KA - 11

Aru kembali setelah berjalan kaki cukup jauh dari depan kompleks. Itu karena motor ojek online yang dia tumpangi mengalami pecah ban, alhasil Aru harus berjalan kaki.

Dahinya mengerut melihat mobil masih terparkir di halaman rumah. Biasanya wanita itu sudah pergi dan pulang seminggu kemudian.
Sebenarnya dia malas, tapi memangnya Aru mau ke mana lagi. Jadi dia memilih untuk masuk ke rumah dan berniat berdiam diri di kamarnya.

Aru melangkah perlahan, berusaha agar tak menarik perhatian Diana yang sedang duduk di ruang TV.
Baru menaiki dua anak tangga, Diana menyadari kehadirannya. Sontak wanita itu menoleh dan memanggil Aru.

"Aru." Aru sendiri merasa heran dengan sedikit perubahan sikap wanita itu, biasanya Diana akan bersikap tak acuh padanya, tapi tidak dengan sekarang ini.

Mau tak mau Aru menoleh pada Diana. Wanita itu menghampiri Aru yang masih berdiam diri di undakan tangga.

"Iya?"

Diana menarik tangan Aru untuk duduk, meskipun sempat menolak, tapi Diana bersikeras membawa Aru untuk ikut dengannya.

"Kamu sudah makan?" tanya Diana membuat Aru semakin keheranan.

"Sudah, tadi," sahut Aru singkat.

"Oh, tadinya saya mau bawa kamu makan di luar." Diana tersenyum simpul, menampilkan lesung pipinya.

"Enggak usah, terima kasih."

"Ya udah deh, lain kali aja." Sesaat hening, sampai akhirnya Diana membuka suara lagi. "Rumah ini mau saya jual."

Aru mengalihkan pandangannya pada Diana. "Maksud Tante?"

Diana menoleh pada Aru singkat. "Papah kamu mati banyak meninggalkan hutang, saya gak bisa mengatasinya, jadi dengan terpaksa saya harus menjual rumah ini untuk melunasi hutang-hutang papah kamu."

Aru bisa merasakan sikap Diana kembali ke mode awal. Ya, bersikap tak acuh.

"Tapi rumah ini menyimpan banyak kenangan papah dan mamah, aku gak mau rumah ini di jual, Tante."

Diana menatap Aru tajam. "Kamu kira kenangan bisa melunasi hutang-hutang papah kamu? Lagi pula untuk apa orang mati masih di kenang?"

"Tapi itu penting buat aku, Tante!"

"Saya gak peduli," jawab Diana tak acuh.

Aru berdiri dengan rahang yang mengeras. "Aku tau, hutang itu bukanlah hutang papah, melainkan hutang Tante. Selama ini Tante selalu berfoya-foya sama harta papah! Iya kan?"

Diana terlihat marah, dia ikut berdiri dan menatap Aru tajam. "Jaga mulut kamu anak kecil, memangnya kamu tau apa? Masih untung saya mau urus hutang-hutang papah kamu."

Aru berdecap. "Untung? Untung dari mana? Semenjak papah menikah sama Tante, hanya ada kesialan dalam hidup keluarga aku."

"Anak sialan!"

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Aru. Aru memegangi pipinya yang terasa panas dan perih karena tamparan Diana. Dia menatap Diana tajam. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin Aru menahannya.

Seakan tak bersalah, Diana bersikap biasa saja setelah menampar Aru. "Saya gak peduli, saya akan tetap jual rumah ini. Sudah ada yang tertarik dengan rumah ini. Setelah rumah ini dijual, terserah kamu mau tinggal di mana, yang jelas saya gak mau menanggung kamu lagi."

Diana mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat. Dia menarik tangan Aru dan menyimpan amplop itu di tangan Aru.
"Ini ada uang, cukuplah buat kamu sewa kosan atau kontrakan, yang jelas besok kamu harus udah pergi dari sini. Karena besok orang yang mau membeli rumah ini akan datang."

Aru memandang amplop ditangannya. "Tadinya saya mau bicara baik-baik sama kamu, tapi kamunya udah nyolot duluan. Ya sudah sana masuk kamar, benahi barang-barang kamu." Setelah mengatakan itu Diana berlalu.

Sementara Aru hanya dapat membatu di tempatnya berdiri. Perasaannya campur aduk, marah, kesal, kecewa, sedih. Tapi dia tak bisa melakukan apapun.

Tidak ada Arina dan Arya di dekatnya, membuat ia kesulitan mengambil tindakan.

