KA - 9
Aru melambaikan tangannya pada Kevin, dengan cepat dia menyeberang jalan, Kevin tersenyum sembari menegakkan tubuhnya yang semula menyandar di dinding.
"Maaf, gue telat."
"Gak apa-apa, Aru. Ayo, kita masuk."
Mereka memasuki toko buku tersebut bersama. "Kamu mau cari buku apa?" tanya Kevin sembari membenarkan kacamatanya.
"Em.. novel, gue kehabisan stok novel." Kevin manggut-manggut. "Eh, gue ke sana ya."
"Oh iya, Aru."
Mereka berpisah. Aru sibuk mencari novel, sementara Kevin mencari buku pelajaran.
Menelusuri dari rak satu ke rak yang lain, Aru mencari novel yang sudah dia incar dari jauh-jauh hari.
Aru tersenyum senang saat melihat novel incarannya berada di rak terpisah, dia melangkah cepat agar bisa mendapatkan novel yang sialnya hanya tersisa satu.
Aru mengulurkan tangannya, menarik buku itu, bersamaan dengan itu seseorang juga menarik buku tersebut.
"Eh, ini punya gue," kata Aru menarik buku itu kasar, sehingga terlepas dari genggaman orang tersebut.
Aru tersenyum senang, matanya beralih pada seseorang yang menjadi saingannya. Seketika Aru mendelik kesal.
Daru, salah satu antek Andin berdiri di hadapannya dengan wajah senga. Kalau sudah begini, lebih baik Aru pergi saja.
Aru berbalik hendak pergi, namun belum sempat dia melangkah, tas gadis itu di tarik Daru.
"Balikin buku gue!"
Aru menarik diri dan berbalik menghadap Daru yang sedang mengelap tangannya dengan sarung tangan. Aru mendengkus kesal, seakan-akan dirinya adalah barang yang menjijikkan.
"Ini buku gue!" kata Aru tak mau mengalah.
"Buku itu mahal, lo gak akan mampu belinya."
"Terus!?"
"Iya, gak kayak harga diri lo yang murah."
Aru membulatkan matanya. Lama-lama kesal juga mengahadapi manusia non otak dan hati ini. Bicaranya tak pernah di saring.
"Terserah, yang jelas ini novel gue." Aru memilih pergi saja, dia tak ingin meladeni Daru, selain itu jika dia menanggapi cowok berhati batu itu, dia akan di permalukan, dan Aru tak ingin itu terjadi.
Daru memandang kepergian Aru yang sudah cepat-cepat berlari ke kasir, Daru menghela nafas gusar, kemudian mengikuti Arus yang kini sudah membayar novelnya.
"Ini novel gue!" Dengan seenaknya Daru merebut novel tersebut dari tangan Aru, kemudian dia melemparkan beberapa lembar uang ke wajah Aru. "Gue gantiin duitnya, sisanya lo ambil aja, cukuplah buat lo beli mie instan pake telur."
Aru terperangah, dia merasa terkejut dengan sikap Daru yang tiba-tiba, itu sebabnya Aru hanya diam membatu.
Dari kejauhan, Kevin melihat apa yang di lakukan Daru, merasa tak tega karena Aru di permalukan, Kevin menghampiri Aru, merangkul pundak gadis itu erat.
"Aru yang udah lebih dulu membeli buku itu, enggak seharusnya kamu mengambil milik orang lain," kata Kevin.
Daru tersenyum sinis, mengabaikan perkataan Kevin dan berbalik untuk pergi.
"Gak apa-apa, Kevin, anggap aja aku sedang beramal dengan orang susah," ujar Arunika setelah tersadar dari keterkejutannya, dan tentunya hal itu di dengar Daru.
Daru berhenti dan berbalik badan, dia melihat ke arah Aru yang memasang sikap waspada. Daru melangkah menghambat Aru dan Kevin. Mendekati wajahnya ke telinga Aru.
"Yang orang susah itu gue atau lo? Dari penampilannya aja jelas lo yang kelihatan orang kampung dan miskin," bisiknya yang masih dapat di dengar Kevin.
"Apa penampilan bisa menjelaskan orang itu miskin atau tidak?" tanya Kevin sembari membenarkan letak kacamatanya.
Lagi dan lagu Daru hanya tersenyum sinis. Memandang remeh kedua orang itu. "Lo tanya aja sama cewek lusuh ini." Setelahnya dia pergi dari sana.
Aru begitu gemas, ingin sekali rasanya ia mencakar wajah Daru yang sayangnya memang tampan. Tapi tetap saja, apa gunanya punya wajah tampan kalau sikap minus?
