KA-27

Daru memperhatikan Oma Tuti yang sedang tertidur, semalam Oma Tuti sudah sadarkan diri, dan Daru bersyukur akan hal itu. Wajah pucatnya begitu kontras dengan kulit keriputnya yang putih.

Pintu ruangan terbuka, membuat Daru sontak berdiri ketika seorang dokter dan perawat masuk guna memeriksa.

"Kita periksa dulu ya, Dek," ujar sang dokter sembari membenarkan kacamatanya. Daru hanya tersenyum simpul, memberi ruang agar dokter bisa leluasa memeriksa Oma Tuti.

Daru dapat melihat bagaimana dokter memeriksa neneknya dengan sangat telaten. "Kondisinya semakin membaik. Tapi harus tetap di perhatikan lagi, kalau bisa Oma harus banyak-banyak istirahat, jangan terlalu kecapekan atau melakukan pekerjaan yang berat-berat."

"Baik, Dok."

"Baik, kalau begitu saya permisi dulu."

Daru mengangguk. Tapi sebelum itu. "Dok...." Sang dokter menoleh. "Kalau boleh saya tau, siapa yang sudah donorkan darah untuk Oma saya, ya?"

"Oh, kamu belum tau, ya? Dia seorang gadis SMA namanya Arunika." Daru terenyak. "Dia dan temannya sangat cepat bertindak, mungkin jika mereka telat sedikit saja, Oma-mu tidak mungkin tertolong, kamu harus banyak berterima kasih dengan teman-temanmu itu." Daru mengangguk kecil. "Kalau begitu saya lanjut periksa pasien yang lain dulu. Permisi."

Daru terduduk lemah di sofa. Bagaimana bisa dia memiliki hutang budi pada gadis yang amat sangat dia benci itu? Lalu bagaimana Daru menebusnya?

"Daru." Panggilan itu mengalihkan pandangan Daru, Oma Tuti terlihat memandangnya.

"Oma, kok, udah bangun?"

"Oma cuma mau ketemu Arunika, Arunika itu baik sekali sama Oma, dia mau tolong Oma. Kamu bisa panggilkan Aru untuk Oma?"

Daru terdiam tampak berpikir. "Oma tau, kamu tidak suka dengan Aru, tapi dia sangat baik dengan Oma."

Daru menghela napas pelan sembari tersenyum dia mengangguk. "Iya, Oma. Nanti Daru bawa Aru ke sini."

"Kenapa enggak sekarang saja? Oma sudah baik-baik saja."

"Tapi Oma sendiri."

"Gak masalah, masih banyak suster yang akan jagai Oma. Cepat bawa Aru kemari, Oma rindu sekali dengan Aru."

Lagi-lagi Daru menghela napas. "Iya, Oma," jawabannya, lalu mengambil jaket dan kunci motornya. "Kalau begitu Daru pergi dulu." Setelah mengecup tangan Oma, Daru meninggalkan ruangan itu.

Sekarang apa yang harus dia ucapkan nanti dengan Aru?

****

Aru baru saja menutup pintu rumah kontrakannya, dia akan bekerja, melupakan kejadian hari ini di sekolah, memang harus begitu, kan? Tak ada waktu baginya untuk berlarut-larut dalam kesedihan.

Aru melirik jam tangannya, hari ini Kevin tidak bisa menjemputnya, itu akibat motor Vespa miliknya mogok saat mengantar Aru pulang sekolah tadi, alhasil dia akan menggunakan angkutan umum saja.

Baru saja hendak melangkahkan kaki, Aru di kejutkan dengan suara deruan motor milik Daru, cowok itu berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Aru mencoba mengabaikannya, dia memilih untuk melangkah pergi dari sana, namun langkahnya seketika berhenti saat Daru mengatakan, "Oma udah sadar, dan dia mau ketemu sama lo."

Sontak Aru berbalik dan menatap Daru dengan binar bahagia. "Oma udah sadar?!" serunya. Daru bisa menangkap kelegaan yang Aru rasakan. Apa sebahagia itu mendengar Omanya sudah sadar?

"Kalau gitu nanti gue ke sana jenguk Oma," sambung Aru ketika dia sadar memasang ekspresi berlebihan pada Daru. Setidaknya kabar yang cowok itu sampaikan cukup membuatnya lega.

Aru baru saja mau pergi, tapi Daru sudah lebih menyekal tangannya. Terkejut? Tentu saja. Biasanya mana mau cowok itu menyentuhnya, jangankan untuk menyentuh melirik saja sepertinya sudah malas.

"Lo ikut gue, Oma mau ketemu lo sekarang." Daru sesegera melepaskan cekalan tangannya.

"Tapi gue harus kerja."

"Lo bisa izin dulu sama atasan lo."

"Tapi...."

"Siapa tau ini permintaan terakhir Oma." Aru menatap Daru lekat, terlihat kesal karena bisa-bisanya cucu Oma mengatakan begitu.

