TWENTY-THREE

Peluh Jeffrey bercampur dengan sisa air kolam yang masih melembapkan tubuhnya.

Entah sudah berapa lama Jeffrey dan Raline saling bergumul di ranjang. Memainkan beragam posisi, hingga segala jenis toys koleksi. Jeffrey sengaja mengulur-ulur klimaks agar bisa berlama-lama mereguk nikmat dari sensasi erotik.

Kulit kedua gundukan kenyal milik Raline bahkan memerah karena berulang kali merasakan remasan gemas dari tangan Jeffrey. Berbeda dari Jeffrey yang mampu menahan ledakan orgasme, Raline justru tidak sanggup. Tubuh wanita itu sudah dua kali bergetar hebat akibat gelenyar mencapai puncak kepuasan.

Jeffrey juga tidak menghitung seberapa sering Raline meneriakkan namanya dalam erangan. Mereka berdua benar-benar hanyut dalam penyatuan tubuh.

Kejantanan Jeffrey mulai tak sanggup mengulur nikmat. Lelaki itu mengejan dengan rahang yang mengeras. Sebelum memuntahkan cairan klimaks, Jeffrey bergegas mencabut miliknya dari dalam liang Raline. Meski mabuk oleh sensasi bercinta, akal sehat Jeffrey masih jalan. Ia tak mau wanita itu akhirnya hamil karena keteledoran semata.

Mani kental Jeffrey akhirnya tumpah di atas bibir Raline yang merah. Mengotori tiap inci fitur wajah Raline yang semulus porselin.

Jeffrey bernapas berat. Ia mereguk sisa-sisa sengatan nikmat dari hubungan intimnya dengan Raline. Lelaki itu bangkit dari ranjang dan menjulurkan tangan kepada Raline.

"Bisa jalan sendiri?" tanya Jeffrey.

Raline terkikik. "Tentu saja bisa. Kenapa?"

"Kita mandi," sahut Jeffrey. Lelaki itu berdiri di hadapan Raline. Tubuhnya belum tertutup pakaian. Kejantanannya bahkan masih mengacung meski telah mencapai klimaks.

Raline mengangguk seraya menyambut gandengan Jeffrey. Ia memegang rapat buku-buku jari lelaki bertubuh tinggi itu. Hanya telapak Jeffrey-lah yang mampu Raline sentuh dengan kulitnya. Telapak tangan lebar nan hangat yang ingin Raline genggam --- seumur hidup.

Kamar bermain memiliki bathroom pribadi yang dilengkapi bathtub mewah berbentuk bundar. Jeffrey memutar kran air hangat dan menuangkan sabun beraroma tematik. Ia lantas masuk ke dalam dan duduk dengan nyaman.

"Masuklah," ucap Jeffrey. Kedua sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas.

Senyum Jeffrey berhasil membuat Raline meleleh. Meski mereka sudah beberapa kali bercinta, Raline masih saja salah tingkah saat berada di dekat Jeffrey. Apa lagi jika lelaki berewok itu menatap dengan sorot matanya yang tajam dan pekat.

Secara perlahan, Raline bergabung dengan Jeffrey. Ia bingung harus memposisikan tubuh di mana. Jeffrey seakan menyadari hal tersebut.

"Duduklah membelakangi. Di sini," terang Jeffrey sambil menunjuk pangkuannya.

"Iya." Jantung Raline berdegup kencang. Jeffrey mempersilakannya untuk menyandarkan punggung di dadanya.

Setelah Raline menjatuhkan bokong, jemari Jeffrey lembut mengusap helai demi helai rambut peraknya. Mata Raline memejam untuk menikmati pijatan dari tangan Jeffrey yang sangat menenangkan.

"Apa arti dari buku yang kubaca tadi?" tanya Raline.

"The Raven?" sahut Jeffrey berbalik tanya.

Raline menganggukkan kepala pelan. "Iya. Buku itu."

"Kamu tidak tahu artinya?" Jeffrey mengusap tengkuk Raline yang putih. Kulit wanita itu berkilauan oleh busa sabun.

"Aku tidak pandai bahasa Inggris," ujar Raline. "Apa itu cerita tentang burung?" Ia masih mengingat sampul buku yang bergambar burung berwarna hitam.

Jeffrey menahan tawa. Raline begitu polos --- menggemaskan. "Tentang burung?" gumamnya. "Memang waktu di sekolah tidak diajari bahasa Inggris?"

"Diajari. Tapi, aku tidak begitu pandai," aku Raline.

"Kamu dulu kuliah jurusan apa?" Jeffrey beralih mengintrogasi Raline karena penasaran.

Raline menggeleng dan menengok ke belakang. "Aku cuma sampai SMA," jawabnya.

Tatapan mereka beradu. Jeffrey terkesima oleh bola mata cokelat milik Raline yang begitu bening. Namun, lelaki itu sangat pintar menyembunyikan perasaan.

"Sampai SMA saja? Kenapa tidak kuliah?" tanya Jeffrey lagi.

Raline beralih menghadap lurus ke depan. Ia membiarkan Jeffrey kembali memanjakannya dengan pijatan. "Enggak punya uang. Lagi pula kata bapak kuliah itu buang-buang waktu. Aku seharusnya mulai bekerja dan menghasilkan uang sendiri."

"Bayu tidak menafkahimu?"

