Aku Juga Mencintaimu

"Lah, diceritain malah nangis." Rendra meringis. Saat di depannya Key menangis sampai terisak-isak. Tidak bisa membayangkan sepedih apa hati sang Mama saat mengetahui pemuda yang dicintainya, justru mencintai wanita lain.

Key tidak akan sekuat itu. Hanya karena perasaan takut dicampakan saja, dia sudah pernah nyaris mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tidak akan kuat kalau melihat Aldo lebih memilih gadis lain dibanding dirinya.

Mamanya sangat kuat.

Membuatnya semakin bangga juga mengaguminya.

"Papa jahat sama Mama!" Key nyaris menjerit. Wajahnya memerah padam. Rendra berdiri, dia duduk di meja samping kanan puterinya, menarik Key ke dalam dekapannya.

"Papa emang jahat. Papa dulu bener-bener nyakitin Mama." Dia tidak menyangkal. Setiap mengingat hal tersebut, dia selalu semakin terpesona pada ketangguhan Lea. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya mereka akan menikah dan dianugerahi seorang puteri yang~ tidak kalah keras kepalanya.

"Terus gimana kelanjutannya?"

"Udah nangis ampe ingus nempel ke kemeja Papa masih pengen tau lanjutannya?" Rendra tertawa. Key memeluk pinggang Papanya erat, ikut nyengir lebar karenanya.

"Penasaran Papa ..."

"Ngh ... Grandpa kamu mutusin pertunangan kami. Dia bilang gak punya muka lagi di depan sahabatnya karena udah nyakitin Mama malahan bikin Mama ngakuin alesan yang sama sekali gak ada."

"Terus, kok bisa Papa nikah sama Mama? Ada Key lagi!" Key menunjuk hidungnya sendiri. Rendra mengecup pelipis puterinya, menghela napas lelah.

"Papa berusaha nemuin Mama."

***

"Anaknya Hermawan itu gak tau diri!" Irawan tampak marah. Saat Rendra pulang, dia sudah dihadapkan dengan emosi menggebu-gebu ayahnya. Rendra yang masih dibimbangkan dengan keputusan Lea tadi meluruskan pandangan, menatap Ayahnya dalam-dalam. "Rendra, pertunangan kamu sama Lea sudah Papa batalkan. Dia katanya jatuh cinta sama pria lain. Dasar gak tau diuntung."

Rendra terpaku. Di ruang tamu rumahnya yang luas, dia nyaris tidak bergerak. Lea sudah memutuskannya, ya?

Padahal Rendra yang salah, tapi Lea berbuat seolah semua kesalahan diperbuat olehnya.

Gadis itu tidak mau menjadi beban untuknya, padahal sudah Rendra sakiti demikian kejamnya. Lea, tetap melindunginya.

"Papa bakalan kenalin kamu sama yang lebih cantik. Kalo bukan karena dia satu Universitas ma kamu di Oxford, gak bakalan Papa jodohin kamu sama dia. Perusahaan orangtuanya itu sudah nyaris bangrkut. Kita bantu, dia malah mutusin ikatan. Biarin, biar tau rasa mereka jadi orang susah."

Mamanya tidak berucap apa pun. Sikap Rendra pun sangat tenang seperti biasa.

Kenapa Lea sampai bertindak sejauh ini?

Kalau saja semua kesalahan Lea lemparkan pada Rendra, mungkin ada harapan kalau suntikan dana dari keluarganya tidak akan dicabut. Gadis itu terlalu baik, sampai tidak mau lebih merepotkannya. Bahkan, senyuman lebar di restoran tadi, sampai saat ini menorah luka yang cukup lebar di dada Rendra.

Kalau saja bukan Lea. Mungkin dia tidak akan peduli. Gadis itu Satu-satunya orang yang tidak pernah menangis sekali pun sering dia bentak. Lea keras kepala berdiri dari shubuh di depan pintu apartemennya demi bisa pergi ke kampus bareng Rendra. Awalnya, sering Rendra marahi, tapi ujung-ujungnya Rendra terbiasa juga.

Saat Rendra sakit dan kebetulan tidak ada yang merawatnya, Lea tidak segan memanjat ke balkon kamarnya tanpa peduli resiko bisa saja dia terjatuh dari lantai Sepuluh. Gadis itu akan merawatnya, mengganti kompresnya, memasak bubur untuknya.