"Gue izin dulu." Aru segera menghubungi Ridho. Dia bersyukur karena Ridho mengerti situasinya.

Setelah itu dia kembali menghampiri Daru. "Gue udah dapet izin, kalau gitu lo pergi duluan aja, nanti gue nyusul."

"Gak perlu, lo pergi sama gue aja." Aru tampak ragu. "Biar cepat, gue gak mau buat Oma nunggu lo terlalu lama." Aru menghela napas panjang, lalu mengangguk.

Aru naik ke motor Daru, tentunya ada jarak antara keduanya. Bagaimana pun juga Daru adalah orang asing.

Beberapa saat kemudian, mereka telah meninggalkan tempat itu, sementara itu tanpa mereka ketahui ada seorang gadis yang sedang memotret interaksi mereka.

"Din, ayok!" Candra datang setelah memarkirkan motornya.

"Kayaknya kita gak usah ke rumah Daru deh, Ndra."

"Emang kenapa?" Kerutan di dahinya terlihat nyata.

"Ini." Andin memberikan ponselnya pada Candra, di lihatnya oleh Candra potret Daru dan Aru yang sedang berboncengan.

"Mereka baru aja pergi, buru-buru banget keliatannya." Candra terdiam.

"Kalau gitu, kita langsung ke rumah sakit aja," usul Candra yang langsung di iyakan dengan Andin.

***

Daru memarkirkan motornya di salah satu ATM. Aru mengernyit namun enggan bertanya. Dia memilih turun dari motor Daru menunggunya di sini tanpa banyak bicara. Andai kata jika Daru ingin meninggalkannya Aru masih bisa naik angkutan umum untuk ke rumah sakit, walaupun kemungkinannya amat sangat kecil, mengingat dia berada di dekat motor cowok itu.

Tak lama Daru kembali, dia menyodorkan uang lima lembar seratus ribuan pada Arunika. Arunika menatap uang itu lalu beralih pada Daru. Terlihat bingung.

"Ini uang buat lo karena udah donorin darah buat Oma. Gue gak mau punya hutang budi sama lo."

Aru menggeleng. "Gue ikhlas, kok, Daru. Lo gak usah kayak gini. Sumpah gue ikhlas."

"Tapi gue gak sudi kalau harus berhutang budi sama lo. Pokoknya lo terima aja. Gue gak ada waktu buat urusin hal gak penting kayak gini."

Akhirnya Aru menerima dengan ragu. "Em... Tapi anterin gue beli makanan buat Oma dulu ya?"

"Mau ngapain? Di sana udah banyak makanan."

"Setidaknya gue harus bawa."

"Bangsat! Buruan lo mau beli apa?"

Aru tersenyum lebar. Di sana ada toko buah sama toko bunga. Gue mau beli itu."

Daru berdecak, lalu naik ke motornya. "Pakai motor aja, biar cepet. Lo lelet." Aru bergegas naik ke atas motor.

Tak lama dari itu mereka pergi dari sana, kali ini Dari mengikuti kemauan Aru, semuanya demi Omanya, jadi akan Daru lakukan jika itu untuk Omanya.

Daru melihat bagaimana Aru begitu antusias memesan banyak buah untuk Oma Tuti, Aru pun memesan bouqet bunga yang sangat Oma sukai.

"Oma paling suka bunga matahari dan mawar putih." Daru tertegun saat Aru lebih tau bunga kesukaan Oma di bandingkan dia cucunya sendiri.

Aru mengeluarkan beberapa lembar uang yang Daru berikan padanya tadi. Lalu kembali mengeluarkan lembar untuk membayar parsel buat yang dia pesan sebelumnya. Daru berdecak, gadis itu sangat boros.

Di tangan Aru tersisa satu lembar uang, Aru segera menghampiri seorang pengemis dan memberikannya uang tersebut. Daru terhenyak, kali ini dia sadar, bukan Aru yang boros, tapi gadis itu benar-benar tak ingin memakai uang pemberiannya untuk dirinya sendiri.

"Ayo, Daru, kita pergi sekarang." Aru membawa parsel buah dan bouqet bunga di tangannya, namun dia tampak bahagia.

"Hm."

Aru nampak kesulitan saat ingin naik ke motor, Daru segera mengambil alih parsel di tangan Aru. "Cepat naik." Aru tersenyum kecil. Setelah memastikan dia sudah duduk nyaman, Aru segera meminta kembali parsel yang dia titipkan pada Daru. Detik berikutnya mereka pergi dari sana. 

***

Selamat pagi, aku datang kembali.

Entah kalian masih ingat atau enggak sama cerita ini, tapi aku berharap kalian masih menunggu cerita ini. 

Kasih vote dan komen biar aku tau kalian masih dukung aku ya. Makasih banyak 🥰🥰🥰🥰🥰



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top