KA - 38

Ketukan pintu terdengar dari luar kamar, Arunika sudah tau siapa dalangnya, sejak tadi Arina terus mencoba untuk bicara dengannya.

Sejak kedatangannya kemari, Arunika tidak mencoba untuk bicara lebih banyak, bahkan ketika dia menitipkan surat untuk Kevin pada Arina, hanya basa basi sebentar hingga akhirnya Arunika kembali ke kamarnya. Bahkan saat waktu makan tiba, Arunika hanya makan 3-4 sendok makan saja.

Arina kembali mengetuk pintu kamar Arunika, hingga akhirnya Arya datang untuk menghentikannya. "Udah, dia gak akan mau cerita kalau lo terus cecar dia kayak gini. Tunggu aja, dia butuh waktu yang tepat untuk menenangkan dirinya," ujar Arya sembari menarik tangan Arina untuk duduk.

"Gue gak bisa tenang aja, Bang. Lo tau kemarin di saat gue ke sekolahnya, ada cewek yang jelek-jelekin dia, gue yakin Aru jadi korban bully di sekolahannya, cuma selama ini dia gak cerita aja sama kita. Seharusnya dari dulu kita bawa dia pindah. Sekarang lihat, mental dia mulai terganggu."

Arya menghela napas panjang, Arina selalu bersemangat dalam mengatasi hal apapun, hingga terkadang dia merasa lelah menghadapi adik pertamanya ini. "Aru butuh waktu untuk terbuka sama kita, Rin, kalau dia udah siap untuk cerita, dia pasti cerita."

Arina menghembuskan napas kasar. "Rasanya kemarin gue pengen cakar muka tante-tante muda itu."

"Tante-tante? Kata lo teman sekolah Aru."

Memutar kedua bola matanya. "Iya, tapi kayak tante-tante, bahkan kalau dibandingkan sama gue, cantikan gue ke mana-mana, lah," ujarnya sembari mengibaskan rambutnya. "Tapi kemarin gue udah sampaikan surat buat teman Aru, sih."

"Beneran?" Arina mengangguk yakin. "Ciri-cirinya udah jelas, kan? Pake kacamata tebal, pakaian rapi, kulit putih, namanya Kevin?"

Seketika Arina terdiam. "Sumpah lo pake kacamata!" seru Arina heboh.

Arya mengangguk, sampai gue chattingin ke lo ciri-cirinya. Karena gue tau, lo rada ceroboh."

Arina mendekat pada Arya. "Sumpah, Bang, ciri-ciri yang lo sebutkan itu bertolak belakang sama orang yang terima suratnya," ujar Arina lalu mengacak rambutnya.

"Tapi lo tanyakan namanya siapa?" Arina menggeleng. "Terus kenapa lo kasih ke orang itu?"

"Dia tanyakan Arunika, Bang. Gue pikir itu Kevin, jadi gue kasih ke dia," jeda sesaat. " Emang sih, dia cakep-"

"Cakep juga percuma kalau bukan orang yang Arunika maksud, Rin."

"Iya, gue tau, jadi gimana ini, Bang? Gue gak tau isi suratnya, gimana kalau Aru ungkapin perasaannya sama Kevin melalui surat? Bisa-bisa jatuh harga diri Aru, Bang."

Arya menghela napas. "Ada-ada aja sih, Rin, sekarang gimana caranya biar itu surat balik lagi ke kita? Gak mungkin juga lo ke sana dan tanya orang satu-satu, kan? Kecuali lo masih ingat orangnya kayak gimana."

Arina berpikir sejenak. "Gue inget, Bang!" serunya, lalu berdiri. "Oke, demi adik gue, gue bakal balik lagi ke sana dan ambil surat itu."

"Caranya?"

"Gue rela tunggu dia di depan gerbang sampe siang."

"Oke, bawa mobil biar lo gak di kira mau culik anak orang," ujar Arya kemudian tergelak membayangkan Arina duduk di pinggiran trotoar sembari menunggu orang.

***

Candra meletakan gantungan kunci di atas meja. "Punya lo, kan?"

Daru melirik sekilas benda itu. "Iya," jawabnya seraya menyambar gantungan kunci ber-bandul huruf D. "Jatuh di rumah lo, ya?" tanya Daru masih mencoba untuk tenang.

"Di rumah Arunika." Daru terdiam. "Tepatnya di dalam ruangan rumah Arunika, kontrakan Omah Tuti." Ada nada penekanan di setiap ucapannya.

Daru manggut-manggut paham. "Iya, mungkin jatuh waktu gue tagih uang kontrakan."

Candra mengernyit penuh curiga. "Kapan emang lo ke sana?"

