TWO
Air mata Raline terus menitik tatkala wanita itu duduk di dalam sedan tua yang dikendarai Bayu. Kendaraan itu kotor dan beraroma tembakau. Kaleng-kaleng minuman berserakan bercampur dengan bungkus rokok yang sudah bertahun-tahun tidak dibuang. Tapi, bukan itu yang mengganggu Raline, melainkan tujuan mereka sekarang.
"Berhenti nangis, Line. Lebai banget kamu, seperti orang suci saja. Hal seperti ini, 'kan, satu paket sama pekerjaanmu sebagai penari erotis. Seharusnya kamu senang, klienmu sekarang orang kaya. Sultan yang tinggal di rumah mewah Citraland. Nanti kamu kuberi bagian 30 persen, deh! Itu setara gajimu sebulan sebagai Dancer di Coyote." Bayu melirik Raline melalui sudut mata. Ia heran kenapa wanita itu masih saja menangis.
Raline mengepalkan tangan untuk menahan emosi. "Meski aku adalah penari striptease, aku belum pernah menjual diriku! Aku tidak semurah pelacur-pelacur koleksimu. Belum ada lelaki yang menyentuhku!"
"Apa?" tanya Bayu. Seketika, tawa lelaki bertato itu pecah. "Maksudmu, kamu masih perawan? Astaga, jangan bikin perutku sakit karena ketawa!"
Raline membuang muka, percuma membalas seorang pecandu seperti Bayu. Otak lelaki itu mungkin sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena dipengaruhi zat narkotika. Pikiran Bayu hanya uang dan uang. Tentu saja demi memuaskan hasratnya membeli obat haram.
Sedan tua Bayu terus melaju kencang membawa Raline dalam keputus-asaan. Hanya tinggal tunggu waktu, Raline menyerahkan kesucian pada lelaki hidung belang yang sedang menunggunya.
***
Kepala Raline mendongak untuk mengagumi rumah megah yang ada di hadapannya. Bangunan berarsitektur Eropa klasik dengan pilar-pilar tinggi yang menyangga. Jendela-jendela berukuran besar, menggunakan banyak ornamen yang makin menunjukkan kesan mewah. Selain itu, sinar lampu warm white dari lampu gantung menciptakan nuansa hangat pada hunian tersebut.
Bayu membunyikan bel, tak perlu menunggu lama, Marni membuka pintu. Si pengurus rumah itu memasang wajah datar, sibuk menelisik penampilan Raline dari atas ke bawah.
"Malam, Bi Marni," sapa Bayu cengengesan.
"Siapa namanya?" tanya Marni dingin. Ia mengabaikan salam dari Bayu yang sok akrab.
Raline berdiri mematung, seluruh tubuhnya gemetaran karena takut.
"Raline, Bi Marni. Nama lengkapnya Raline Lara," terang Bayu.
Marni mengangguk, ia lantas mempersilakan Raline masuk, hanya Raline. "Kamu cuma bisa mengantarnya sampai di sini. Selebihnya, aku akan membawanya pada Bapak. Bapak sudah menunggu cukup lama."
"Iya, soal itu, karena ..."
BRAK. Belum tuntas Bayu menyelesaikan kalimat, Marni menutup pintu rapat. Meninggalkan Bayu yang tersenyum kecut di luar.
"Mari ikut dengan saya," ajak Marni.
Raline mengangguk, ia melangkah mengekori Marni. Jantung Raline berdebar kencang karena gugup. Seluruh persendiannya serasa lemah seperti kehilangan tenaga.
Marni menaiki tangga, sementara Raline menyapu pandangan pada tiap sudut rumah yang mirip istana. Keindahan hunian itu justru membuat napas Raline makin sesak, serasa perjalanan menuju neraka.
"Mari masuk." Marni membuka pintu kamar yang terletak paling ujung. Ia menghentikan langkah dan menanti Raline berjalan ke dalam.
Raline tetap bisu, dua bola mata lentiknya memandang Marni penuh ketakutan. Wajah wanita itu pucat tanpa rona sama sekali.
"Saya belum memperkenalkan diri, nama saya Marni, pengurus rumah tangga di rumah Bapak Jeffrey," kata Marni. Ia seolah mampu menangkap kegetiran yang tersirat pada paras cantik Raline.
Raline berusaha tersenyum, walaupun otot wajahnya terasa kaku. "Sa-saya Raline Lara."
"Nama yang cantik," ucap Marni. Ia lalu mengelus lengan Raline yang sedingin es, wanita ini benar-benar gugup, pikirnya. "Nona Raline, silakan mandi dan berendam dulu. Saya sudah persiapkan air hangat dengan busa beraroma lavender. Setelah selesai membersihkan diri, saya akan memberikanmu pakaian untuk bertemu Bapak."
"Tapi, saya sudah mandi sebelum ke sini," sanggah Raline.
Marni mengulas senyum tipis. "Bapak Jeffrey meminta kamu untuk membersihkan diri lagi."
"I-iya," sahut Raline.
Raline pun masuk ke dalam bath room yang berada di dalam kamar. Ia menelan saliva ketika melihat ukuran kamar mandi yang lebih besar dari rumahnya di jalan Putat. Andai saja Raline datang bukan untuk menjual diri, mungkin ia akan menikmati berendam pada bathtub penuh busa dan kelopak bunga yang sudah disiapkan untuknya.
