Discordant

Symphony no. 9 mengalun merdu dari biola yang aku mainkan. Suasana aula sekolah yang awalnya terasa angker, sekarang menjadi lebih nyaman.

"Hei, Mata Empat!" Teriakan itu berhasil membuat konsentrasiku terganggu hingga suara yang dihasilkan menjadi sumbang.

Saking kesalnya, aku sampai melepaskan pegangan tangan kananku pada penggesek biola sehingga terlempar ke lantai. Sial! Awas nanti, jika orangnya sampai muncul, akan kupukul dia dengan biola ini.

"Di sini rupanya kau Mata Empat! Aku mencarimu kemana-mana!" serunya lagi dari ambang pintu. Laki-laki bersuara tenor itu bernama Bagas, salah satu teman sekelasku.

Aku berjongkok mengambil penggesek biola yang melayang karena menjadi pelampiasan kekesalan. "Namaku bukan Mata Empat! Lagipula, tidak bisakah kau diam? Aku ada kontes minggu depan!" balasku seraya  membetulkan posisi kacamata ber-frame tebal yang sedikit turun lalu kembali melanjutkan permainanku.

"Oh, jadi kontesmu itu lebih penting daripada teman kita, hah?!" bentak Bagas sambil menarik kerah bajuku. Aku menatap balik wajahnya yang terlihat seperti serigala yang sedang kelaparan.

"Cih, sejak kapan dia itu jadi temanku? Dia selalu saja membuatku repot dengan sikapnya," aku mencibir seolah tidak menyadari jika seekor serigala sudah berhasil menangkap anak kelinci kecil.

Benar saja. Sepertinya aku harus belajar membaca situasi. Pasalnya beberapa detik setelah ucapan itu terlontar, Bagas melayangkan tinjunya ke arahku. Aku tidak sempat menghindar hingga jatuh ke lantai. Rasanya memang sedikit sakit. Tapi untunglah kacamata ini tidak apa-apa.

"Fyan, kau tahu?! Raka mengangapmu lebih dari saudaranya sendiri. Dan sekarang, kau ...." Bagas tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya terdiam dan tampak berpikir. "Maaf, aku lupa jika kau itu tsundere."

"Apa yang kau bicarakan?" tanyaku datar. Kupaksakan kedua kakiku untuk berdiri kemudian menatap lurus ke mata lawan bicaraku.

"Baiklah, aku ini orang baik. Jika kau mau membantuku, akan kutraktir kau es krim vanilla," tawarnya. Pupil mataku melebar. Es krim vanilla?! Aku su ... ehm, Fyan kendalikan dirimu.

"Aku tidak suka es krim. Lagipula, bukankah lebih baik jika kau pergi dengan orang lain?" balasku lalu kembali bermain. Bagas menghela napas berat lalu berbalik menuju pintu.

"Oke, aku harap kau tidak bisa mendengar nada lagi seperti Arima Kousei," ujarnya. Aku mengangkat sebelah alis. Arima Kousei? Tokoh anime, ya? Huh, dasar wibu!

Tapi kalau hanya seperti Arima, itu tidak terlalu buruk menurutku. Kenapa tidak sekalian saja dia menyebut Beethoven yang tetap bisa menghasilkan karya fenomenal walaupun tidak bisa mendengar?

Namun, entah perasaan apa yang membuat dadaku terasa sesak. Perasaan yang tidak bisa kujelaskan sekarang. Tidak, maksudku bukan cinta. Mungkin ini semacam perasaan yang muncul karena idealisme yang terlalu tinggi.

"Bagas," panggilku. Yang dipanggil menghentikan langkahnya tanpa menoleh. Dasar sombong!

"Ada apa? Kau berubah pikiran?" tanyanya dengan suara yang sama sekali tidak menunujukkan antusiasme.

"Kalau kau memaksa, aku ikut saja. Aku tidak ingin seauatu terjadi padamu," jawabku sambil meletakkan biola serta penggesek di tempat yang seharusnya lalu berjalan menyusulnya tanpa banyak berkomentar lagi.

Raka memang sekelas denganku. Dia bukan orang yang bisa disebut sebagai siswa teladan menurutku karena seringnya melanggar peraturan dimana pun.

Di hari terakhir aku melihatnya, dia terlambat masuk kelas untuk yang ke sekian kali. Dia bahkan berkata, "aku benci peraturan. Semua ini membuatku muak." Saat itu, aku hanya terdiam. Aku tidak menyangka jika itu adalah hari terakhir-nya di kelas.

Aku yang sejak kecil memiliki sesuatu yang Ayah sebut sebagai rasa keadilan yang begitu tinggi, tidak bisa mentolerir aksi pemberontakan itu. Menurutku, peraturan adalah segalanya. Dia diciptakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya.

Sekarang, aku harus mengorbankan waktu latiahnku yang hanya tinggal beberapa hari demi mencari keberadaannya? Huh, menyebalkan!