"Sabar ya." Kevin mencoba menenangkan Aru yang masih menatap Daru kesal, walaupun cowok songong itu sudah terlihat jauh.
"Menyebalkan banget itu orang, sok dirinya paling 'Wah' di antara yang lain," sungut Aru.
"Aru, ayo kita pergi dari sini saja." Kevin menarik tangan Aru yang masih terselimuti emosi.
***
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Aru dan Kevin memilih untuk makan di salah satu food court yang berada di dalam mall.
Di sana, Aru memesan banyak makanan, kebiasaannya di saat lagi kesal selalu saja lari pada makanan, tapi anehnya gadis itu tetap memiliki badan yang kecil.
"Uang yang tadi Daru lempar sudah kamu ambil?" tanya Kevin setelah menyesap jus sirsak kesukaannya.
Aru menggeleng dengan mulut penuh. Kemudian di menyesap jus melon. "Sedekah buat orang yang temui uang itu, lagi juga ogah banget gue ambil uang dari orang macam dia."
"Kenapa dia bersikap begitu sama kamu, Aru?"
Aru mengedikan bahunya. "Semenjak gue pacaran sama Candra, mereka menganggap gue seakan musuh. Gue juga gak tau alasannya apa."
"Kamu gak coba putus dari Candra? Aku lihat, kamu tertekan punya hubungan dengan Candra."
Aru terdiam sesaat, kemudian menggeleng. "Gue udah coba buat putusi dia, tapi Candra seakan gak anggap, bahkan seringkali gue minta penjelasan sama dia tentang hubungan kita. Tapi Candra diam aja."
"Tapi kamu tersiksa dengan hubungan ini?"
"Iya, jelas gue tersiksa, Vin. Gue pacarnya Candra, tapi Candra lebih care sama Andin, awalnya gue memaklumi karena mereka sahabatan dari kecil. Tapi lama-lama sikap Candra gak wajar, Vin. Bahkan suatu hari gue pernah dengar kalau Candra menyatakan perasaannya ke Andin."
"Lalu setelah kamu dengar itu, kamu bersikap bagaimana?"
"Tentunya gue putusi Candra, tapi lagi dan lagi, gue gak dapat jawaban apapun."
Kevin manggut-manggut. "Apa dia hanya manfaatkan kamu aja?"
Aru menatap Kevin lekat. Kemudian terkekeh. "Manfaatkan apa? Gue gak pinter-pinter amat, gue juga gak kaya-kaya amat. Terus apa untungnya manfaatkan gue?"
"Mungkin karena kamu satu-satunya orang yang mau temani Andin."
"Gak mungkin, Andin banyak, kok, yang temani. Bukan cuma gue."
"Kita gak pernah tau orang, Aru. Mungkin saja Andin sedang di manfaatkan dengan mereka, seperti kamu yang sedang di manfaatkan dengan Candra."
Aru hanya terdiam. Sebenarnya dia sudah tau akan hal itu, hanya saja Aru tak ingin banyak bicara. Biarkan semuanya dia pendam sendiri.
***
"Gue mau bawa Aru pindah ke sini." Arina bicara sembari mendaratkan bokongnya di kursi cafe.
Arya memandang adik perempuannya sembari menyesap kopi.
"Gue kasian sama dia, setiap hari sendiri di rumah, Diana benar-benar gak peduli dengan Arunika. Dia benar-benar gak menganggap Arunika ada."
Arya menghela nafas panjang. "Tapi lo sendiri yang bilang, kalau Aru harus mempertahankan rumah itu. Rumah itu memiliki kenangan kita dengan papah dan mamah."
"Awalnya gue berpikir seperti itu, tapi gue kasian sama dia, Bang."
"Gue terserah lo aja, lagi pula, kalau Arunika di sini justru bagus, setidaknya kita gak usah bolak balik ke Jakarta." Arina mengangguk membenarkan. "Kapan lo akan bawa dia pindah?"
Arina terdiam sejenak. "Yang jelas gak mungkin sekarang, sebentar lagi Aru akan ujian kenaikan kelas, biar dia selesaikan ujiannya di sana, setelah naik ke kelas 3, baru gue bakal pindahkan dia."
Arya manggut-manggut. "Urus sama lo deh, nanti biar barang-barang Aru gue yang urus."
Bersambung
Hola...
Aku balik lagi ke sini, ada yang kangen gak?? Pastinya harus kangen.🤣🤣
Bagaimana dengan kelanjutan cerita ini? Semoga kalian gak lupa sama jalan cerita ini, karena emang aku males up dated. Please jangan kutuk aku ya 😁
Oke, vote dan komen di persilahkan
Love you all ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top