KA - 31

Sepi!

Satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan rumah Arunika saat ini. Candra memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu.

Satu ketukan, dua ketukan. Tak ada respon, hingga akhirnya yang ketiga, pintu terbuka, tampak Arunika dengan keadaan yang berantakan.  Rambutnya kusut seperti tak pernah di sisir, matanya sembab dan bengkak.

Jadi dia sakit? Batin Candra.

"Ada apa?" tanya Aru dengan suara serak.

"Gue ke sini, cuma mau memastikan lo baik-baik aja." Jeda beberapa saat. "Soalnya Andin cariin lo tadi, dan dia yang suruh gue periksa keadaan lo."

Meskipun sudah biasa diperlakukan tak acuh dengan Candra, bukan berarti Aru tak sakit hati, di tambah dengan kejadian yang baru saja menimpanya, membuatnya enggan untuk terus hidup.

"Gue baik-baik aja," ucap Aru kemudian menutup pintu rumahnya.

Candra mengabaikan itu, dia tak berniat mengetuk pintu rumah Aru lagi. Baginya melihat Aru masih hidup sudah cukup.

Kini dia melangkah kembali menuju motornya yang terparkir tepat di depan teras rumah Aru, membawanya menuju depan rumah Daru yang hanya beberapa meter dari rumah Aru.

Rumah itu tak kalah sepinya dari rumah Aru, biasanya kalau ada Omah rumah ini sedikit berisik, atau terlihat lebih ada tanda kehidupan karena Omah yang rajin merawat bunga, tidak seperti saat ini, baru di tinggal beberapa hari dengan Omah rumah ini seperti rumah hantu.

Candra melangkahkan kakinya ke dalam, tanpa mengetuk pintu apa lagi menekan bel, dia sudah yakin Daru ada di dalam melihat motor lelaki itu terparkir di halaman.

"Daru," panggil Candra, tak perlu repot-repot menyusuri satu-satu ruangan, toh, Candra sudah tau di mana lelaki irit bicara itu.

Candra mendorong kamar Daru yang terletak di lantai atas. Kosong, namun suara air di kamar mandi menjawab semua pertanyaan Candra.

Candra memilih duduk di ranjang, setelah membuka pintu balkon, asap rokok tercium menyengat di kamar itu dan di butuh udara segar agar bisa bertahan berdiam diri di kamar itu.

Setelah 10 menit menunggu, Daru keluar dari kamar mandi dengan celana pendek yang sudah di kenakan dan rambut yang sedang dia coba keringkan dengan handuk, lelaki itu terlihat terkejut, namun secepat mungkin dia mengubah ekspresinya.

"Gue kaget, Setan," ujarnya sembari melempar handuk asal.

"Lo kenapa gak sekolah?"

"Gue capek, abis jaga Omah semaleman." Daru memilih kaos hitam polos di lemari, memakainya dengan cepat dan duduk di sofa, tangannya lihai menghidupkan rokok dan menyesapnya.

"Tadi gue ke sana, gue kira lo masih di RS."

"Kagak." Daru menyesap rokoknya. "Lo balik, gih! Gue ngantuk."

"Anjrot! Lo ngusir gue?" Daru menatap Candra tak acuh lalu mengangkat kedua alisnya. "Bangke!" umpat Candra setelahnya.

Candra bangkit dari duduknya, mengambil tas di ranjang, dia hendak pergi, namun pandangannya menangkap benda yang tak asing baginya.

"Itu ikatan rambut...."

Daru menoleh. "Oh, punya sepupu gue, kemarin dia ke sini, ketinggalan."

"Oh. Gue kira yang lo, gue pikir lo jadi Dara kalau malam," goda Candra yang di respon senyum kecil Daru. "Garing lo, " sungutnya. "Udahlah gue balik dulu." Candra berlalu pergi, menyisakan Daru yang masih merokok di tempatnya.

Pandangannya jatuh pada ikat rambut berbandul bintang. Benda itu milik Arunika, gadis itu selalu menggunakannya, wajar saja jika Candra menanyakan hal itu.

Daru kembali mengingat kejadian yang tak pernah di harapkan. Ikat rambut itu tersangkut dengan kancing jaketnya. Itulah sebabnya benda itu ada di sini.

Daru beranjak, mengambil ikat rambut itu, memandangnya sesaat lalu membuangnya ke tempat sampah. Bukti harus dihapuskan.