"Ini, anggap saja rasa terima kasih karena sudah membantuku." Bagas memberikanku sebuah es krim vanilla yang dia janjikan padaku. Aku sedikit terkejut karena dinginnya es yang mengenai pipi kananku.

"Sudah kubilang, aku tidak suka es krim," tolakku meskipun hati kecil ini berkata sebaliknya. Bagas tetap menyodorkannya ke arahku.

"Ayolah, terima saja," katanya sedikit memaksa. Aku tidak bisa menolak, karena memang aku tidak pernah berniat menolaknya.

"Hm, ya sudah. Kamu sudah terlanjur beli. Sayang kalau tidak diamakan," balasku sembari membuka bungkusan es krim cone itu lalu mulai memakannya.

"Bagaimana?" tanyanya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sudah terlanjur berkata 'aku tidak suka.' Apa yang akan dia katakan seandainya responsku positif? Tapi, tidak bisa kupungkiri jika rasanya sungguh luar biasa.

"Hmm ... yah, lumayan. Tidak seburuk yang kukira," jawabku pada akhirnya. Bagas hanya tersenyum simpul lalu menghabiskan minuman dingin yang dia beli.

Aku menatap langis sore yang mulai diselimuti awan hitam. Sebentar lagi mungkin hujan akan turun. Tapi, aku tidak perlu buru-buru pulang karena ibu sudah kuberitahu.

Pandangan mataku menangkap sebuah bayangan seseorang yang sangat kukenali. Tidak salah lagi. Itu pasti orang yang kami cari. Aku berjalan mendekatinya seolah melupakan Bagas yang masih bersamaku. "Kita bernasib sama. Jangan bersedih seperti itu." Aku bisa mendengar suaranya.

Dia sedang berbicara sendirian. Ralat! Dia berbicara dengan seekor kucing. Oh, apa yang dia lakukan? Apa rasa frustasinya itu mendorongnya untuk menjadi orang gila?

"Ada apa?" tanya Bagas yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Aku meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai isyarat agar dia tetap diam selama aku mendengar pembicaraannya.

"Oh, Kucing. Sepertinya nasib kita sama. Dunia ini memang tidak selalu adil. Suatu hari, akan kuubah dunia ini menjadi lebih baik," ucapnya pada makhluk manis di hadapannya yang seringkali disamakan denganku. Ah, memangnya dimana kesamaan antara aku dan kucing?

"Mungkin dia pikir kucing itu kamu, Fyan. Makanya Raka curhat sama dia," bisik Bagas yang mendadak kembali ke sifatnya yang semula. Bukan dengan raut wajah mirip serigala kelaparan itu.

Aku menatap wajah yang seolah tak memiliki dosa itu sedatar-datarnya. Di dasar hati kecilku yang terdalam, rasa kesal mulai memuncak. Namun aku harus bisa mengendalikannya demi keadilan.

Iya, ini demi keadilan!

"Hai, apa yang kalian lakukan di sini?" sapa Raka yang sekarang sudah menemukan keberadaan kami. Aku dan Bagas saling berpandangan. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Eergh ... kami ...." Aku menyikut lengan Bagas yang berada di sampingku. Memberi kode agar dia segera mengambil alih situasi canggung ini.

"Kami mencarimu! Kau tahu, wali kelas kita sampai khawatir karena kau tidak masuk berhari-hari," jawab Bagas apa adanya. Aku hanya bisa menepuk dahi. Tidak bisakah anak ini berbohong sedikit agar rencana bodoh ini tidak hancur?

Raka mengerutkan kening heran. "Kenapa? Aku merasa lebih baik di sini. Benar-benar kehidupan yang bebas," katanya. Aku menghela napas. Sejujurnya, aku memang tidak sempat menyusun rencana. Oh, aku harap ini tidak akan berantakan!

Aku berpikir berkali-kali sebelum menyahut. Salah sekali saja bisa membuat aksi nekad ini menjadi gagal total. Aku harus bisa memanfaatkan situasi ini. "Apa hidup tanpa aturan membuatmu merasa lebih baik?" tabyaku datar. Raka terlihat sedikit terkejut.

"Apa peraturan adalah gas karbon monoksida yang membuat dada sesak bagimu?" tanyaku lagi. Aku tidak bisa menebak pikirannya setelah mendengar kalimatku tadi. Dia hanya menundukkan pandangannya sehingga menykitkanku untuk membaca ekspresinya.

"Kau tidak mengerti, Fyan. Kau tidak mengerti!" katanya dengan suara yang sedikit keras sambil mengangkat wajahnya menatap langit yang mulai terlihat gelap.

"Langit itu kelam, sama seperti dunia kita," ucapnya seraya memperlihatkan senyuman sinis. Aku tidak mengerti. Apa pemahamanku selama ini salah?

"Ibuku meninggak sejak aku masih kecil. Tak lama setelahnya, Ayah menikah dengan wanita lain. Wanita yang awalnya begitu baik padaku. Namun bagiku, dia tak lebih dari seorang monster yang menyembunyikan wujud aslinya.