Sekali lagi, keberadaannya membuat Rendra terbiasa. Perlahan, Rendra mengizinkan Lea masuk ke apartemennya, mesti hanya sesekali, hal itu membuat Lea akan mengukir senyuman cerahnya.

Kalau diingat-ingat, selain memperjuangkan cintanya bahkan membuatnya dicap sebagai stalker di kampus, tidak sekali pun Lea melakukan hal yang merugikannya. Mungkin, karena hal itu pula Rendra berempati sampai tidak memutuskan ikatan mereka kecuali usaha orangtua Lea sudah sanggup berdiri tegak sendiri lagi.

Dan kali ini~

Lagi-lagi gadis itu melakukan tindakan heroik, yang membuat Rendra semakin merasa kalau dirinya memang seorang pecundang sejati. Dia terus saja dilindungi oleh seseorang yang berbadan jauh lebih kecil darinya, seorang wanita. Apa kabar harga dirinya?

"Lea cinta sama aku." Saat ayahnya nyaris pergi, Rendra mengatakannya spontan. Ayahnya berbalik menatap dia tak mengerti.

"Apa maksud kamu?"

"Lea cinta sama aku." Rendra menatap sang ayah lurus-lurus. "Dia tau aku cinta sama Fina, makanya sengaja bohong sama Papa biar Papa gak nyalahin aku."

"Rendra, kamu masih berhubungan sama perempuan itu?!" Mamanya ikut marah, dari yang tadinya berperan sebagai pendengar, kini dia ikut bersuara. "Kamu sampai maksa Lea buat bohong sama kami?"

"Aku gak maksa apa pun." Rendra tetap menjawab dengan wajah datarnya. Diam sekali pun ditampar keras oleh ayahnya. "Dia~ aku sendiri gak ngerti kenapa dia harus sebaik ini?"

Rendra meringis. Membuat kedua orangtuanya terpaku, tidak menyangka akan melihat wajah putera mereka memasang ekspresi semenyedihkan itu. Rendra merupakan pribadi yang sangat tenang, dia sempat memberontak saat hubungannya dengan Fina ditentang. Tapi dia tidak menolak bahkan saat dijodohkan dengan Lea. Rendra mengikuti semua garis yang ditentukan orangtuanya.

Orangtuanya tau putera mereka mencintai Fina. Tapi di zaman ini, akan sangat memalukan kalau sampai putera kebanggaan mereka menikahi gadis yang berasal dari keluarga biasa. Secara turun-temurun, keluarga Irawan merupakan keluarga yang dipandang hormat dan juga terkemuka.

"Aku nyakitin orang sebaik dia." Rendra menutup wajahnya dengan telapak tangan kanannya, menahan napas berat. Rasa sesak yang kian menyeruak, sejak tadi dia kesal pada dirinya sendiri. "bahkan saat dia ngeliat aku sama Fina barusan. Dia sama sekali gak marah, dia justru minta maaf karena ngerasa udah ganggu aku selama ini. Aku tau dia bener-bener cinta sama aku, tapi saat dia mutusin pertunangan kami, dia justru senyum gak mau nunjukin rasa sakitnya sama sekali. Kenapa Lea harus sebaik ini, Ma?"

"Rendra ..." ibunya tidak bisa berkata. Emosi ayahnya pun langsung mereda. Tidak pernah Rendra segalau ini sebelumnya, ini pertama kalinya sejak Sekolah Dasar Rendra mau lagi dipeluk oleh ibunya. Merasa lelah karena rasa gundah yang menenggelamkannya.

"Kamu udah bikin Papa punya pikiran buruk soal Lea." Irawan menggeleng tidak habis pikir. Dia menghela napas berat. "sekarang terserah kamu mau nikahin siapa? Papa bakalan minta maaf sama Hermawan. Kalo salahnya di kamu, kami gak punya alesan buat mutusin kerjasama. Kita bukan cuma nyaris ngancurin usaha mereka, kita bahkan udah bener-bener nyakitin hati anak gadisnya."

Rendra membungkam. Wajahnya kian lelah, ibunya membelai kepala putera semata wayangnya. Irawan melangkah pergi, merasa kecewa, kesal, dan marah diwaktu bersamaan. Membuat tenaganya bahkan sudah tidak cukup untuk dipakai membentak putera satu-satunya.

