkan, dia akan menyerang kalau keduanya menyerangnya lebih dulu.

Tapi di luar dugaan, dua preman itu justru melarikan diri. Rendra mendengus tidak peduli. Tanpa melirik gadis yang ditolongnya sama sekali, dia melangkahkan kaki melanjutkan perjalanannya lagi. Tadi, dia tidak bermaksud menolong sebenarnya. Hanya saja, Tiga preman itu memalak orang di jalan yang biasa dia gunakan pulang kampus menuju apartemennya.

Cuaca semakin dingin.

Si gadis dengan langkah kecilnya membuntuti, masih terkesima dengan aksi Rendra yang luar biasa.

"Kamu orang Indonesia juga?"

Rendra tidak menjawab. Dia tidak terlalu suka bicara. Pemuda itu tidak menghiraukan gadis yang berbinar-binar menatap wajahnya. Sudah tampan, tenang, tinggi, keren lagi. Sebenarnya gadis itu sempat melihat Rendra di kampus berkali-kali. Sayangnya, pemuda yang sering dijauhi karena nyaris tidak pernah tersenyum itu terlalu sulit untuk didekati.

Rendra mengerikan. Yang berani mendekatinya hanya seorang kakak kelas yang berdarah Indonesia juga. Usianya dengan Rendra terpaut cukup jauh, tapi keduanya sangat akrab. Kalau tidak salah, namanya Gabriel Giofardo.

Tapi, dia tidak pernah menyangka kebetulan seperti ini ada. Rendra menolongnya saat dia nyaris dirampok dan sama sekali tidak melawan.

"Nama aku Lea." Lea memperkenalkan dirinya. Gadis berambut hitam panjang berjalan sambil mendongak ke arah samping, menatap wajah Rendra dari sisi susah payah. Setengah berlari agar langkah mereka bisa sejajar. "Kamu Rendra, kan?"

Tetap tidak ada jawaban. Ternyata memang benar kata banyak orang, Rendra itu hanya akan bicara kalau perlu saja. Dia bahkan tidak menoleh sama sekali.

Lea tidak menyerah.

Dia berusaha mendapatkan perhatian pemuda yang menarik perhatiannya pada pandangan pertama.

"Apartemen kita sebelahan loh." Lea mencari topik pembicaraan yang lain. "Kamu mau mampir dulu? Aku baru bikin kue, anggap aja ucapan terima kasih."

"..."

Kalau orang lain diperlakukan layaknya Lea sekarang, pasti akan menyerah. Tapi Lea terlihat cuek, kalau memang karakter Rendra jutek ya mau bagaimana lagi, kan?

"Rendra-"

"Berisik!" Rendra setengah menggertak. Lea diam beberapa lama, apalagi saat Rendra menghentikan langkahnya dan mendelik padanya.

"Wah, akhirnya dibales juga." Di luar dugaan, Lea justru sangat senang saat akhirnya Rendra memberi respon. Dia memang gadis yang cukup keras kepala. "Ayo mampir ke apartemen aku."

Tidak peduli. Rendra mendengus. Dia berjalan melewatinya. Tetap bungkam karena merespon setiap ocehan Lea tidak akan ada habisnya. Lea bahkan tidak sungkan menceritakan kehidupan pribadinya. Mereka berjalan bersisian dengan Lea yang terengah-engah karena berusaha mengejarnya susah-payah.

Lea tidak berhenti mengoceh sampai akhirnya Rendra sampai di depan pintu apartemennya, masuk kemudian membanting pintu.

"Sampai jumpa besok di kampus, Ren!" teriak Lea menggebu-gebu. Rendra menyesal karena sudah terlibat dengan cewek secerewet itu.

***

"Ini mimpi buruk buat aku." Rendra mengeluh. Di depannya, Fina hanya terkekeh melihat ekspresi kusut kekasihnya. Gadis cantik yang saat ini menemaninya makan siang di sebuah restoran tetap setia sebagai pendengar. Rendra pulang dari Inggris hanya kalau sedang ada waktu libur saja. Fina berasal dari keluarga sederhana, dia harus mati-matian mengumpulkan uang agar bisa membalas surat yang dikirimkan Rendra setiap bulannya.

Memiliki kekasih tampan, pengertian, dan kaya, adalah impian setiap wanita tentunya. Fina pun sesekali masih tidak habis pikir kenapa saat sekolah SMU dulu, Rendra bisa tertarik padanya? Memang banyak yang memujinya cantik juga anggun, tapi untuk seorang pemuda sekelas Rendra, tentunya akan sangat mudah mendapatkan gadis yang lebih baik darinya.