Raline menanggalkan pakaian dan mengikat rambut warna peraknya tinggi-tinggi. Wanita itu kemudian masuk ke dalam bak mandi. Kulit mulusnya tenggelam dalam air hangat yang menenangkan otot. Pada tepian bathtub, segelas sampanye sengaja disediakan untuknya. Tanpa pikir panjang, Raline meminum cairan berkilau tersebut sampai habis. Tanpa sadar, air matanya kembali menitik.
Jeffrey - entah lelaki seperti apa dia. Yang jelas, lelaki itu akan menjadi orang pertama yang merenggut kesuciannya. Semula, Raline pikir, ia akan menyerahkan keperawanan kepada lelaki yang ia cintai. Namun, realitas menyadarkan bahwa orang-orang seperti Raline, tidak pantas memikirkan soal cinta. Uang adalah hal utama, hingga tubuh dan mimpi pun bisa dijual dengan mudah.
Merasa ingin segera menuntaskan pekerjaan, Raline pun keluar dari dalam bak. Kakinya menginjak lantai marmer yang dingin. Ia menyalakan shower dan membilas tubuh hingga bersih. Setelah itu, Raline menutup tubuh telanjangnya dengan jubah mandi yang telah disediakan.
Tangan Raline gamang membuka pintu bathroom. Ia melihat Marni setia menunggu untuk memberikannya pakaian.
"Saya permisi memeriksa tubuhmu, ya," kata Marni.
"Me-memeriksa?" ulang Raline. Perasaan wanita itu makin berkecamuk dan campur aduk.
Marni mengangguk. "Untuk memastikan kamu sehat dan tidak membawa penyakit kulit."
Raline membatu. Ia membiarkan Marni menelisik tiap jengkal tubuh polosnya. Belum pernah Raline merasa teramat malu. Meski, menjadi sexy dancer di klub malam selalu mengumbar aurat, tapi kali ini harga dirinya seolah terinjak. Raline juga sering setengah telanjang di depan klien saat menari striptease, namun kali ini berbeda. Marni sedang memeriksa badannya, menyamakan Raline bak gelas kaca di etalase toko. Barang yang bisa dibeli jika luput dari cacat.
Ya, dia adalah barang. Bukan dipandang sebagai manusia yang punya hati dan pikiran.
"Pakailah gaun satin ini. Jangan bersuara atau bicara kalau Pak Jeffrey tidak meminta. Jangan juga mencoba menyentuhnya, Raline. Biarkan dia menjadi dominan yang menguasaimu. Kamu paham?" tegas Marni.
Raline kembali menangis, air mata meluncur bebas membasahi pipinya yang bersemu merah muda. Raline menggigit bibir bawah untuk menahan isak.
Marni hanya bisa tercenung. Sungguh jarang, pengurus rumah itu menangkap ekspresi kesedihan yang mendalam pada wanita panggilan seperti Raline.
Wajah Raline seputih dan serapuh kapas, membuat rasa iba mendadak menyergap relung Marni. Ini pertama kali Marni merasa tidak tega dalam menghadapi seorang pelacur.
"Tenanglah. Tidak akan terjadi apa pun kepadamu." Marni membalut tubuh Raline dengan jubah mandi.
"Maafkan saya," ucap Raline sembari menghapus air matanya.
Marni menghela napas. Ia mengelus punggung Raline dengan lembut demi menenangkan wanita itu.
Raline kembali melanjutkan, "Saya akan memakai pakaian dan segera menemui Pak Jeffrey. Saya akan berusaha tidak membuat kesalahan."
"Baiklah." Marni memandang Raline dengan lekat. Ada sesuatu yang lain tentang wanita ini.
***
Tubuh Raline gemetar ketika Marni memasang penutup mata untuk menghalangi pandangannya. Selain itu, kedua tangan Raline juga terikat oleh borgol yang membelenggu.
"Apa ini?" tanya Raline gelisah.
"Apa Bayu tidak memberitahumu? Bapak Jeffrey punya aturan main dalam aktivitas seksual yang akan kalian lakukan," terang Marni.
Raline tercekat. "Aturan main?"
"Sudah kujelaskan tadi, bukan? Bapak Jeffrey merupakan dominan dan kamu harus menjadi si submisif. Dengan kata lain, ia merupakan sadomasokis, yaitu pihak aktif yang memberi rasa sakit." Marni memandang tubuh Raline yang gemetaran.
"Dan aku harus diam saja?" tanya Raline lagi.
"Bukankah untuk itu kamu dibayar," bisik Marni. Ia bersiap meninggalkan Raline karena mendengar bunyi ketokan hak sepatu yang bertumbuk pada lantai. "Pak Jeffrey akan segera menemuimu."
Jantung Raline bergemuruh. Ketakutan menguasai setiap inci persendiannya. Ia terbelenggu, tanpa daya. Terlebih, ini pengalaman pertamanya dalam berhubungan intim. Pengalaman pertama yang harus ia lalui dengan lelaki berkelainan seksual.
Bulu kuduk Raline mulai meremang. Sejurus kemudian, terdengar suara pintu yang ditutup dan terkunci. Napas Raline kian memburu. Ia tak bisa melihat apa pun. Wanita itu hanya mengandalkan pendengarannya semata.
"Malam, Lara. Apa kamu sudah membersihkan tubuhmu, sesuai dengan perintahku?" sapa seorang lelaki bersuara berat dan dalam.
Sudah pasti itu Jeffrey.
Sudah tamat di aplikasi BESTORY
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top