Dengan melangkah lunglai Aru memasuki kamarnya. Sesampainya di kamar, air mata lolos disudut matanya. Dia menangis tersedu-sedu.

Lagi-lagi dia merasakan patah hati. Rumah ini menjadi satu-satunya kenangan kedua orangtuanya.

Aru bergegas mengambil ponselnya. Menghubungi Arina, tapi nomor itu tidak aktif. Akhirnya Aru mencoba menghubungi Arya. Syukurlah nomor  pria itu aktif, hanya saja Arya tak juga menjawab panggilannya. Aru kembali menghubungi Arya. Tapi tak juga ada jawaban.

"Mereka ke mana sih? Di saat lagi kayak gini mereka menghilang." Aru merebahkan tubuhnya yang terasa lemah. Menatap langit-langit kamarnya, dia berharap ini hanyalah mimpi. Kenyataan ini terasa menyakitkan untuknya.

Hingga akhirnya kantuk menjemput kesadaran Aru, dengan sisa tangisannya, Aru tertidur.

****

Keesokan paginya.

Pintu kamar Aru sudah di ketuk dengan heboh. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Diana. Bahkan dengan brutalnya wanita itu seakan ingin mendobrak pintu kamar Aru.

Aru terbangun dari tidurnya, semalaman dia menangis, sampai lupa mengganti pakaiannya. Aru mengusap wajahnya kasar. Melihat jam weker di nakas yang baru menunjukkan pukul lima pagi.

"Aru ... Cepat bangun! Kamu harus pergi hari ini!"

Tok! Tok! Tok!

Ucapan Diana kembali menyadarkan dirinya dengan kenyataan pahit yang dia alami.

Aru bergegas bangun dan melangkah malas menuju pintu kamar setelah Diana semakin menjadi-jadi. Pintu terbuka, terlihat Diana menatapnya kesal.

"Kamu itu tidur atau mati? Susah banget di banguninnya."

"Kalau aku mati, aku gak mungkin bukakan pintu buat kamu." Persetan dengan sopan santun yang selama ini kedua orangtuanya ajarkan. Aru yakin kedua orangtuanya pun akan mendukungnya dari surga sana.

Diana mendelik tak suka. "Kamu sudah benahi barang-barang kamu?"

Aru menggeleng. "Belum."

Diana melebarkan matanya. "Kamu lelet sekali!" Lantas Dian segera masuk, mengambil koper di atas lemari Aru, kemudian membuka pintu lemari Aru, mengambil pakaian Aru dan memasukkan ke dalam koper. Aru mencoba mencegahnya. Namun Diana mengabaikannya.

Diana juga mengambil tas Aru yang lainnya. Memasuki buku-buku dan barang Aru yang lainnya.

"Barang yang lain akan saya kirim kalau kamu sudah mendapatkan tempat tinggal. Sementara biarkan barang ini saya simpan di gudang."

"Tante gak bisa main usir aku dari rumah ini. Aku punya hak dirumah ini."

"Rumah ini akan di jual."

"Setidaknya aku harus tau, siapa pemilik rumah ini selanjutnya, aku juga harus memastikan rumah ini jatuh ke tangan orang yang tepat."

"Jangan banyak ngatur. Pemilik rumah ini adalah saya, jadi hak saya mau bagaimana pun. Sekarang bawa tas kamu dan keluar dari sini."

"Enggak, aku gak mau!"

"Aduh ...." Diana mengambil koper dan tas berisi barang-barang Aru, tak lupa Diana juga mengambil tas sekolah serta ponsel Aru. Melihat hal itu  Aru bergegas mengekori Diana.

Tepat di depan pintu utama, Diana melempar koper dan tas Aru, kemudian mendorong Aru untuk keluar dari rumah itu.

"Sekarang, saya bebaskan kamu, saya gak peduli kamu mau tinggal di mana. Jangan ganggu saya lagi." Setelahnya Diana menutup pintu itu keras, menimbulkan bunyi yang begitu keras.

Aru berlari menuju pintu, menggedor pintu itu keras. Tapi tentu saja Diana tidak akan membuka pintu itu.
Aru hanya bisa pasrah saat ini. Tentunya dia tidak tau harus pergi ke mana. Tak ada tempat yang dapat dia singgahi.

***

Bersambung.

Di part ini biarkan kita ceritakan kejahatan Diana 🤭🤭

Bagi yang ingin mengumpat Diana di persilahkan..

Kalau mau cepat up, jangan lupa tinggalkan jejak. Biar aku makin semangat up-nya 😁😁

Love you ❤️



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top