KA - 19
Bukan hal tabu, melihat Candra lebih dekat dengan Andin dibandingkan dengan Aru yang merupakan kekasihnya . Seharusnya Aru sudah terbiasa akan hal itu, melihat mereka saling menggenggam tangan, merangkul, sampai berpelukan sudah biasa Aru lihat. Bahkan Aru tau, di belakang dirinya pun Candra dan Andin lebih sering bertemu, ketimbang dengan Aru. Aru sudah mengetahui itu semua. Tapi, mengapa dia masih merasakan sakit, ketika melihat secara langsung.
Aru bukanlah gadis yang mudah menangis hanya karena tertusuk pecahan kaca atau teriris pisau. Tapi kali ini dia menangis tersedu, meskipun lukanya sudah dibalut dengan plester. Tangannya yang terluka, tapi hatinya yang sangat hancur.
Kevin datang dengan membawa air mineral dalam kemasan. Kevin cukup khawatir dengan keadaan Aru saat ini, dia tau apa yang Aru rasakan. Tangisannya bukan untuk sebuah luka di jarinya, melainkan luka yang kian melebar di hatinya.
"Minum dulu," kata Kevin seraya memberikan minum pada Aru.
Aru menghapus air matanya, lalu menerima air pemberian Kevin. "Thanks, ya. Maaf gue jadi repotin lo dan Kak Ridho."
"Gak masalah, Bang Ridho juga enggak merasa keberatan, kok." Aru tersenyum simpul lalu menegak airnya hingga habis setengah botol.
"Aru," panggil Kevin dengan pelan.
"Hm?" Aru menoleh pada Kevin sedikit mendongak. Kemudian Kevin duduk di samping Aru agar gadis itu tidak terus-menerus mendongak.
"Kamu belum putus dengan Candra, kan?" Aru terdiam, kepalanya menunduk lalu menggeleng "Oh, aku kira kamu sudah putus."
"Banyak yang berpikir kayak gitu, kok, karena memang gue gak terlihat kayak pacaran sama Candra, tapi gue udah gak peduli. Toh, gue juga gak terlalu suka sama dia," kata Aru dengan tersenyum. Senyuman yang justru membuatnya terlihat menyedihkan.
Kevin memperhatikan Aru lekat, tangannya terulur hendak mengusap puncak kepala Aru, tapi ia urungkan, karena Kevin tau, Aru bukanlah gadis yang suka dikasihani.
"Gue balik kerja lagi, ya? Gak enak sama Kak Ridho. Ini hari pertama gue kerja."
"Iya, aku istirahat sebentar, ya."
"Oke." Kemudian Aru berlalu. Kevin memandang punggung Aru yang kian menjauh.
"Andai aja, gue itu cowok lo, mana mungkin gue sia-siakan lo, Aru."
***
Andin terlihat aneh dengan sikap Candra yang dari tadi hanya diam, sesekali dia bertanya, Candra hanya merespon seperlunya. Tidak seperti biasanya.
"Lo cemburu?" tanya Andin akhirnya setelah cukup lama hening.
Candra menoleh singkat, lalu kembali fokus berkemudi. "Cemburu apa?"
"Iya, lihat Aru dan Kevin." Candra tersenyum kecil.
"Mana ada kayak gitu, gue cuma kaget aja kenapa ada Aru di situ." Andin memperhatikan Candra. Kemudian hanya manggut-manggut saja.
Mobil berhenti di depan rumah Andin, Andin mengernyit. "Bukannya kita mau makan di tempat lain?"
"Lain waktu aja ya, Din, tiba-tiba aja badan gue gak enak," kilah Candra.
Andin mengerutkan dahinya. "Oke," jawab Andin, lalu turun dari mobil. Tanpa menunggu Andin masuk ke dalam, Candra melajukan mobilnya.
Andin memandang kepergian mobil Candra yang menghilang di persimpangan jalan.
"Aneh," keluhnya. Andin segera masuk ke dalam.
***
Candra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mengabaikan klaksonan dari mobil lain yang merasa terganggu dengannya.
Hingga akhirnya mobil Candra memasuki pekarangan rumah Daru. Daru yang memang sedang bersantai di balkon kamarnya hanya mengerutkan dahinya kecil.
Tak lama pintu kamar Daru terbuka, tampak Candra melangkah masuk, lalu membanting tubuhnya di ranjang Daru.
Daru mendekati Candra dengan dua tangan di masukkan pada saku celana. "Kenapa lo? Andin mana?"
"BT gue. Pulang," sahut Candra ketus.
"Kenapa? Sama Andin? Di lirik cowok lain?"
"Bukan, gue gak jadi makan malem sama Andin, karena Aru."
"Kenapa sama cewek lo?"
"Dia kerja."
"Hubungannya?"
"Dia kerjanya sama Kevin di cafe itu."
Daru duduk di samping Candra. "Masalahnya?"
"Gue gak suka, dia gak ada ceritanya sama gue."
"Penting buat lo?" Candra menoleh sesaat pada Daru dengan tampang sewot. "Lo bilang sendiri sama gue, kalau lo gak peduli sama Aru. Kenapa tiba-tiba lo sewot liat dia kerja bareng sama Kevin?"