Sayangnya, cinta mereka tidak mendapat restu orangtua Rendra. Menurut surat yang saat itu dikirimkan Rendra, katanya saat ini Rendra sedang ditunangkan dengan seorang gadis yang berasal dari keluarga kaya sejak Tiga tahun lalu. Fina tidak pernah marah, dia memaklumi semuanya. Tapi, dia sadar sikap kekasihnya mulai ada yang berubah.

Di setiap surat sampai perbincangan mereka di hari pertama Rendra menginjak Jakarta lagi, yang dibahasnya selalu saja tentang kecerewetan dan gangguan dari tunangannya –Lea.

Rendra bilang, kalau dia sudah lulus kuliah, dia akan menikahi Fina yang saat ini bekerja sebagai karyawan salon kecantikan. Dia akan meninggalkan keluarganya, dan berusaha menghidupi Fina dengan usahanya sendiri.

Tentu, sebagai gadis yang dicintai sampai sedalam ini, dia amat bahagia. Nyaris Enam tahun berpacaran, tidak pernah sekali pun Rendra mengecewakannya.

Ini pertama kalinya, dia selalu membahas gadis lain di depan Fina.

"Lea itu, kayaknya gak gampang nyerah, ya?"

"Aku heran kenapa dia terus ganggu aku padahal sering aku kasarin?" Rendra berkata ketus. Fina mengulum senyum saat pemuda itu menatapnya kemudian mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Kamu gak sadar, sekarang ini kamu lebih sering ngebahas Lea daripada~ kita?" Sedikit tidak nyaman, takut dituduh sebagai pacar cemburuan. "Aku pikir dia makin gampang kamu inget~"ya?"

"Fina, aku gak maksud." Rendra merasa bersalah. Dia menggenggam erat tangan Fina yang terulur di atas meja. Duduk mereka hanya dibatasi sebuah meja bundar. Rendra sangat menyesal. "Aku minta maaf."

"Aku gak pa-pa." Fina menggeleng. Dia menunduk kemudian terdiam. Merasa hubungan mereka semakin menjadi beban. Apalagi saat ini Rendra jadi seringkali terfokus dengan gadis lain. Gadis yang gigih mengejarnya dan melakukan banyak hal konyol demi mendapat perhatiannya.

Setiap paginya, katanya bahkan Lea akan berdiri di depan pintu apartemen Rendra untuk menyambutnya. Memaksa agar mereka bisa pergi ke kampus bersama.

Apa hubungan mereka benar-benar bisa bertahan?

"Fina, aku yakin kamu pasti ngerti kalo aku susah bahas ini." Rendra berkata lembut. Fina meluruskan pandangannya, menatap Rendra hangat. "Aku cinta sama kamu, setelah lulus nanti, aku bakalan ninggalin Lea dan nikahin kamu."

Mereka menoleh saat ada seseorang yang menjatuhkan sesuatu. Lea tersenyum lebar hanya berjarak Tiga meter dari meja yang ditempati Rendra dan Fina. Gadis itu memungut kembali tasnya. Dia menoleh, menatap Liesel yang tadi mengajaknya makan siang di restoran ini.

Dia tidak menyangka akan bertemu tunangannya bersama~ gadis yang katanya dicintainya?

Liesel yang sedang menggendong balita berumur Dua tahun terdiam. Dia tau kalau selama ini Rendra memiliki kekasih dari suaminya –Gabriel. Tapi dia tidak terpikir akan bertemu dengan Rendra di tempat ini. Dalam gendongannya, Aldo masih sibuk memainkan rambut pirang sang Mama.

"Maaf!"

Di luar dugaan, Lea justru menghampiri mereka berdua. Rendra terhenyak, Fina sama terkejutnya. Kaget saat ada gadis yang tidak dikenalnya tiba-tiba menundukkan kepala dalam-dalam dan meminta maaf padanya. Fina menoleh pada Rendra, namun Rendra sedang terfokus pada gadis yang berdiri di sisi Fina.

"Aku minta maaf. Rendra gak pernah ngomong kalo dia udah punya pacar selama ini." Meluruskan pandangan. Lea terlihat tegar. Liesel yang berdiri dua langkah di belakangnya tidak ikut campur. Dia pun speechless dengan tingkah sahabatnya. Padahal Lea jauh lebih muda darinya. Kalau saja saat ini Liesel ada di posisi Lea, dia tidak akan bisa bersikap sekuat ini.

