Raindrops Symphony

Song : Sonata no. 8 in C minor op. 13 Pathetique

My favourite piece.

*

Hujan deras membungkus kota. Tetesannya terdengar lembut di telingaku. Bagaikan sebuah pertunjukan orkestra yang membuatku lebih sabar menunggu kakak yang terlambat menjemputku.

Tanpa kusadari, kertas soal yang sejak tadi berada di dalam genggamanku terlepas dan jatuh begitu saja ke lantai kelas yang untungnya tetap bersih. Aku buru-buru memungutnya. Untung saja tidak kotor. Jika tidak, aku bisa dimarahi Yamada-sensei karena itu adalah satu-satunya kertas soal ujian tahun lalu yang tersisa.

Aku memilih untuk memasukkan buku dan semua kertas soal yang berserakan di meja ke dalam ransel hitamku, kemudian berjalan keluar dari kelas. Aku berpikir akan lebih baik jika aku menunggu kakak di lantao bawah saja. Kebetulan kelasku, kelas 9-3 berada di lantai dua, berdekatan dengan laboratorium komputer dan kelas 9 yang lainnya.

Aku menuruni tangga dengan cepat. Cara itu sudah menjadi kebiasaanku. Kebetulan lift di apartemen yang kutinggali seringkali macet. Sehingga naik turun tangga menjadi solusi terbaik.

Saat sampai di lantai bawah, aku kembali nerjalan dengan kecepatan normal. Hujan mulai mereda hingga aku dapa mendengar alunan nada-nada piano dari ruang musik.

Chopin - Nocturne No. 9 Op. 2 in E flat major.

Aku tau itu dari kakekku yang sangat menyukai musik klasik. Dia sering memutar piece itu menggunakan alat yang ... Apa namanya? Aku lupa. Ah, sudahlah.

Aku bukannya tidak percaya dengan keberadaan hantu. Tapi aku yakin bahwa yang memainkan piano itu pasti anggota klub musik yang juga terjebak hujan deras sepertiku.

Aku menggeser pintu ruang musik yang sedikit terbuka. Dugaanku sama sekali tidak keliru. Disana memang ada seorang gadis yang sedang bermain piano.

Aku menghela napas lega. Setidaknya, aku tidak sendirian.

Angin berembus memainkan anak rambut gadis itu. Angin dingin yang memaksaku untuk merapatkan jas biru tua yang sudah menjadi identitas sekolah kami. Angin yang membuat rok yang hanya setinggi lutut nyaris saja terangkat.

Aku kembali memperhatikan gadis itu. Jemarinya bergerak lincah di atas tuts piano. Mata coklat kemerahannya terlihat fokus pada tuts itu, alih-alih melihat partitur.

... Seseorang yang mencari ketenangan serta arti dari kebahagiaan sesungguhnya ....

Nada yang dihasilkan perlahan membuatku tenggelam dalam perasaan sang pemain. Aku bisa merasakan apa yang ingin disampaikan gadis itu dalam permainan pianonya. Hingga aku tidak menyadari jika permainan itu baru saja berakhir.

"Hai," sapanya--membuatku segera tersadar dari lamunanku. Aku sedikit salah tingkah. Karena itu aku segera bertepuk tangan untuk menutupi rasa maluku.

"Permainan yang bagus," pujiku sembari berjalan mendekatinya.

"Ah, itu bukan apa-apa," ucapnya dengan pipi bersemu merah lalu tiba-tiba mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Oh, ya. Kita belum kenalan. Aku Hiruko Mizuki."

Aku membalas uluran tangannya dengan perasaan malu yang teramat sangat. Aku ini memang sedikit pemalu. "Eergh ... aku Ran Hayashi."

Gadis bernama Hiruko tadi melepaskan tangannya lalu bertanya padaku. "Hayashi-san? Kamu dari kelas apa? Aku dari kelas 9-4."