"Lama-kelamaan, dia mulai memberlakukan sebuah aturan yang sangat ketat bagiku hingga aku tidak bisa bergerak bebas. Hmph, sebenarnya dari awal aku memang tidak pernah suka pada peraturan," jelasnya. Masih dengan senyuman sinis itu.

"Apa hanya karena itu? Hanya itu yang membuatmu kabur?" tanyaku lagi tanpa intonasi. Raka masih saja tersenyum sinis.

"Sudah kukatakan kau sama sekali tidak mengerti. Kau mendapatkan segalanya, Fyan. Kasih sayang, perhatian, kepopuleran, bakat, dan semuanya.

"Kamu tidak mengerti. Aku sudah berusaha. Tapi sama sekali tidak ada hasilnya. Aku berusaha menaati peraturan. Tapi tidak pernah sepopuler kamu. Aku berusaha melakukan segalanya. Tapi aku tak pernah memiliki bakat. Kau hanya akan mengerti jika kau yanga da di posisiku," ujarnya panjang lebar. Aku terdiam cukup lama. Memikirkan kalimat apa lagi yang harus kukatakan.

"Aku mengerti, Raka. Kekelaman hidup telah mengubah kepribadianmu menjadi seauatu yang lain. Tapi, peraturan tetaplah peraturan. Apapun alasannya, peraturan diciptakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik, bukan sebaliknya." Aku mencoba untuk menatap lurus ke manik matanya agar dia lebih mengerti maksudku.

Raka mengepalkan kedua tangannya. "Kau tidak pernah mengerti! Kau pasti sudah dibutakan oleh rasa idealis yang terlalu tinggi!" geramnya. Aku sedkit terkejut. Belum pernah ada orang yang menyalahkanku sampai seperti ini, menyalahkan pemikiran yang didasari rasa keadilan yang tinggi.

Aku tidak bisa memaafkan ini. Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi. Aku harus bisa menghentikan semuanya. Perasaan yang tidak bisa dihentikan ini ... membuat dadaku terasa sesak.

"Sebenarnya untuk apa aku harus melakukan semuanya. Untuk apa? Selama ini aku melakukan hal yang tidak berguna tanpa tahu artinya. Aku sudah muak," ujarnya. Sekarang giliran aku yang geram mendengarnya.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku sadar jika diriku ini bukanlah orator profesional yang pandai memperngaruhi orang lain. Aku hanyalah remaja tanggung yang memiliki idealisme tinggi. Melakukan hal bodoh ini sama sekali tidak akan mengubah apapun.

"Baiklah, sudah cukup. Aku lelah. Lakukan saja sesukamu. Lagipula, aku hanya perlu mencemaskan masa depanku sendiri," ucapku kemudian pergi begitu saja. Melupakan kehadiran Bagas, lagi.

Semua ini masih saja membuat dadaku sesak. Padahal aku sudah melakukan apa yang seharusnya. Aku hanya tidak tahu harus berkata apa waktu itu. Berkoar-koar di hadapannya hanya akan berakhir sia-sia jika tidak satupun kalimatku yang didengarnya.

Aku menggesek biolaku sembarangan tanpa memperhatikan notasi. Bermain sebebas-bebasnya tanpa aturan. Hasilnya, suara sumbang menggema di seluruh penjuru rumah. Benar-benar sumbang. Lebih buruk daripada ketika pertama kali aku menyentuh benda ini.

"Fyan, tidak bisakah kau bemain lebih serius? Telinga ayah sakit mendengarnya." Tidak mau memancing masalah besar, aku segera menghentikan permainan gilaku itu kemudian memulainya kembali dari awal dengan lebih serius.

Kuberitahu kalian satu hal gila. Tujuanku bermain asal-asalan tadi adalah, aku ingin mengungkapkan pikiranku lewat permainan sumbang itu. Aku sadar, itu benar-benar ide yang bodoh. Memang musik adalah media komunikasi. Tetapi bukan dengan cara seperti itu.

Pesan yang ingin aku katakan dalam permainanku adalah ....

Sebenarnya, sifat dasar setiap manusia adalah menginginkan kebebasan. Iya, kebebasan dalam setiap tindakannya. Sama seperti sebuah permainan biola yang terdengar begitu indah.

Ada banyak sekali peraturan yang harus dipatuhi para musisi dalam permainannya. Ada banyak ketentuan tertulis yang wajib diperhatikan.

Sama halnya dengan peraturan di dunia nyata. Peraturan yang terlalu ketat terkadang membuat kita muak, tetapi sebenarnya diciptakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik.

Namun, jika seorang musisi tidak mematuhi peraturan itu dan memilih bermain sesukanya, maka dapat dipastikan jika nada yang dihasilkannya tidak akan membentuk harmoni.

Begitu juga yang akan terjadi jika semua orang di dunia ini tidak mematuhi peraturan dan memilih hidup dengan sebebas-bebasnya. Tak akan ada harmoni.

Hanya ada suara sumbang.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top