"Sebelumnya, kenalin nama aku Lea." Lea mengulurkan tangannya mengajak Fina bersalaman. Fina balas menjabat, masih kebingungan. "A-aku minta maaf. Aku gak sadar udah ngejar seseorang yang udah punya pacar."

Lea meringis. Dia mendekati Rendra kemudian memukul bahu Rendra pelan –sok akrab.

"Harusnya kamu ngomong juga. Biar aku gak terus ngejar kamu kayak orang bodoh selama ini. Aku pasti ganggu banget, ya?" Lea tertawa. Tawa yang sebenarnya dia suarakan untuk mencemooh dirinya sendiri. Dia diam lagi saat Dua orang di depannya tidak bersuara, tidak terlihat akan menanggapinya. "Longlast, ya. Masalah pertunangan kita, kamu gak usah khawatir. Aku bakalan ngomong sama orangtua aku biar dibatalin sekarang juga."

"Kalo dibatalin sekarang-"

"Gak pa-pa." Lea menggeleng. Tidak memberi Rendra kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia terlalu kuat. Saking kuatnya, tampak sekali tidak lama lagi akan lebur. "usaha orangtua aku sama sekali gak ada hubungannya sama kamu. Aku gak lama lagi lulus kuliah, kami bisa ngerintis semuanya lagi dari awal."

Lea berbalik. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan sesak di dadanya. Kenapa dia setolol ini sampai tidak pernah menyadarinya?

Pemuda yang amat dicintainya~ justru sangat mencintai gadis lain.

Matanya memerah, Liesel menangis lebih dulu tidak kuat melihat sikap tegarnya.

Dua kaki Lea yang gemetar dipaksa melangkah. Dia menghiraukan Rendra yang terus memanggil namanya.

"Setelah ini, Lea gak bakalan ngejar kamu lagi, Ren. Aku harap kamu puas udah ngancurin seseorang sebaik dia kayak gini."Liesel menelan ludah. Selesai mengucapkannya, dia berbalik dan membuntuti Lea ingin membantu menenangkannya, atau sekedar jadi tempat bersandar dan sahabatnya berkeluh kesah.

Lea masuk ke dalam mobilnya. Tersenyum perih saat Liesel duduk di jok samping kanannya.

"Lea ... maaf, aku harusnya gak ngajak kamu ke tempat ini." Liesel sudah fasih berbahasa Indonesia, hanya saja logat asingnya memang amat kentara.

"Gak pa-pa." Lea menggeleng. Dia menoleh, menyusut pipi Liesel yang basah dengan saputangannya. Dia masih bertahan tidak ingin menangis. Dia memang bodoh karena sudah jatuh cinta pada pemuda yang memiliki pasangan. Tapi dia sama sekali tidak menyesalinya. Tiga tahun ini, dia bahagia karena pernah mencintai seseorang sampai sebegini dalamnya.

Rasa sakit yang benar-benar mencubit.

"Liesel, jangan nangis lagi." Lea menggigit bibir bawahnya. Saat Liesel menangis histeris, dalam dekapannya Aldo yang seolah merasakan kepedihan Mamanya ikut meraung-raung. Lea nyengir lebar. Hanya sesaat, airmatanya mulai ikut bercucuran. "Liesel, kalo kamu nangis aku jadi pengen ikut nangis."

"Harusnya kamu tampar dia!" Liesel terlanjur terikat janji tidak akan mengatakan apa pun pada Lea soal Rendra terhadap suaminya. Dia pikir semuanya akan berjalan sesuai dengan yang direncanakan Rendra. Rendra akan memutus hubungannya dengan Lea kalau usaha orangtua Lea sudah kembali prima.

Tapi kalau sudah seperti ini, Lea pasti tidak akan mau menunggu lama. Gadis itu tidak senang menempatkan dirinya di tengah sepasang orang yang mencintai Satu dan yang lainnya.

Sekali pun, hatinya saat ini mengalami cidera yang amat parah.

"Rendra ... maafin aku." Dia menyalahkan dirinya. Ikut menangis histeris saat tangisan Liesel tidak juga mereda, "maaf karena aku udah jatuh cinta sama kamu."

***

Ada yang minat? Terdiri dari 2 part doang sih. Kalo pada mau tau lanjutannya diusahain nulis nanti sore ato malem. Hihihi


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top