"Aku kelas 9-3," jawabku. Hiruko mengangguk paham. Mungkin aku ini sedikit aneh karena memanggil seseorang yang baru kukenal dengan nama depan. Tapi sepertinya, dia tidak mempermasalahkan hal itu.

Hening selama beberapa saat. Suasana canggung mengisi setiap ruang kosong di tempat ini. Hingga aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan lain.

"Tadi itu ... Nocturne no. 9 op. 2 , karya Chopin, kan?" aku mencoba untuk menebak.

"Wah, kamu tau? Kamu pasti penggemar musik klasik!" Hiruko berseru kagum.

Aku hanya bisa menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Yah, bisa dibilang begitu."

Hiruko tampak berpikir selama beberapa saat. Selama itu juga aku hanya terdiam. "Hmm ... Kalau begitu, kau boleh menantangku dengan piece manapun."

Aku  sedikit terkejut. Menantangnya? Aku tidak menyangka dia akan memintanya padaku. Hiruko mengerutkan kening. "Kau tidak mau ya?"

"Apa saja boleh, kan?" tanyaku memastikan. Hiruko mengangguk mantap. "Baiklah, kalau kau memaksa. Bagaimana kalau 'Rondo Alla Turca'?"

"Mozart?" tanyanya. Entahlah, dia seperti sedang menguji pengetahuanku. Aku mengangguk mengiyakan.

"Baiklah, bukan masalah," ujarnya lalu memulai permainannya dengan sangat anggun.

Aku benar-benar kagum melihat penampilan Anna. 'Rondo Alla Turca' yang menurutku merupakan salah satu piece tersulit dapat dikuasainya dengan mudah. Jari-jarinya menari dengan lincah memainkan nada-nada dengan tepat walaupun tanpa melihat partitur.

Aku mulai berpikir, siapa dia sebenarnya? Mengapa aku tidak pernah mengenalnya jika dia bermain piano sebaik itu?

Aku kembali bertepuk tangan ketika permainannya berakhir. Hiruko berbalik menghadapku lalu sedikit membungkukkan badan memberi hormat layaknya sedang berada di sebuah panggung pertunjukan seni.

Tanpa kusadari, hujan telah sempurna reda. "Ayo pulang," ajaknya. Aku mengangguk setuju. Aku tidak punya pilihan lain. Sepertinya kakak terlalu sibuk hingga lupa menjemputku. Lagipula, Hiruko kelihatannya satu arah denganku.

*

"Kelas 9-3 ada kelas tambahan, ya?" tanya Hiruko sereya melepaskan kancing pada jas birunya. Aku sedikit heran karena udara masih terasa sangat dingin saat ini.

"Iya, untuk persiapan ujian," terangku. Hiruko ber-ooh pendek mendengarnya.

Hening selama beberapa saat.

"Permainan pianomu sangat bagus. Kenapa kau tidak ikut kontes atau semacamnya? Apa kau tidak tertarik?" tanyaku.

Hiruko terdiam cukup lama hingga akhirnya menjawab pertanyaanku. "Aku bermain piano bukan karena ingin ikut kontes. Tapi, aku bermain piano karena ... itulah hidupku."

Aku tidak berkomentar. Karena memang tidak ada yang perlu dikomentari. Kalimat semacam itu menurutku sudah sewajarnya menjadi tujuan seorang musisi dalam bermain musik.

"Sudah dulu, ya. Sampai besok." Hiruko berbelok ke arah timur saat melewati perempatan jalan. Itu adalah jalan menuju rumah sakit.

Aku mengangguk. Menurutku, itu bukan hal aneh. Mungkin saja rumahnya berada di dekat sana.

Hari-hari terus berjalan meninggalkan begitu banyak kenanganku bersama sahabat baruku, Hiruko.

Dia ternyata merupakan sahabat yang baik dan perhatian. Dia selalu mendangarkan curhatanku kemudian mengomentarinya. Terkadang, dia juga memberi solusi untuk mengatasi masalah yang sedang kuhadapi.