***

"Aldo ... pipi kamu tumpah-tumpah gini. Gak berat kah?" Lea malu pulang ke rumah. Dia tadi memutus ikatan dengan Rendra kepada orangtuanya juga pada orangtua Rendra melalui sambungan telepon di rumah Liesel. Kedua orangtuanya pasti sangat marah. Entah kebetulan macam apa dia dan Rendra bisa sama-sama anak tunggal?

Sebagai anak semata wayang, harusnya dia membantu orangtuanya yang bersusah payah mempertahankan usaha mereka. Bukan justru menambah susah.

Dia duduk di atas karpet ruang nonton tv rumah Liesel, bersama Aldo yang tampak serius menatap buku bergambarnya.

"Delapah!" Aldo menunjuk gambar Jerapah. Lea meringis kemudian tertawa. Balita itu ikut tertawa, Aldo menunjuk harimau dan berkata, "meong."

"Iya, meong besaaaar." Lea sudah tidak menangis. Dia meluruskan pandangan, menatap Liesel yang duduk bersisian dengan Gabriel sambil sesekali masih terisak. Dia meringis. "Kamu nangis terus kasian Aldonya."

"Habisnya ..." Liesel menjawab sambil sesenggukkan. "Aku kesel banget sama Rendra."

"Aku gak ngerasa kesel sama sekali." Lea memeluk Aldo, balita gendut itu dia dudukkan di pangkuannya, merentangkan dua tangan minta dipangku oleh sang Mama.

"Syusyu."

"Aku yang salah." Gabriel menggumam menyesal. Dia sudah berteman dengan Lea. Sejak awal dia merasa ragu kalau rencana Rendra akan semulus yang mereka pikrikan. Lea itu selalu lebih memikirkan orang lain. Dia tidak akan memanfaatkan kesempatan baik kalau harus menyakiti orang lain. "harusnya aku ngomong sama kamu dari dulu. Hubungan Rendra sama Fina, udah jalan Enam bulan. Rencananya mereka akan menikah setelah Rendra lulus kuliah."

Hatinya perih. Lea luar biasa sakit. Tapi dia tetap tidak menangis, hanya menunduk dalam-dalam, berusaha mengalihkan rasa sakitnya dengan mempermainkan pipi gembil Aldo. Aldo menepis tangannya kemudian melotot.

"Yah, ini jadi kisah masa muda aku. Kalian santai aja." Dia buru-buru menjawab saat sadar merenung terlalu lama. Tidak ingin membuat kedua temannya merasa bersalah. "udahlah, kalian gak perlu masang wajah kasian gitu. Aku baik-baik aja. Lagian~ dari awal aku udah tau Rendra gak cinta sama aku kok."

Lea tertawa garing. Dia diam saat melihat dua temannya masih memasang wajah menyedihkan.

"Walo agak sakit dikit." Dia lagi-lagi tertunduk. Berkedip sekali. "Aku boleh nginep di sini? Semalem aja. Masih harus mikir dulu sebelum ketemu sama Papa."

"Kamu boleh nginep selama yang kamu mau." Liesel mengangguk. Dia merangkak lebih mendekat, memangku puteranya yang terus berceloteh memanggilnya. "Kita bisa tidur bareng kayak dulu."

"Loh, kalo kamu tidur sama Lea, Papa tidur sama siapa, Ma?"

Mereka bertiga tertawa. Tawa yang benar-benar pedih, mengandung banyak makna dan juga luka. Kenangan yang tidak mungkin terlupakan seumur hidupnya.

Lea ... menjerit pilu dalam hatinya.

***

"Fina." Rendra memanggil ragu. Fina yang baru menyelesaikan pekerjaannya tersenyum saat keluar salon kekasihnya sudah menunggunya. Wajahnya terlihat kusut dan putus asa. Fina menghampirinya, mereka berjalan bersisian menyusuri trotoar jalan.

"Kamu kurang tidur, Ren?" Fina bertanya lembut. Dia mengepalkan dua tangannya kuat-kuat saat merasakan firasat buruk. "makan kamu gak teratur?"

"Fina- aku." Rendra menghentikan kalimatnya. Dia berhenti berjalan, membuat Fina melakukan hal yang serupa. Mereka kini berdiri saling berhadapan. Fina tertunduk dalam.

"Kamu cantik juga baik. Sejak dulu, pas kita masih Satu sekolah, banyak banget pria yang ngejar-ngejar kamu."

