KA - 29

Setelah sekian lama berteduh karena terjebak hujan deras, akhirnya Daru tiba di rumah sakit. Senyumnya seketika berganti dengan kerutan kecil di dahi saat mendapatkan Omah Tuti terisak di ranjangnya. Tak jauh dari sana, Tera - ibunda Daru duduk dengan keadaan tak jauh berbeda dengan Omah Tuti.

"Saya gak menyangka, Bu, Andre bisa selingkuh, selama ini dia terlihat baik-baik saja depan saya, bahkan sikapnya begitu romantis. Pokoknya Tera mau cerai saja, Bu, dengan Andre. Tera gak mau hidup dengan orang yang gak setia."

"Mah!" Daru masuk dengan menggebu.

Tera berdiri dengan raut wajah terkejut. "Papahmu selingkuh, Ru. Mamah mau cerai aja."

"Mamah gila, ya? Mamah tau Omah lagi sakit? Kenapa harus bahas ini sekarang?"

Tera terhenyak. "Tapi Omah harus tau apa yang terjadi sama anaknya."

"Tapi gak harus sekarang juga."

"Mamah gak peduli, Mamah udah terlanjut sakit hati sama papahmu. Pokoknya sekarang kamu tinggal pilih mau ikut Mamah atau papah."

Daru terdiam, amarahnya sudah memuncak, mungkin jika Tera adalah temannya, Daru sudah sedari tadi memberi pukulan keras untuknya. Namun bagaimana pun juga Tera adalah ibunya, dialah yang melahirkannya.

Daru mengalihkan pandangan pada Omah Tuti, di sana wanita tua itu sedang menangis terisak, pandangannya terlihat tak berdaya. Lantas apakah Daru tega meninggalkan wanita yang paling dia sayangi itu?

"Maaf, Mah, kalaupun kalian harus bercerai, Daru gak akan ikut siapapun, karena sejak awal pun Daru merasa gak punya orang tua, Daru akan memilih untuk hidup dengan Omah."

"Daru! Kamu gila!?"

"Aku gak gila, justru kalian yang gila. Ke mana aja Mamah sama papah selama ini? Siapa yang ada untuk Daru selama ini kalau bukan Omah?"

"Oke, kalau begitu Mamah akan mencabut fasilitasmu."

Daru tersenyum sinis. "Silakan, Daru gak takut."

Tera terlihat kesal, tanpa berpamitan, dia berlalu pergi. Daru menatap punggung wanita yang berstatus ibunya yang menghilang di balik pintu, tatapannya kembali beralih pada Omah Tuti, dengan langkah pelan, di menghampiri Omah.

"Maafkan, papahmu, Nak." Lirih Omah Tuti dengan terisak.

"Omah istirahat, ya, gak usah pikirkan anak-anak Omah yang sialan itu. Omah harus sehat, biar Daru semakin kuat." Omah Tuti menatap Daru dengan penuh kasih sayang, tangannya terulur mengusap puncak kepalanya. Daru mengambil tangan keriput Omah, lalu mengecupnya lembut.

Setelah memastikan Oma tertidur, Daru keluar ruangan, dia butuh sesuatu untuk menenangkan otaknya.

****

Setelah menjemur semua pakaian yang sudah selesai di cucinya di teras rumah, Aru duduk di kursi bambu yang terdapat di sana, hujan cukup deras malam ini. Bersyukurlah Aru karena dia sudah kembali dari bekerja, jika telat sedikit saja mungkin akan kehujanan.

Memandang hujan yang deras, mengingatkan Aru pada kutipan yang pernah ia baca. 'Orang yang menyukai hujan pun, akan berteduh juga ketika tau jika hujan-hujanan bisa menyebabkan sakit.'

Ya, seharusnya Aru bisa mengambil keputusan untuk melepas Candra, membuat dirinya bahagia, bukan justru membiarkan dirinya sakit dengan luka yang selalu saja Candra berikan.

Setelah beberapa saat memandang hujan yang justru mengingatkannya pada luka hatinya, Aru beranjak dari duduknya, bukan saatnya bagi dia untuk bergalau ria, dia akan tidur lebih awal malam ini, mengingat besok dia harus ke sekolah.

Namun baru saja kakinya melangkah, suara panggilan yang keras menghentikan langkahnya.