Dia memang teman yang baik.

Namun anehnya, dia sama sekali tidak pernah bercerita apapun padaku. Begitu juga dengan yang lain. Teman sekelasnya juga mengtakan bahwa Hiruko cenderung tertutup pada siapapun.

Pada suatu hari, hujan kembali turun dengan derasnya. Membuatku kembali terjebak hujan hingga sore. Aku turun ke lantai dasar setelah merasa cukup bosan menunggu di dalam kelas.

Lagi-lagi, aku mendengar alunan nada Nocturne no. 9 op. 2 in E flat major daro ruang musik. Namun, kali ini berbeda.

.... Seseorang yang mencoba tersenyum di tengah luka hati yang sangat dalam.

Aku bisa merasakannya, lagi.

Aku membuka pintu ruang musik. Disana memang ada Hiruko yang memainkan tuts piano dengan lincah seperti biasa.

Anehnya, dia justru menghela napas berat saat permainannya berkhir, lalu menoleh ke arahku sambil tersenyum. "Terjebak hujan lagi, ya?"

Aku tetap terdiam. Tidak menjawab atau bertepuk tangan seperti saat permainannya berakhir. Entah mengapa, aku merasa ... sedikit aneh. Hiruko menatapku bingung. "Kamu sakit?"

Aku menggeleng lemah. "Harusnya aku yang bertanya begitu," batinku. Aku berjalan mendekatinya tanpa melepaskan pandanganku walau sesaat.

Dia memiliki kulit yang berwarna putih pucat. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

"Kau boleh menantangku satu piece lagi," ucapnya. "Kemarin hujan reda ketika permainanku berakhir. Semoga sekarang juga begitu."

"Piece mana saja tidak masalah, kan?" tanyaku lagi seperti hari itu.

"Tentu," jawabnya.

"Aku ingin kau memainkan piece favoritku."

"Apa itu?" tanya Hiruko penasaran

"Beethoven - Für Elise."

Seketika raut wajahnya berubah drastis saat mendengar jawabanku. Senyum yang terlukis di wajahnya mulai memudar.

"Aku ... aku tidak bisa .... Aku tidak bisa memainkan ... piece itu," ucapnya. Aku tersentak mendengarnya.

"Kenapa? Aku pernah mendengarmu mamainkan Rondo Alla Turca, Moonlight Sonata, Flight of the Bumble Bee, Sonata Pathetique no. 8, dan piece yang lebih sulit lagi, kan?" tanyaku. Hiruko masih terdiam.

"Aku tau, kau adalah pianis yang luar biasa, Hiruko-chan. Kau pasti bisa," ucapku.

"Ran ...."

"Ya?"

"Aku akan memainkannya untukmu. Tapi hanya untuk kali inu. Oke?" aku mengangguk. Meskipun aku tidak tidak tau arti dari kata 'kali ini.'

Permainannya berjalan lancar pada bagian awal. Atmosfer itu, aku bisa merasakannya lagi. Nada-nada sedih Für Elise membuatnya menjadi semakin terasa.

Aku sebenarnya merasa sangat bersalah karena memintanya memainkan piece itu. Namun, Hiruko tetap melakukannya sebelum akhirnya berhenti di tengah permainannya. Padahal dia baru saja melewati bagian tersulit dari piece itu.

"Hiruko ...," ucapku lirih. Dia hanya terdiam. Jari-jarinya terlihat gemetaran.

"Aku ... aku tidak bisa menyelesaikannya .... Aku tidak bisa!" katanya sambil terisak.

Mendadak hatiku terasa perih. Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Jujur saja, aku sangat menyesal karena memintanya memainkan piece itu.

"Maaf, Ran. Aku tidak bisa menyelesaikannya ... Maafkan aku," katanya lagi. Aku mengelis bahunya dengan lembut. Hatiku kini benar-benar dipenuhi perasaan bersalah.