Runtutan kalimatnya kacau. Fina kian tertunduk, dadanya terasa sesak, namun dia tidak bisa berucap. Sejak awal hal ini sudah dia duga, ketakutannya selama ini pada akhirnya akan terbukti. Setelah dia menunggu cukup lama, selama dia tidak berada di sisinya, hati pemuda yang dia cintai sudah berpaling tanpa pemuda itu sadari.

"Tapi Lea, gak bakalan ada cowok lain yang mau sama dia. Namanya juga udah jelek karena selama di kampus dia udah terkenal sebagai stalker. Ka-kalau bukan aku, gak bakalan ada orang lain yang mau nikahin cewek sejelek ma secerewet dia."

Fina tidak menjawab. Airmatanya bercucuran, mengungkapkan kesakitannya. Jika Lea mencintainya, dia pun merasakan hal yang sama. Jika Lea sanggup berkorban untuknya, apa pengorbanan Fina selama ini tidak cukup untuknya?

Kenapa Rendra tidak memikirkannya?

"Dia keliatan kuat, padahal bener-bener lemah. Kalau bukan aku~" Rendra menelan ludah, dia benar-benar merasa bersalah. "Dia, gak bakalan bisa kalau bukan sama aku."

"Jadi akhirnya kamu pilih dia?" Fina mendongak, matanya yang memerah menatap penuh luka. "Enam tahun, kalah sama yang Tiga tahun, Ren?"

"Bukan masalah berapa lamanya." Rendra tersenyum pedih. Dia pun tidak berniat menyakiti gadis yang dicintainya seperti ini. Dia sudah berjanji akan menikahi Fina, namun pada akhirnya dia sendiri yang justru mengakhirinya.

Tapi Lea sudah terlalu banyak berkorban untuknya.

Ketika Rendra berusaha mati-matian melindungi Fina, Lea justru berjuang keras untuk melindunginya.

Bagaimana mungkin dia bisa terus mengabaikannya?

"Aku bener-bener minta maaf." Rendra menyesal. "Maaf."

Rendra berbalik kemudian melangkah pergi. Fina hanya terisak-isak namun tidak berani menghentikannya, menatap punggung tegap itu kian menjauh tidak terjangkau lagi olehnya. Dia menangis meraung, menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

Meringkik karena rasa sakit yang mencengkeram dadanya.

Jika Lea tidak bisa tanpanya.

Fina pun merasakan hal yang sama.

"Kamu masih aja seegois ini, Ren." Fina bergumam disela-sela tangisnya. Menikmati setiap rasa sakit akibat patah hatinya. "Kamu masih aja selalu berat di Satu sisi."

***

Saat pulang ke rumah beberapa hari lalu, orangtuanya justru menatap sedih dirinya. Mereka bersikap pura-pura tidak melihat kesakitan akibat patah hati yang dialami puteri mereka. Lea tetap bersikap ceria, dia tidak tau kalau Rendra sudah menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi.

Lea bersyukur saat kerjasama dengan keluarga Irawan tidak dibatalkan. Dia mengangguk saja saat ayahnya berkata Irawan menyetujui pembatalan pertunangan mereka.

Tapi dia tidak mau dulu kembali ke kampus.

Dia dan Rendra ada di semester yang sama, mereka juga bertetanggaan. Rasanya, dia tidak akan sanggup lagi jika harus bertemu dengan sosok cinta pertama yang sudah melukai hatinya. Dia takut akan tetap nekad mengejarnya sekali pun sudah tau persis hasilnya ; patah hati. Karenanya, dia berencana untuk cuti kuliah saja.

Saat Rendra lulus, dia akan kembali ke Inggris dan melanjutkan study-nya.

Sudah Satu minggu dia melepaskan cincinnya. Mengurung diri di kamar namun tetap bersemangat saat orangtuanya bergantian memastikan keadaannya. Lea tidak mau keluar kamar, dia bilang dirinya sedang patah hati makanya ingin lebih banyak menghabiskan waktu sendiri.

"Ah ... langitnya mendung." Lea bergumam, malam-malam dia menyorongkan kepalanya keluar jendela, menatap bulan yang tertutupi awan tebal. "bentar lagi hujan."

"Lea." Mamanya mengetuk pintu.

"Iya, Ma?"

"Ini ada Rendra, dia katanya mau ngomong sama kamu, Nak."

"Bilangin aku udah tidur."

"Lea! Buka pintunya."

Suara Rendra. Lea menatap pintu kamarnya beberapa lama. Dia tersenyum tipis, tidak sadar kalau dia benar-benar merindukan suaranya. Nada tegas setiap kali menyebut namanya.

