KA - 23

Candra menggeser tirai pemisah ruang UKS dengan kasar. Aru yang baru tersadar 10 menit yang lalu terhentak kaget. Dilihatnya Candra yang sedang menatapnya tajam, lelaki itu tampak marah, membuat Arunika bertanya-tanya.

"Ada apa?" Aru bertanya dengan nada suara tak acuh, namun percayalah, sebenarnya dia merasa tidak tenang saat ini.

"Lo murahan!"

Dua kata itu sontak membuat mata Aru membola sempurna. Dia mengubah posisi rebahannya menjadi duduk, mengabaikan rasa pusing yang masih terasa.

"Maksud lo apa?!"

Candra melempar ponsel Daru keranjang, memperlihatkan foto Aru dan Arya di sana
Aru berdecih saat mengetahui penyebab kemarahan Candra, di lain sisi dia merasa senang itu artinya Candra cemburu.

"Dia abang gue, Bang Arya."

Candra tersenyum sinis, membuat Aru merasa seperti tersangka. "Gak usah bohong."

"Gue bohong apa? Gue ngomong fakta, itu Bang Arya."

Candra berdecih, rasanya ucapan Aru tidak pernah benar, semuanya hanya kebohongan saja. "Gue gak percaya."

Aru memutar kedua bola matanya. "Terus gue harus apa kalau lo gak percaya?"

Sungguh Aru merasa sedih saat ini, lelaki itu adalah orang yang paling Aru cintai sekaligus Aru benci. "Gue harus bayar berapa untuk bisa mencicipi tubuh lo?"

Raut wajah datar Aru berubah merah saat mendengar ucapan Candra. "Maksud lo apa?!" tanyanya setengah berteriak, syukurlah ruangan UKS hanya ada mereka saja, hingga Aru bisa berteriak menumpahkan kekesalannya pada Candra.

"Oh. gue, kan, cowok lo, seharusnya gue gratis dong, gak minta bayaran, kan, kalau sama gue?" Candra melangkah mendekati Aru, Aru waswas, di mulai memundurkan tubuhnya, walaupun itu sia-sia karena saat ini dia sedang berada di atas ranjang UKS.

"Kita lakukan di sini aja, gimana? Di sini sepi, gak ada siapa pun." Candra mulai duduk di sisi ranjang, mendekati tubuhnya pada Aru.

"Candra lo mau apa?" Candra mulai mencekal kedua tangan Aru, mendekati wajahnya ke ceruk leher Aru, Aru memberontak ketakutan, namun sangat sulit untuk melepaskan diri dari Candra, di tambah tangannya yang di cekal kuat.

Aru merasakan Candra mengecup lehernya, hal itu membuat dirinya meremang ketakutan, ketakutan itu seakan membuat tenaganya bertambah berkali-kali lipat, hingga Aru berhasil melepaskan cekalan tangan Candra, dengan cepat dia menampar lelaki itu, guna menyadarkan Candra.

"Lo bajingan Candra!"

Candra mengusap pipinya yang terasa perih, senyum sinis tercetak di wajahnya yang tampan. "Kenapa marah? Lo gak ikhlas kasih gratis ke gue? Oke, gue bakal bayar, lo mau berapa? 1 juta? 2 juta atau 10 juga?Em... Tapi kayaknya cewek rendahan kayak lo gak pantas dibayar mahal, apa lagi tubuh lo sudah banyak di jamah orang lain."

Air mata yang sejak tadi Aru tahan akhirnya jatuh juga. "Lo ngomong apa sih, Candra? Lo sadar gak sih? Ucapan lo nyakitin hati gue."

"Dan kelakuan lo bikin gue malu, Sialan!" pekik Candra. "Gue gak nyangka selama ini gue pacaran sama cewek murahan kayak lo!"

"Dia abang gue, Candra, demi Tuhan, dia abang gue." Aru menangis terisak.

"Dan gue gak pernah percaya sama ucapan cewek rendahan kayak lo." Usai mengatakan itu, Candra berlalu pergi.

Sakit, satu kata yang kini mewakilkan perasaan Aru. Aru sangat mencintai Candra, namun jika hanya memberi luka, patutkah dia pertahankan?
Nyatanya Candra hanya dapat menorehkan luka, tanpa berniat menyembuhkannya.

Tangisannya terdengar memilukan, seakan dia telah menumpahkan segala rasa sakitnya yang selama ini dia tahan.
Sungguh, Aru tak meminta banyak hal dari Candra, dia hanya ingin di dengarkan dan perhatikan. Tapi apa sesulit itu bagi Candra memahami maunya?

Di tatapnya ponsel Daru yang tertinggal, ingin rasanya Aru membanting ponsel itu hingga berkeping-keping, namun sayangnya dia tak memiliki keberanian, bersyukurlah meski sedang galau, tapi akal sehatnya masih berfungsi, hingga dia mengurungkan niatnya, kalau tidak, mungkin gajinya selama 5 bulan tidak akan dia terima.
Pada akhirnya Aru hanya memindahkan ponselnya Daru ke nakas.

***

Willy dan Daru menyusul Candra yang berada di rooftop. Mereka menghampiri lelaki itu yang sedang duduk di bangku lusuh, wajahnya terlihat frustasi. Entah apa yang telah dia lalui tadi.

"Gimana? Udah putus dari Aru?" Pertanyaan itu Willy ajukan pada Candra setelah mendaratkan bokongnya di kursi kayu.

Mendengar itu Daru justru memberi Willy kode agar tidak banyak bertanya dulu pada Candra, setidaknya pertengkaran kecil antara Candra dan Willy tadi masih membekas di ingatannya, dan itu cukup mengganggu.

"Jangan sebut namanya, gue jijik dengar nama dia." Kini Willy tersenyum lebar.

"Bagus. Akhirnya lo sadar."

Candra menoleh pada Willy, "Dari dulu gue gak pernah punya rasa sama dia, gue hanya memanfaatkan dia doang. Lo tau itu kan?"

Willy mengangguk seraya tersenyum. "Iya, gue percaya, tapi anehnya lo masih betah aja terikat sama cewek itu."

"Dan gue gak akan putusi Aru, sebelum mendapatkan apa yang gue mau."

Daru menegakkan tubuhnya. "Lo mau apa?"

"Kalau cowok lain bisa cicipi tubuhnya, kenapa gue gak bisa?"

Daru menatap Candra tak percaya, sementara Willy tertawa terbahak-bahak. "Anjir, brengsek juga lo."

"Lo yakin? Bukannya lo pacarin Aru cuma karena Andin?"

Candra menatap Daru. "Itu dulu, tapi sekarang dia harus bayar sakit hati gue atas pengkhianatannya."

Daru terdiam, sepertinya dia melupakan sifat asli Candra. Dibalik wajahnya yang tampan dan sikapnya yang tenang, terselip sikap iblis yang selama ini Candra sembunyikan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top