"Tidak, aku yang harus minta maaf. Seharusnya, aku tidak memintamu memainkan piece itu," balasku. "Sudahlah, tidak perlu menangis." Hiruko mengangguk samar lalu membalas pelukanku.

"Kita pulang?" tanyaku ketika hujan mereda. Hiruko mengangguk seraya mengusap air matanya.

Saat itu, kami berjalan pulang tanpa berbicara sepatah kata pun hingga dia berbelok ke arah timur. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

Semua ini salahku. Seandainya aku tidak memintanya memainkan Für Elise, mungkin semuanya akan jadi lebih baik.

Hujan kembali turun dengan derasnya. Tiga hari berlalu. Hujan nyaris tidak pernah reda. Selama tiga hari itu juga, aku tidak pernah melihat Hiruko lagi. Mungkin dia masih marah padaku.

"Apa kau yang bernama Ran?" tanya seorang pemuda. Dia tiba-tiba menghampiriku yang sedang duduk di depan ruang musik. Matanya cokelat kemerahan, persis seperti Hiruko.

"Iya, benar. Kau terlihat seperti ..."

"Saya tidak akan lama. Hiruko menitipkan ini ... sebelum pergi," ucapnya sembari menyerahkan sebuah amplop berwarna merah. Pergi? Kemana? Apa aku ini benar-benar tidak bisa dimaafkan hingga Hiruko lebih memilih untuk pergi?

"Tapi ... kapan dia akan kembali? " tanyaku penasaran.

"Dia ... tidak akan pernah kembali lagi," jawabnya lirih. Aku tersentak kaget. Sebenarnya, apa yang terjadi?

"K ... kenapa?"

"Hiruko ...." Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya terlihat berkaca-kaca.

"Ada apa?" aku semakin curiga. Jangan bilang ...

"Dia ... sudah tiada ...," ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang hanya bisa terdiam membeku di tempat. Terjebak hujan deras, lagi.

"Hiru-ko," gumamku seraya membuka amplop yang dititipkan kepada pemuda tadi. Sebuah surat yang ditulisnya sendiri.

*

Untuk sahabatku : Ran Hayashi (Sahabatku)

Maaf, aku pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Aku juga minta maaf karena harus meninggalkanmu dengan sejuta tanda tanya. Karena itu, aku akan mencoba menjawab pertanyaanmu tentang diriku.

Kau mungkin berpikir bahwa rumahku berada di dekat rumah sakit ketika aku memilih untuk berbelok ke arah timur.

Sebenarnya, aku memang akan pergi ke rumah sakit. Kenapa? Karena aku adalah penderita kanker otak stadium empat. Dan aku sadar, hidupku tidak akan lebih lama.

Kau mungkin tidak pernah melihatku saat kelas 7 dan 8. Itu karena aku memang baru pinda kr sini pada saat awal semester genap kelas 9. Dan itu karena keluargaku mendengar bahwa rumah sakit di sini memiliki peralatan terapi yang lebih memadai.

Kau mungkin bingung ketika aku melepas kancing pada jasku setiap hujan reda. Aku melakukan itu karena aku ingin merasakan angin sejuk di saat-saat terakhirku.

Terima kasih karena sudah menjadi sahabatku. Kau telah membuat saat-saat terakhirku menjadi lebih berarti.

Ran, aku punya satu permintaan. Tolong jangan pernah lupakan aku. Ragaku mungkin hancur, tapi aku ingin tetap hidup di dalam hatimu.

Di dalam kenangan.

*

Air mataku seketika tumpah ketika aku seleaai membaca kalimat terakhir dari surat itu. Ingin rasanya aku berteriak mengalahkan suara hujan. Namun, pita suaraku seakan tidak berfungsi.

Hiruko, kenapa harus secepat ini. Aku ingin kau ada di sini untuk menemaniku. Namun, kau justru pergi meninggalkanku, di tengah hujan deras.

Kau datang dalam hidupku, memberi simfoni, lalu pergi begitu saja.

Seperti rintik hujan.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top