"Pergi, Ren. Aku muak ngeliat muka kamu." Lea berkata parau. Dia tidak mau terlihat menyedihkan di mata Rendra. Tadi sore dia banyak menangis, matanya saat ini sedang bengkak. Dia tidak mau membebani Rendra dengan penderitaannya. Dia berharap, sekali pun terasa menyakitkan untuknya, Rendra bisa bahagia bersama gadis pilihannya.

"Lea. Aku mau ngomong, buka pintunya atau aku dobrak."

Selalu seenaknya. Lea terkekeh geli, dia membuka lebar-lebar jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Jarak dari jendela ke tanah itu sekitar Lima meter. Dia naik ke atas kusen, apalagi saat gedoran pintu yang pastinya dari Rendra –karena tidak sabaran- semakin mengusiknya saja.

"Lea, aku beneran bakal dobrak pintunya!"

"Coba aja."

Rendra menendang pintu kamar Lea sampai terlempar beberapa meter. Pemuda itu bersama ibunya Lea menatap horror saat Lea sedang jongkok di kusen pintu, nyaris melompat.

"LEA!"

Terlambat.

Lea terlanjur melompat, ibunya langsung pingsan. Rendra berlari sekuat tenaga berusaha menggapai tangannya, jantungnya nyaris berhenti berdetak saat melongokan kepala ke balik jendela, tubuh Lea sama sekali tidak tergeletak di sana.

Dia berkedip beberapa kali. Menyipitkan mata saat melihat seseorang yang melarikan diri menuju gerbang rumahnya. Rendra menghela napas lega sebelum akhirnya mendengus kesal. Gadis itu bisa melompat setinggi ini dengan selamat, memangnya dia keturunan gorilla?

"Le-Lea." Ibunya Lea tersadar, dia menyapu pandang ke sekeliling, kembali terbelalak saat melihat Rendra sudah berjongkok di kusen jendela bersiap melompat. "JANGAN RENDRA!"

Lagi-lagi dia terlambat. Rendra juga terlanjur melompat. Dan kembali, ibunya Lea tidak sadarkan diri.

***

"Lea!"

"Aku bilang gak bakalan ganggu kamu lagi. Jadi tolong kamu juga buat sementara gak nemuin aku." Lea tidak menoleh. Dia berjalan tergesa dengan napas terengah. Rendra berhasil mengejarnya, tenaga pria memang akan sangat mengerikan dibanding tenaga wanita.

Kenapa Rendra harus menemuinya?

Lea belum sanggup untuk menatap wajahnya.

Dia takut, cidera hatinya semakin parah.

"Lea!" Rendra menarik tangan kanannya, memaksa gadis itu untuk berbalik dan menghadapnya. Rendra menghela napas berat, "Lea aku udah putus sama Fina."

Lea terdiam. Dia mendongak, menatap Rendra beberapa lama, kemudian kembali menunduk.

"Itu bukan urusan aku."

"Kita tetep bakalan nikah sesuai rencana." Rendra sok tidak mendengar. Lea mengigit bibir bawahnya, berusaha agar tidak menangis.

"Rendra, walau aku keliatan konyol, tapi aku perempuan loh." Lea meringis. Dia menekuri kakinya seolah tidak ada hal yang lebih layak diperhatikan lagi. "Aku bisa sakit kalo kamu kasih harapan palsu kayak gini."

Dia sudah tidak bisa lagi. Tubuhnya juga melemah karena sudah beberapa hari ini makannya tidak teratur. Jiwanya lelah, karena cinta yang selama ini dikejarnya, mungkin tidak akan pernah dia miliki. Dia hanya membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan hati. Dia tidak mau lagi tersakiti dengan luka yang lebih pedih lagi.

Dia pun berharap suatu hari nanti bisa bahagia seperti orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Ini bukan harapan palsu!" Rendra menyanggah tegas. "Kita emang bakalan nikah sesuai kesepakatan orangtua.

"Aku gak butuh belas kasian kamu."

"Jangan ge'er deh, siapa juga yang ngerasa kasian sama kamu?" dia akui dirinya memang plin-plan, Satu minggu lalu dia menjanjikan Fina pernikahan, dan kali ini dia justru menjanjikan gadis lain yang akan dinikahinya.

