Northern Star

Song : Adolescence
By    : Dios/SignalP
Lyric : Orange
Featuring : Kagamine Rin/Len

*

Bel istirahat pertama berbunyi. Pelajaran matematika berlalu tanpa kusadari. Jika seseorang bisa membaca isi pikiranku saat ini, mungkin orang itu hanya akan menemukan jalinan benang kusut yang saling terkait satu sama lain. Semua itu memproyeksikan pikiranku saai ini yang sedang kacau.

"Hai, Lyn! Kamu kenapa?" tanya Fifi, teman sekelasku. Aku tidak menjawab. Hanya menatap kosong. Pikiranku melayang entah kemana tanpa tujuan pasti.

"Hmm ... kamu pasti berantem sama pacar kamu si Alvin itu, kan?" tebaknya. Aku tahu jika dia hanya bercanda. Namun, mendengar ucapannya saja membuatku seperti tersengat listrik.

Karena pada kenyataannya, Alvin adalah 'saudara kembarku.' Yah, aku perlu meletakkan tanda kutip di sana karena aku sendiri tidak yakin apakah dia menganggapku begitu atau tidak.

"Jangan bercanda!" Aku memicingkan mataku pada Fifi. Seandainya boleh, aku ingin sekali menjahit mulutnya dengan benang kasur agar dia bisa sedikit lebih menjaga ucapannya.

Tolong jangan berpikir aku ini tidak berperikemanusiaan. Aku hanya sedang tidak bisa mengontrol emosiku yang hampir meledak seperti dinamit.

"Oh, Alyna-ku yang cantik. Jangan marah, dong. Aku kan cuma mau nitip ini." Fifi memberikanku sebuah amplop berwarna putih dengan gambar hati sebagai perekatnya.

Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Kenapa aku hanya dipuji ketika orang-orang sedang membutuhkanku saja. Setelahnya, keberadaanku sama sekali tidak terasa.

"Jangan dibuka ya. Bye, Lyn!" serunya lalu pergi meninggalkanku. Padahal, tanpa dibuka saja aku sudah tahu apa isi amplop itu.

Aku menoleh ke arah belakangku. Mengecek apakah ada orang lain. Beberapa saat kemudian, aku menghela napas berat ketika mendapati sepasang mata milik Alvin yang menatap dingin ke arahku dari balik buku ensiklopedia astronomi yang dibacanya.

Aku dan Alvin memang kembar. Namun, kami sama sekali tidak seperti saudara kembar pada umumnya yang selalu bersama kemana pun dan dimana pun.

Kalian mungkin akan mengataiku melankolis. Tetapi sebelum kata itu terlontar dari mulut kalian, bayangkan seandainya kalianlah yang berada di posisiku.

Bayangkan seandainya kalian memilki saudara yang menganggap kalian sebagai oeang lain dalam hidupnya. Oh, sudahlah. Kalian tidak akan mengerti.

Alvin terlalu sibuk dengan klub astronomi yang melakukan berbagai kegiatan di luar sekolah. Karena itu, dia sama sekali tidak pernah berbicara denganku.

Aku sadar, klub itu sangat berarti baginya. Ketika masih kecil, kami sering memandangi bintang-bintang di malam hari. Sejak saat itu, dia sangat tertarik pada ilmu astronomi. Hingga lambat laun dia mulai mengabaikan kehadiranku.

Tanpa kusadari, air mata mulai mengalir deras dari ujung mataku. Aku sangat membenci semua ini! Sangat benci!

Aku menyerahkan surat dari Fifi tanpa sepatah kata pun. Ini sudah biasa. Ketampanannya sering kali membuatku menjadi seperti tukang pos.

Aku sangat membenci ini.

Kenapa aku hanya bisa menjadi tukang pos dalam hidupnya?

Aku sama sekali tidak tertarik dengan isi surat itu. Benar-benar tidak tertarik. Sampai ketika Fifi membacakan balasan suratnya kepadaku keesokan harinya.

Hatiku semakin remuk. Bel pulang sekolah yang biasanya selalu kutunggu dan membuatku senang, kini tidak berpengaruh sama sekali.

Semuanya bagaikan debu tertiup angin. Diabaikan begitu saja. Begitu juga denganku. Apa aku ini benar-benar bagaikan debu yang memang ditakdirkan untuk selalu diabaikan?

Aku masih ingat, balasan surat itu berbunyi, "aku sudah terlanjur mencintai gadis lain. Dia jauh lebih cantik, lebih hebat, dan lebih segalanya darimu."

Apa benar begitu? "Gadis" itu sangat penting baginya? Lebih penting daripada aku?! Apa artinya semua ini?! Apa aku benar-benar tidak pantas bersamanya walau hanya sebagai kembaran? Kejam! Kau benar-benar kejam, Alvin!