"Basa basi, apa susahnya." Daru mendengus, lalu merebahkan tubuhnya dengan tangan sebagai bantalan.
"Kalau mulai peduli, ngaku aja, apa susahnya. Aru juga, kan, cewek lo."
"Ah, males ngomong sama lo." Candra bangkit dan berlalu pergi meninggalkan Daru yang mengulum senyumnya.
***
Andin bejalan lunglai menuju ranjangnya setelah selesai mengganti pakaian dan mencuci wajahnya, perubahan sikap Candra membuatnya merasa cemas. Mungkin karena tak biasanya Candra pergi begitu saja sebelum menunggunya masuk ke rumah dan Candra yang ingkar janji.
Andin tau perubahan itu karena Candra melihat Aru bekerja di sebuah cafe. Tapi apa hanya itu penyebabnya? Atau....
Andin menggelengkan kepalanya cepat, menghapus pikiran jeleknya terhadap Candra. Dia percaya Candra akan terus berada di sampingnya, karena hanya dia satu-satunya perempuan yang Candra cintai.
Ditatapnya benda pipih di atas meja belajar, kemudian Andin meraihnya, mengecek apa ada kabar dari Candra, tapi tak ada satu pesan pun. Andin kembali merasa cemas.
"Seharusnya dia udah sampai rumah, kan? Terus dia ke mana lagi?"
Andin segera menghubungi Daru. Nada tunggu berdering cukup lama, hingga akhirnya suara serak terdengar dari seberang sana.
"Apa, Din?"
"Ru, Candra di sana gak?"
"Baru pulang."
"Dia gak lama di sana? Terus katanya mau ke mana lagi?"
"Enggak, dia mau langsung pulang, mungkin."
"Kok, mungkin?"
"Mana gue tau, Din, mood dia lagi jelek, gue males ganggu dia."
"Hm. Oke deh."
Panggilan terputus dengan Andin yang memutuskan secara sepihak. "Dia pasti pulang," gumam Andin meyakinkan dirinya.
***
Menyusuri jalan sendiri di tengah malam saat keadaan hati sedang tidak baik-baik saja, cukup membantu bagi Aru. Sebenarnya Kevin berniat mengantarnya, tetapi Aru tidak tega, karena hari ini Kevin begitu banyak membantunya.
Memasuki pekarangan kontrakan, Aru dapat bernapas lega, setelah sampai di kontrakannya, Aru tidak langsung masuk, dia memilih duduk di undakan tangga di depan rumahnya, menatap langit gelap yang tidak bertabur bintang, hanya ada bulan yang sebagian tertutup awan.
Aru menghela napas panjang. Hari ini terasa berat baginya, dia kira karena ini hari pertamanya bekerja. Tetapi dugaannya salah, itu semua karena Candra, kekasihnya? Bahkan Aru tak yakin akan hal itu. Aru sendiri tidak mengerti mengapa Candra tidak melepaskannya, padahal Aru tau di hati Candra hanya ada Andin. Andai saja jika Candra mengiyakan permintaannya mungkin luka pada hatinya tak akan sebesar ini.
Aru segera menghapus air matanya yang entah kapan sudah mengalir bebas membasahi pipinya, saat dia mendengar petikan suara gitar, Aru mencari asal suaranya, ternyata Daru yang memainkan gitar di balkon kamarnya. Balkon kamar Daru langsung menghadap pada rumah kontrakan, selain itu jarak rumah Daru dan kontrakan yang Aru tinggalkan tak begitu jauh, maka dari itu suara petikan gitar yang Daru mainkan akan terdengar.
Biasanya Aru akan mengumpat jika tau Daru memainkan gitar di malam hari seperti ini, tapi entah mengapa malam ini Aru sangat terhibur dengan permainan gitar Daru.
Samar-samar Aru mendengar suara Daru menyanyikan lagu Melukis Senja dari Budi Doremi. Suara merdunya sangat pas dengan petikan gitarnya yang dia mainkan.
Aku mengerti perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukankan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu membasuh lelah mu
Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia
Aku disini walau letih coba lagi jangan berhenti
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukkan hari-hari mu yang tak indah
Biar ku menemanimu membasuh lelah mu
Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia.
Permainan gitar Daru berhenti. Tapi tatapan Aru tak bisa lepas dari pemuda yang kini menatapnya dengan sinis. Daru melangkah mendekati pembatas balkon, kemudian dia mengacungkan jari tengahnya pada Aru, setelahnya Daru masuk. Sementara Aru yang baru sadar seperkian detik kemudian mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Dasar cowok gila," umpatnya, lalu masuk ke rumahnya.
***
Bersambung
Aku gak tau masih ada yang tunggu cerita ini atau enggak. Mungkin sebagian ada yang lupa dengan jalan cerita ini.
Maaf, aku jarang up, kesibukan nyata amat sangat menyita waktu.
Tapi insyaallah, cerita ini akan sampai tamat, jadi mohon sabar ya.
Terima kasih yang masih mau baca dan setia tunggu cerita ini up.
Love you all 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top