Tapi dia menyadari bahwa kehadiran Lea selama ini terasa amat hampa saat gadis itu memutuskan ikatan mereka.

Sikap cerewetnya, mendadak jadi sangat dirindukannya.

Perhatiannya, tukang nguntitnya, semua yang Lea lakukan terasa amat berarti saat Rendra kehilangannya.

Selama mereka bertetanggaan, dia bahkan seringkali melupakan Fina. Teringat saat Fina mengiriminya surat saja.

Dia terlalu fokus pada gadis yang kini menunduk tidak berani menatapnya.

"Kenapa aku harus nikah sama kamu?" Lea merintih. Dia menghempaskan tangannya, kembali membelakangi Rendra. "Aku gak perlu nikah sama seseorang yang gak cinta sama aku."

Bukan hanya pernikahan yang dia inginkan. Bohong kalau hati kecilnya tidak bersorak saat tau Rendra lebih memilihnya, ada sedikit harapan untuknya. Tapi yang dia inginkan itu sebuah jawaban, jawaban atas pernyataan cinta yang sering dia ungkapkan namun sesering itu juga ditolak oleh Rendra.

"Gerimis, kita pulang dulu." Tarikan tangan Rendra lagi-lagi dihempas. Pemuda itu menghela napas berat. Lea benar-benar makhluk terkeras kepala yang pernah dihadapinya. Pakaian mereka kian basah, kalau begini terus, mereka berdua bisa masuk angina. "Lea."

Lea lagi-lagi melarikan diri. Berlari sekuat tenaganya meninggalkan Rendra yang terpaku tidak menyangka. Gadis itu senang sekali dikejar-kejar seperti sekarang, mentang-mentang biasanya dia yang mengejar.

"Lea!"

Rendra mengejarnya. Dia sebenarnya mengerti apa yang Lea harapkan. Lea hanya ingin mendapatkan sebuah pengakuan. Ungkapan cinta dari Rendra seperti yang selama ini gadis itu harapkan.

Keduanya tidak peduli pada hujan yang mengguyur deras. Berlari mengelilingi komplek membuat satpam yang bertugas keheranan.

"Lea!"

Lea tertawa dalam hatinya. Kapan lagi dia bisa membuat gunung e situ bersikap kekanakan layaknya sekarang?

"Lea!"

Gadis itu tidak menyerah. Pada akhirnya, Rendra yang lebih dulu kelelahan. Dia tidak tau Lea mendapatkan stamina sekuat itu darimana? Sepertinya, dia memang tidak punya pilihan selain mengatakannya.

"Lea! Mungkin aku juga cinta sama kamu."

Lea menghentikan acara kaburnya. Dia berbalik kemudian menatap Rendra yang memalingkan wajahnya. Si pemuda tidak terbiasa dengan hal yang mengungkapkan isi hatinya. Sekali pun diawali kata 'mungkin' bukan kah itu merupakan harapan untuknya?

Itu artinya~ Rendra sudah mulai menerimanya bukan?

Rendra terlihat malu-malu, dari kejauhan pun wajahnya yang hanya disinari cahaya lampu terlihat merah padam.

Lea tertawa ngakak lalu berkata, "Gak usah sok kegantengan begitu deh."

"OY!"

***

"Aldo!" selesai mendengar cerita romantis tentang orangtuanya, Key langsung menghampiri Aldo yang sedang membantu Bibi memasak di dapur. Aldo yang sedang mengiris kentang menoleh, menatap ceweknya yang cungar-cengir tidak jelas –aneh.

"Kamu ayan?"

"Hush!" Key sebal. Aldo hanya terkekeh dan melanjutkan pekerjaannya. Key memaksa agar Aldo meminum air putih yang disodorkannya.

"Dijampe-jampe gak?" sindirannya memang tajam. Tapi toh air itu diminumnya juga.

"Aku gak mau nikah sama kamu! HAHAHAHAHA!!!" Key berteriak kemudian berlari. Membuat Aldo tersedak saking terkejutnya. Menatap bingung ke pintu dapur tempat Key menghilang tadi.

Beberapa detik kemudian Key kembali, dia menatap Aldo dengan kening berkerut-kerut.

"Kok diem, sih? Kejar gue tolol! Hahahaha!" dan dia berlalu lagi.

Sesekali, Aldo bertanya pada hatinya, kenapa dia bisa-bisanya jatuh cinta pada cewek setidakwaras Key Diana?

Maksudnya apa coba?

Tamat


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top