KA-21
Dengan langkah gontai, Aru menyusuri jalanan malam itu. Sebenarnya dia pulang bersama Kevin, namun ban motor Kevin pecah menyebabkan lelaki berkacamata tebal itu tak bisa mengantarnya sampai rumah, sulitnya angkutan umum pun terpaksa membuat Aru berjalan kaki sepanjang satu kilo meter. Cukup membuat tubuhnya yang lelah karena bekerja semakin lelah dan berkeringat.
Langkah Aru berhenti saat melihat dari kejauhan seorang lelaki duduk di teras rumah kontrakannya, matanya memicing guna memperjelas pengelihatannya, sedetik kemudian, dia berlari berhambur memeluk lelaki tersebut.
"Astaga, Aru, bikin kaget saja." Arya bersorak terkejut saat mendapatkan pelukan tiba-tiba dari adik terkecilnya.
"Kok, Abang bisa di sini? Kak Arina mana?" tanya Aru sembari menengok kanan kiri.
Arya tersenyum kecut saat menyadari wajah lelah Arunika, entah apa yang dia - Arunika - lewati seharian ini, atau selama tak ada Arya dan Arina di sampingnya. Arya tak bisa membayangkannya.
"Sejak kapan tinggal di sini?"
Aru menghela napas dan memilih duduk di samping Arya. "Rumahnya nyaman, kan, Bang? Aku yang cari sendiri, nih," ujarnya bangga.
Arya menghela napas panjang, sebelum dia membuka suara. Di tatapnya adik bungsunya itu, sembari menggenggam tangan Aru, Arya berkata, "Abang ke sini mau bawa kamu, ayo, sudah waktunya kamu tinggalkan kota Jakarta."
Aru terdiam, menatap Arya dengan tatapan sendu. Kata 'tinggalkan' terasa menyakitkan di telinganya, meskipun sebenarnya sudah sejak lama dia ingin pergi dan meninggalkan kota kelahirannya ini, namun dia tidak ingin itu terjadi saat ini. Bukan karena ingin hidup bebas, tapi rasanya terlalu sayang meninggalkan apa yang telah dia perjuangkan akhir-akhir ini. Pekerjaan, teman dan sekolah, mungkin menjadi alasan utama mengapa dia enggan meninggalkan kota ini.
Selain itu, bukankah akhir-akhir ini Aru telah menemukan banyak orang baik? Contohnya Kevin, Oma Tuti dan Bang Ridho. Lalu bagaimana dengan Candra? Meskipun Candra adalah orang yang sering menorehkan luka padanya, namun bukan berarti Aru membencinya, jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Aru tak ingin pergi karena tidak mau meninggalkan Candra.
Katakan Aru adalah gadis bodoh, namun bukankah ada yang namanya cinta buta? Mungkin itu yang Aru alami saat ini.
"Kamu mau tinggal sama Abang dan Kak Arina, kan?"
Aru yang semulanya menunduk dalam, mengangkat kepalanya perlahan. "Abang...kalau Aru nggak ikut...apa abang akan marah?"
Arya mengernyitkan dahinya. "Maksudnya?"
"Aru ingin melanjutkan sekolah di sini, sampai Aru lulus. Lagi pula, Aru sudah nyaman hidup sendiri dan bekerja untuk kebutuhan Aru." Aru berkata dengan menggebu, seakan meyakinkan Arya jika ucapannya adalah benar.
"Tapi di sini kamu nggak punya siapa-siapa, Aru. Nggak ada yang menjaga kamu."
Aru menegakkan tubuhnya, menggenggam kedua tangan Arya dengan erat. "Aru bisa menjaga diri Aru sendiri, Bang. Tapi Abang harus percaya sama Aru."
Arya terdiam. "Kamu yakin?"
Aru mengangguk cepat, seakan tak akan pernah menyesal dengan keputusannya. "Kalau Aru sudah menyerah, tanpa Abang minta pun, Aru akan kembali ke kalian. Aru janji."
Arya menatap adik kecilnya. Adiknya yang biasa bersikap manja ini kini berubah menjadi gadis yang mandiri dan tegar. Dulu Arya dan Arina akan merasa kesal jika Aru bersikap manja, namun kini dia merindukan sosok Aru yang manja itu.
"Ya sudah, tapi kamu harus izin juga dengan Kak Arina, bagaimana pun dia kakak kamu juga, Kak Arina yang paling mengkhawatirkan kamu di sana."
Aru mengangguk dengan tersenyum. "Nanti Aru akan telepon Kak Arina." Arya tersenyum, lalu merangkul Aru dan membawanya ke dalam dekapannya.
***
Mata yang sejak tadi terpejam, tiba-tiba terbuka, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Daru beranjak dari posisi rebahannya, mengambil gelas berisi air mineral dan meneguknya hingga tandas. Mimpi buruk itu membuatnya merasa sangat haus.
Kejadian di masa lalu yang kini selalu menjadi mimpi buruknya, kejadian di mana ia harus menjadi saksi kecelakaan sahabat kecilnya. Daru tersiksa ketika mimpi itu terus berulang bagaikan kaset rusak, jika harus memilih Daru ingin kembali ke masa itu, Daru akan menjadi anak lelaki pemberani yang akan menolong sahabatnya. Tapi semua itu hanyalah harapan semu.
Mengeluarkan sebatang rokok dari tempatnya dan pemantiknya, Daru melangkah menuju balkon kamarnya menghidupkan rokok tersebut, menyesapnya lalu mengeluarkan gumpalan asap putih.