"ARUNIKA!"

Aru menoleh, tampak Daru dengan pakaian yang basah akibat kehujanan, wajah lelaki itu terlihat merah dengan rambut yang acak-acakan, tatapannya terlihat sayu, seperti orang mengantuk.

"Ngapain lo?" tanya Aru ketus, meskipun sebenarnya dia penasaran dengan apa yang terjadi dengan Daru.

Alih-alih menjawab, Daru justru mendorong Aru hingga membentur tembok, tubuhnya mengapit tubuh Aru yang mungil.
"Lo selingkuh sama Kevin, kan? Lo tau Candra itu pacar lo!"

Alkohol, Aru bisa mencium aroma alkohol dari mulut Daru, meskipun tak pernah meminumnya, namun Aru sangat hafal aroma ini, dulu Diana sangat sering mabuk di rumah, jadi aromanya begitu familiar.

"Daru lo mabuk?! Lo apa-apaan sih? Sakit," rintih Aru menahan punggungnya yang terasa nyeri akibat benturan ke dinding.

"Dasar pel*cur!"

Mendengar itu, Aru spontan menampar Daru keras. "Jaga ya mulut lo, teman lo tuh yang selingkuhi gue sama Andin, jadi siapa yang pel*cur di sini? Gue atau Andin?!" Nada bicara Aru tinggi, masa bodo jika ada tetangga yang mendengar, lagi pula hujan begitu deras, mustahil sepertinya jika ada yang mendengarnya.

Daru tersenyum sinis, menatap Aru dengan tatapan tak terbaca, hal itu tentu membuat nyali Aru menciut.

Daru gak lagi kesurupan, kan? Batinnya.

Bulu kuduknya sudah berdiri. Dengan terburu-buru, Aru segera masuk ke dalam rumah, baru saja dia hendak menutup pintu, namun Daru sudah mencegahnya, kekutan Aru yang tak seberapa tentu saja kalah dengan Daru.

Daru masuk ke dalam, lalu menutup pintu kencang, Aru yang sedari tadi ketakutan mundur perlahan.

"Daru lo mau apa?" tanya Aru was-was. "Daru lo ingat, ya, gue cewek lusuh yang paling lo benci."

Daru seakan tuli, dia terus maju sementara Aru terus mundur hingga tubuhnya jatuh ke sofa. Daru menyeringai, dia menindih Aru, Aru menolak, di terus mendorong Daru, namun kedu tangannya di cekal Daru kuat, sebuah ciuman mendarat di bibirnya dengan paksa. Aru meronta terus menerus, namun kekutan Daru begitu besar.

"Daru, lepas!" pekik Aru, kala Daru melepas ciumannya dan berpindah menciumi lehernya. Air mata Aru sudah berlinang, dia takut, sangat takut. "Tolong!! Daru, lepas!" Aru berharap ada seseorang yang membuka pintu itu.

"Daru!!" Aru berontak, kakinya menendang-nendang angin, berharap gerakannya bisa menghentikan kegiatan Daru yang sedang menyesap lehernya, namun setan telah membutakan mata Daru, sehingga gerakan itu tak berpengaruh bagi Daru.

"Malam ini, lo harus puasin gue," bisik Daru di telinga Aru.

****

Cahaya matahari pagi masuk ke celah jendela kamar. Daru yang tersorot merasa terusik dengan sinar itu.

Matanya terbuka perlahan, udara terasa pengap dan panas, hingga Daru berniat untuk menyalakan AC, namun kerutan terlihat di dahinya ketika dia sudah membuka mata lebar-lebar.

Ini bukan kamarnya, lalu di mana dia? Sontak Daru terduduk, memerhatikan sekitarnya. Kamar yang kecil dan sederhana dengan cat tembok berwarna putih bersih, ruangan itu terlihat rapi dengan barang-barang sederhana yang tertata sesuai dengan tempatnya.

Mata Daru menangkap seragam sekolah yang tergantung di tak jauh dari sana, matanya membola ketika di melihat name tag-nya. Arunika???

Daru melihat dirinya dari pantulan cermin, polos, tak ada sehelai benang pun yang dia pakai. Jadi semalam?