Aku terus berjalan pulang, sendirian. Sampai akhirnya langkahku terhenti ketika melihat dua orang preman menghampiriku.

Aku tidak bisa apa-apa selain menjerit di dalam hati karena sebuah pisau yang ditodongkan tepat di depan leherku. Dalam hati, aku berharap ada seseorang yang datang menyelamatkanku.

"Siapapun, tolong aku!" batinku.

Tak lama setelah itu, seseorang datang menyelamatkanku. Sesorang yang baru saja membuat hatiku hancur.

Aku akui, dia sangat pandai dalam hal apa pun, termasuk beladiri. Alhasil, kedua preman itu lebih memilih untuk kabur setelah Alvin berhasil mengalahkan mereka dengan mudah.

"Maaf, aku sedikit terlambat," ucap Alvin dengan senyum tipis di wajahnya. Aku menundukkan pandanganku. Lengan kemeja putih yang kukenakan basah oleh air mata.

Aku hanya terdiam mengabaikan kehadirannya. Lagipula, itu belum sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan padaku. "Kau ... tidak apa-apa, kan?" tanya Alvin cemas.

"Pergi! Aku ... aku tidak membutuhkanmu ... lagi ...," responsku di tengah air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Aku mengatakan hal itu meskipun hati kecilku memberontak dan tidak ingin kehilangan dia.

"Kau juga tidak membutuhkanku lagi, kan?" tanyaku lirih. Aku masih berharap semoga saja jawaban yang dia berikan adalah jawaban 'tidak'. Meskipun itu terasa sangat mustahil.

Aku masih memiliki harapan meskipun hanya setitik.

Alvin terdiam cukup lama. Beberapa saat kemudian menarik napas dalam-dalam. "Tidak, Alyna. Kau adalah hal terpenting bagiku," jawabnya.

Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa? Bukankah selama ini ...? Tidak, dia pasti hanya sedang membohongiku. Aku tidak boleh percaya begitu saja tanpa bukti.

"Aku tidak percaya! Jika memang begitu, kenapa kau tidak pernah berbicara padaku? Kenapa kau sering menatap tajam padaku seolah aku adalah orang paling berdosa?" Aku tidak bisa meneruskan ucapanku. Alvin hanya terdiam menungguku selesai bicara.

"Kenapa ... kau menjauhiku?" tanyaku sambil terisak. Aku sudah tidak bisa menahan air mataku yang mengalir semakin deras ketika mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang mendengarnya saja membuatku merasa frustasi.

"Maafkan aku, Alyna. Aku sebenarnya ... sangat ingin bersamamu seperti dulu," balasnya. Padahal aku ingin berkata 'kenapa kau tidak melakukannya?' Tetapi, perasaan ini seolah tidak mengizinkan kalimat itu untuk terucap.

"Tapi, kau adalah perempuan yang memiliki dunianya sendiri. Aku tidak bisa dekat denganmu lagi. Karena itu, aku hanya bisa mengawasimu dari jauh. Dunia kita berbeda, Lyn. Aku harap kau mengerti," jelasnya seolah bisa membaca pikiranku. Namun, itu sama sekali bukan alasan yang bisa kuterima.

"Selain itu ..., mengenai 'gadis' yang sudah terlanjur kucintai itu .... Yang aku maksud adalah kau, Alyna. Kaulah gadis yang sudah terlanjur kucintai itu," jelasnya lagi. Aku tertegun. Bagaimana mungkin ...?

"Dan aku beritahu satu hal. Aku tertarik pada dunia astronomi ... karena kau sangat menyukai bintang. Alasan aku mempelajarinya adalah karena ku ingin kau menganggapku ... lebih dari bintang," jelasnya lagi seraya mengusap setitik air di ujung matanya.

"Percayalah, Alyna. Aku tidak bermaksud ... meninggalkanmu," ucapnya. Aku mengangkat wajahku lalu menatapnya tidak percaya.

"S-sungguh?" Alvin mengangguk samar lalu meyeka air mataku yang mulai berhenti mengalir. "Maafkan aku .... Aku sudah salah paham selama ini," ucapku dengan nada menyesal.

Air mataku kembali meluncur tanpa bisa kubendung lagi. Alvin memeluk tubuhku dengan erat. "Aku menyayangimu, Alyna," bisiknya sambil mengusap bahuku.

Aku membalas pelukannya dengan sangat erat seolah benar-benar tidak ingin kehilangan dia. "Aku juga," balasku. Air mataku masih mengalir, entah karena alasan apa.

Sejak saat itu, aku menyadari satu hal. Kehadirannya lebih dari bintang. Dia bagaikan bintang utara yang tidak selalu terlihat, namun tak pernah menghilang dan selalu berada di tempatnya. Tetap setia walaupun tak selalu diperhatikan.

Dia selalu menyayangiku, walupun aku tak pernah menyadarinya.

Seperti bintang utara.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top