Di tatapnya langit gelap pada malam itu, tak ada bintang maupun rembulan yang biasanya menerangi malam, suasana seakan mendukung kesedihannya akibat mimpi buruk itu.
Tanpa sengaja, matanya menangkap siluet tak asing, hanya satu, sementara yang satunya lagi Daru tak yakin pernah melihatnya sebelumnya.
Mereka tampak mesra dengan Aru yang berada dalam pelukan pria itu, meskipun terlihat samar, namun Daru yakin saat ini Aru sedang tersenyum.
Dengan senyum licik, Aru segera masuk ke dalam, mengambil ponselnya dan mengabadikan momen yang bisa dia gunakan untuk bukti pada Candra.
Entahlah, rasanya Daru merasa keberatan jika Candra memiliki hubungan dengan Aru. Alasannya? Mungkin karena Aru beda derajat dengan mereka.
Setelah berhasil mengambil foto Aru dan pria asing itu, Daru tidak segera masuk, dia lebih memilih untuk memperhatikan interaksi kedua orang itu, hingga akhirnya Aru membawa pria itu masuk ke dalam rumah. Hal itu tentu saja menyulut emosinya.
Dengan rahang mengeras, Daru masuk untuk menemui neneknya, ini adalah kesempatan yang baik agar Aru bisa di usir dari kontrakan neneknya, jika hanya merugikan, untuk apa di pertahankan.
Daru mengetuk pintu kamar Oma Tuti. "Oma," panggilnya setengah kencang.
Tak lama dari itu, Oma Tuti keluar dengan tampang muka bantalnya, sebenarnya Daru merasa bersalah, namun dia merasa apa yang dia perbuat adalah hal yang benar. Setidaknya dia perlu bukti untuk membuat Aru pergi dari sana.
"Ada apa Daru?"
"Oma, Oma harus lihat ini." Daru menarik tangan Oma Tuti, meskipun enggan, namun Oma Tuti tetap menurutinya.
Mereka keluar dari rumah, melewati gerbang, hingga akhirnya kini mereka berdiri di depan rumah kontrakan Aru.
"Ada apa?" tanya Oma Tuti masih dengan kebingungannya.
"Oma, di dalam sana ada pria asing, Aru membawa masuk pria ke dalam rumahnya, Oma, Oma harus mengusirnya, jangan sampai kita semua tertimpa sial," ujar Daru dengan kukuh.
Alih-alih memeriksa rumah Aru, Oma Tuti justru geleng-geleng kepala. "Itu Kakaknya Aru, namanya Arya."
"Oma yakin banget, memangnya Oma kata siapa?"
"Arya tadi bilang sendiri pada Oma."
"Dan Oma percaya?"
"Kenapa Oma tidak percaya, sudah jelas ada buktinya. Wajah mereka sangat mirip." Oma Tuti melempar senyum meyakinkan cucunya jika ucapannya benar.
Namun Daru masih keras kepala. "Oma, bisa saja mereka berbohong. Oma harus mengusir Aru dari sini, Oma."
"Sudahlah Daru, ini sudah malam, jangan membuat keributan di sini. Ayo, kita pulang saja."
"Nggak, Oma, kita harus -"
Sebelum melanjutkan ucapannya, pintu rumah Aru terbuka, menampilkan sosok Aru dan Arya, tatapan mereka penuh tanya, membuat Oma Tuti merasa tidak enak.
"Oh, Oma?" Aru melangkah maju nyaris mendekati Oma Tuti dan Daru, namun niatnya diurungkan kala mendapatkan tatapan Daru yang kurang bersahabat, atau memang tidak pernah bersahabat?
"Aru, maaf ya jika Oma dan Dari berisik, pasti menganggu waktu istirahat kalian."
Aru menggeleng. "Nggak sama sekali, kok, Oma, tadi kami keluar karena kami kira ada maling."
Oma Tuti tersenyum, berbanding terbalik dengan Daru yang memasang wajah kusut.
"Ada apa Oma?" Kali ini bukan Aru yang bertanya, melainkan Arya.
"Ini Daru melihat Nak Arya masuk ke dalam rumah Aru, padahal kalian adik kakak, namun Daru berpikiran yang bukan-bukan."
Aru maupun Arya menatap Daru lekat, sementara yang di tatap balik menatap tajam.
Arya menghela napas, senyumnya simpul sesaat terukir di wajahnya yang tampan. "Ah, ya, nggak apa-apa Oma. Itu hal yang wajar," ucap Arya. "Saya ini kakaknya Aru, saya tinggal di luar kota dan kemari niatnya untuk membawa Aru ikut bersama saya."
Oma Tuti cukup terkejut, berlainan dengan Daru yang tampak senang, namun rasa itu sesaat pudar setelah dia mendengar penuturannya Arya.
"Tapi Aru nggak mau, karena dia harus memikirkan sekolah dan pekerjaannya. Jadi saya mau menitipkan Aru pada Oma."
Oma Tuti tampak tersenyum. "Nak Arya tenang saja, Oma pasti akan menjaga Aru, Aru ini sudah Oma anggap seperti cucu sendiri. Daru juga sangat senang memiliki teman seperti Aru." Oma Tuti melirik Daru, bagaimana pun dia tau cucunya sangat tidak menyukai Aru, gadis manis yang baik hati ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top