"Beberapa hari yang lalu. Sebelum gue kirim foto Aru dan Kevin. Kenapa emang?"

"Ngapain lo yang nagih? Biasanya juga Bi Nani, asisten rumah tangga lo, lo gak akan ikut campur sama masalah kontrakan Omah lo."

Daru menggenggam gantungan kunci di tangannya dengan erat. Dia yakin, jika Candra sudah mulai curiga padanya. Sayangnya Candra terlalu peka jika salah satu sahabatnya ada yang berbohong.

"Ada yang mau lo akui?" tanya Candra di sela-sela Daru sedang berpikir keras mencari alasan.

"Apa?" tanya Daru berusaha untuk tetap tenang.

"Gue tau, lo gak seberengsek Willy yang menguncikan Aru di gudang, atau sepicik Angle yang udah siram dan mengunci Aru di toilet sekolah."

"Lo tau dari mana kalau semua itu mereka yang lakukan? Lalu gimana sama Andin yang ikut serta di belakang ini?"

Daru bukan orang bodoh, dia sudah jauh lebih kenal Andin dibandingkan Candra, karen ibu Andin dan Ibu Daru adalah teman lama, sehingga saat mereka masih kecil, mereka sering menghadiri acara, hingga Daru tau betul se-licik apa Andin kecil, dan tambahnya usia tak mengubah itu, Andin masih sama, seperti yang Daru kenal dulu.

"Lo masih menutup mata kalau Andin lebih buruk dari yang lo kenal?"

"Jangan bawa Andin di masalah ini, Daru."

"Kenapa? Akui aja kalau emang lo sayang dan cinta sama Andin."

"Hubungan gue dan Andin gak semudah kayak yang lo pikir, Ru. Orang tuanya minta tolong sama gue untuk jaga Andin." 

"Sampai lo mengorbankan Aru di hubungan lo dan Andin? Apa adil buat Arunika?" sela Daru cepat.

"Apa urusan lo? Arunika cewek gue-"

"Tapi lo gak memperlakukan dia sebagai pacar, lo cuma manfaatkan dia doang, wajar kalau sekarang dia pergi-"

"Dan Aru pergi karena lo udah perkosa dia!" Seketika Daru terdiam. "Gue tau lo adalah orang yang menyebabkan Aru hampir meninggal karena dia nekat bunuh diri."

"Dari mana lo tau? Apa karena gantungan kunci ini?"

"Kevin, dia adalah saksi kunci dalam semua hal yang melibatkan traumanya Arunika."

Daru tersenyum sinis. "Lo percaya sama orang cupu itu? Bisa aja dia bohong, kan?"

Candra meletakkan ponselnya di atas meja, menyetel rekaman suara dirinya dan Kevin sebelum Candra pergi ke cafe.

"Setiap malem, Aru selalu mengigau, dia menangis dan menyebut nama Daru, gue yakin Daru adalah orang yang perkosa Aru, Dra. Selama pemulihan, Aru gak bisa tidur nyenyak, kejadian itu kayak kaset rusak yang terus terulang di mimpinya."

"Dan ini buktinya." Candra menyetel video di mana Aru menangis, berteriak sembari menyebut nama Daru.

"Kevin yang video ini sebelum dia membangunkan Aru. Lo kira ini masih rekayasa? Aru gak sekurang kerjaan itu untuk bikin drama di malam hari apa lagi di rumah sakit."

Daru terenyak di tempatnya. Apa perlakuannya kepada Arunika membuatnya jadi sekacau itu? Sungguh Daru tak menyangka,

"Lo pelakunya, kan?" tanya Candra menatap lekat Daru.

Daru menghela napas panjang, kembali menggerakkan tubuhnya untuk bersandar, setelah tadi sempat menegakkan tubuhnya ketika bersitegang dengan Candra.

"Kalau gue pelakunya, kenapa?"

"Anjink!!" Candra berdiri tanpa menunggu aba-aba dia menarik baju Daru hingg tubuh itu berdiri dan menghajarnya keras.

Bugh!

Bugh!

Dua orang pelayan pria datang mencoba memisahkan mereka, namun tenaga Candra saat emosi jauh lebih besar.

"Tolong jangan buat keributan di sini! Atau tidak saya akan laporkan kalian ke polisi." Suara ancaman itu menghentikan niat Candra untuk melayangkan pukulan lagi.

Candra bangkit dari tubuh Daru yang terbaring lemah. "Gue akan pungut Aru setelah lo buang dia. Lagi pula gue orang pertama buat dia," celetuk Daru dengan menyeringai sebelum Candra pergi.

"Mimpi lo, Anjink!"

****

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top