Daru bergegas berdiri, mengambil pakaiannya yang tergeletak di lantai. Mencari keberadaan dan menanyakan apa yang terjadi adalah hal yang harus dia lakukan saat ini, namun saat di keluar dari kamar, tampak Aru terduduk di sofa dengan rambut yang berantakan, wajahnya dia tenggelamkan di antara dua tangan yang di topang oleh kedua kaki yang dia naikkan ke sofa.

Daru mendekat. "Aru," panggilnya pelan. Namun tak ada pergerakan dari Aru.

"Arunika." Sekali lagi, kali ini Aru menggoyang pundak Aru, gadis itu berjingkat kaget, menatap Daru dengan ketakutan.

"Jangan, Ru, jangan perk*sa aku lagi." Aru kembali menangis? Ya, Daru melihat mata sembab Aru, sepertinya gadis itu menangis semalaman. Dan apa yang dia katakan tadi? Daru tak salah dengar bukan?

"Arunika." Daru duduk di samping Aru, membuat gadis itu sontak bergeser ketakutan dengan wajah yang di tutupi.
"Sebenarnya ada apa?" Aru tak menjawab, dia terus menangis. Merasa kesal Daru akhirnya menahan kedua tangan Aru, Aru meronta, dia takut, sangat takut. Namun sekali lagi, dia terlalu lelah untuk melawan, rasanya percuma karena pada akhirnya dia selalu kalah.

"Arunika!" bentak Daru kesal. Aru terdiam, meskipun air mata masih terus menetes. "Sebenarnya ada apa? Lo kenapa? Gue kenapa? Apa yang terjadi sama kita semalam?"

Aru terdiam, apa Daru akan percaya jika dia bicara?

"Lo... Lo udah renggut semuanya dari gue,  Ru. Lo cowok brengsek! Mimpi gue hancur karena lo!"

Daru menatap Aru yang sedang menangis lekat. Detik berikutnya dia tersenyum sinis. "Jangan sembarang, Ru. Jangan tipu gue, ya. Lo sengaja jebak gue, kan?"

"Daru lo gila, ya? Buat apa gue jebak lo?"

"Mungkin aja karena lo butuh uang, dan gue orang kaya, jadi lo jebak gue, biar gue bisa biayain kehidupan lo."

"Gue gak gila ya!"

"Cih, kenapa? Lo gak bisa tarik perhatian Candra ya, karen Candra lebih memilih Andin, makanya lo jebak gue, iya kan?"

"Terserah lo, Daru, terserah lo!"

"Gue sarankan, sebaiknya lo cari sugar daddy dari pada lo jebak gue. Duit mereka lebih banyak di bandingkan gue."

"Daru sumpah, apa yang lo lakuin kali ini keterlaluan." Aru masih terisak. "Pergi dari sini, gue bilang pergi!" Aru menunjuk arah pintu, sedangkan Daru mengedikan bahunya tak peduli.

"Tanpa di minta." Daru beranjak dari sofa, sebelum dia benar-benar pergi, Daru menyempatkan mengambil jaketnya dan ponsel di kamar Aru, matanya menangkap sesuatu yang ganjil dan tentunya membuatnya sangat kaget, yang jelas apa yang Aru katakan adalah kebenaran, hanya saja dia belum berani menerima kenyataan, dan dia mengelak kenyataan itu.

"Gue akan bantu lo cari sugar daddy
kalau lo mau," ujarnya ketika melewati Aru.

Aru tak merespon, hatinya sudah hancur, hidupnya, dirinya sangat hancur. Lalu apa yang terjadi setelah ini? Apakah dia masih pantas untuk hidup?

*Bersambung*

Hallo...
Siapa yang belum tidur? Adakah yang masih melek?

Ada yang kaget dengan cerita di part ini gak? 
Jangan kaget ya 🤭🤭
Sebenernya dari awal aku tulis cerita ini, alurnya memang akan seperti ini.

Untuk endingnya Aru akan dengan siapa, tentunya penasaran dong. Makanya terus tunggu kelanjutannya yaaa 🤗🤗🤗

Ohya, makasih ya yang udah selalu tunggu cerita ini, yang selalu dukung aku, pokoknya jangan bosen ya, maafkan aku yang moodnya naik turun ini. Yang jelas aku bersyukur punya readers kayak kalian semua.

Peluk sayang dari aku 🤗🤗🤗🥰🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top