***

Sementara itu, Candra yang sedang berada di perjalanan pulang, ingatannya berputar pada alasan yang Daru berikan padanya tadi.

"Gue capek, abis jaga Omah semaleman."

Perkataan itu masih terngiang di kepalanya. "Bukannya kata perawat bilang kalau kemarin Omah sendiri? Terus di mana Daru kemarin? Apa perawatannya gak tau kalau Daru ke rumah sakit? Perawatnya gak mungkin kerja 24 jam non-stop, kan?" Kali ini Candra meyakinkan dirinya, jika alasan yang Daru berikan masuk akal.

Lagi pula tak mungkin juga Daru ingin dengan Arunika, Candra tau bagaimana kedua temannya sangat jijik dengan gadis lusuh itu, yang sayangnya adalah kekasihnya sendiri.

***

Entah sudah berapa lama Aru menyiram tubuhnya yang masih terbalut pakaian, berharap air itu bisa menghapus jejak Daru dan mengembalikan situasinya. Sayangnya, semua hanya angan-angan saja. Arunika telah ternodai, dia telah menjadi gadis kotor, hidupnya semakin berantakan, gosip di sekolah, masalah keluarga, tentang Candra, patutkah dia berharap untuk hidup lebih lama?

Pandangannya beralih pada cermin yang terpajang di sana, dia berdiri, melangkah lunglai, memandang pantulan dirinya di cermin.

Apa? Apa yang dia harapkan pada dirinya sendiri? Semuanya sudah hancur, mimpinya, harapannya, kebahagiaan yang tersisa pun di renggut paksa oleh keadaan.

Seketika bisikan halus terdengar lirih, menitahnya untuk mengakhiri hidup yang tak berarti. Entah hasutan setan atau kata hati, yang jelas Aru ingin segera mengakhiri kehidupannya yang tak bermakna.

Menyerah, kata itu terdengar tak buruk di telinga Aru saat ini, meskipun sebagian orang berpikir itu adalah pengecut.

Pengecut? Terserah getir. Sejak dulu dirinya adalah seorang gadis pengecut, bahkan dia tak bisa melakukan apapun ketika lelaki yang dia cintai lebih memilih sahabatnya, bahkan dia pergi begitu saja dari rumah yang sejak kecil dia tempati bersama ayah dan ibunya, ketika Diana mengusirnya, dan bahkan dia hanya diam saja ketika Daru melecehkannya bahkan merenggut paksa kehormatannya. Dia penakut, dia seorang pengecut.

Aru meninju cermin keras, seketika cermin hancur berkeping-keping, mengabaikan luka di tangannya, Aru berjongkok mengambil serpihan cermin berujung runcing. Sudah saatnya dia berani mengambil keputusan dalam hidupnya, jika selama ini dia tak bisa menjaga miliknya, maka biarkan kali ini dia mengambil keputusan yang berat ini.

Dengan tangan bergetar, Aru mendekatkan serpihan cermin pada lengannya, tak ada rasa takut yang terlihat dari wajahnya, rasa itu seakan menghilang di telan dengan rasa lelah dan menyerah, hanya kematian yang dia inginkan saat ini.

Dengan perlahan, dia menggoreskan serpihan cermin pada lengannya, satu goresan luka bergaris lurus di lengannya, mengakibatkan darah keluar dan mengalir banyak menetes ke lantai.

Aru mengabaikan rasa perih di lengannya, bahkan rasa itu tak seberapa dibandingin rasa sakit dihatinya. Baginya, sakit akibat goresan cermin itu jauh lebih baik dibandingkan perjalanan kehidupannya.

"Ini jauh lebih baik," lirihnya, tubuhnya lemas, matanya berkunang-kunang, mengakibatkan tubuhnya lunglai dan luruh ke lantai, saatnya dia menunggu detik-detik kematiannya. Kematian yang jauh lebih baik dari kehidupan.

***

Sementara itu, Kevin terus menerus menghubungi ponsel Aru, namun tak kunjung di jawab, itulah sebabnya saat ini Kevin sudah berada di atas Vespanya, dengan mengebut dia mengendarai motornya ke rumah Aru.

"Apa Aru sakit ya?" Pertanyaan itu semakin membuatnya tak enak hati, hingga dia kembali menaikkan kecepatan motor Vespanya. "Semoga Aru baik-baik saja."

****

Bersambung.

Peran Aru kayaknya harus di ganti nih sama Andin, ada yang setuju?

Ayo, komen dan vote ya 😊😊🤗🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top