"Jarang. Apa lagi waktu aku lulus SMA Sintia mulai masuk SD. Jadi, aku harus cari kerja buat bayar SPPnya," kata Raline.

Dahi Jeffrey berkernyit. "Sintia?"

"Adikku, Sintia," jawab Raline.

"Dia anak dari ibumu dan Bayu?" selidik Jeffrey.

"Iya. Saat melahirkan Sintia, ibuku meninggal. Sejak itu aku merawat Sintia menggantikan ibu. Syukurlah banyak tetangga yang ikut bantu. Sintia itu pintar. Tidak sepertiku yang agak lambat," ujar Raline. Ia terkikik sendiri disela ceritanya.

Hati Jeffrey mencelus. Raline mengisahkan hidup sengsaranya dengan raut bahagia. Seolah ia menikmati segala nestapa yang harus dijalani.

"Bukan kewajibanmu untuk merawat Sintia, Raline. Itu urusan Bayu. Dia, 'kan, ayah kandungnya," dengkus Jeffrey.

Raline menoleh ke belakang. "Mana bisa gitu?" sanggahnya. "Lagi pula aku sayang Sintia. Dia satu-satunya keluargaku. Bagian dari ibu yang hadir untuk menemaniku."

Jantung Jeffrey berdegup lebih cepat. Ia memalingkan muka untuk menghindari sorot Raline yang berkilat.

"Apa gara-gara adikmu itu kamu jadi terikat dengan Bayu?"

Raline menahan napas dan memilih tidak menjawab.

Jeffrey mengulang pertanyaannya. "Betul begitu?"

"Mungkin," bisik Raline nanar.

Rasa bersalah menyergap relung Jeffrey. Peristiwa ketika Raline memohon padanya dengan muka babak belur berkelindan di memori. Andai saja kala itu Jeffrey memilih membantunya.

"Lalu ..." kata Jeffrey gamang. "Saat dulu mukamu memar dan biru, apa Bayu yang melakukannya?"

"Ah, itu lama berlalu. Aku bahkan sudah lupa ..." kelit Raline.

Jeffrey belum mendengar jawaban dari Raline. "Kenapa dia melakukan itu?" burunya.

Raline terdiam sesaat. Ia tertunduk seraya mengusap kulit tangannya dengan air sabun.

"Karena aku mengajak Sintia pergi dari rumah," jawabnya. "Tapi bapak akhirnya menemukan keberadaan kami."

Jeffrey menatap Raline dengan iba. Namun sekali lagi, ia tak ingin menunjukkan perasaannya.

Jeffrey kembali mengusap punggung Raline. Memberikan tekanan pelan untuk mengurangi ketegangan di otot-otot Raline yang kaku.

"Bagaimana dengan ibumu? Dia sangat menyayangimu, ya?" tanya Jeffrey.

"Mungkin ..." bisik Raline.

"Mungkin?" Dahi Jeffrey berkerut.

"Ibu sibuk bekerja. Aku lebih sering sendirian. Kalau pun ibu berada di rumah, dia pasti melayani tamu di kamar," terang Raline.

"Ibumu kerja apa?"

Raline berdeham. "Ibu ... dia ..." Kalimatnya menggantung.

Pelacur. Jeffrey sudah bisa menebak sebelum Raline menjawab. Lelaki itu memilih untuk tidak mengorek lebih dalam lagi.

Jeffrey kini paham. Raline tumbuh di lingkungan lokalisasi karena ibunya merupakan salah satu wanita tuna susila. Semua makin masuk akal, mengapa mendiang ibunya memilih menikah dengan lelaki bajingan macam Bayu. Itu semua karena Bayu adalah makelar yang memasarkan ibu Raline. Mereka berada dalam satu lingkaran yang sama.

Hidup memang kadang kejam dan pedih

Mana ada orang yang ingin terlahir sebagai anak dari pelacur atau germo? Hanya saja, Tuhan itu adil. Kekayaan tidak pasti membuat seseorang bahagia. Buktinya, Jeffrey yang terlahir bergelimang harta tetap saja merasa kekurangan. Kurang kasih sayang.

Tidak peduli kaya atau miskin --- peran orang tua itu penting. Raline terbiasa hidup dalam kesepian di tengah keramaian. Begitu pula dengan Jeffrey. Mereka sama-sama menyimpan luka mendalam. Mungkin --- takdir itulah yang mempertemukan keduanya.

"Ini pertama kali dalam hidupku merasa diperhatikan," imbuh Raline.

"Diperhatikan?" tanya Jeffrey.

Raline mengangguk dan lagi-lagi menengok ke belakang. "Sebelumnya, tidak ada yang memperhatikan dan membutuhkanku seperti kamu, Jeff."

Jeffrey terhenyak. Ia masih memungkiri benih asmara yang mulai tumbuh. Baginya, Raline hanya sekedar budak pemuas nafsu belaka.

"Aku tidak memperhatikanmu. Ini hanya bentuk dari ucapan terima kasih tuan kepada budaknya. Kamu harus paham akan hal itu Raline. Jangan terlalu naif," sanggah Jeffrey.

Mimik wajah Raline berubah sendu. "Oh, begitu ..." gumamnya.

"Ya." Jeffrey menggumam. "Oh iya. Kamu tadi bertanya soal buku yang kamu baca, 'kan? Itu bukan berisi soal burung, melainkan kumpulan puisi karya Edgar Allan Poe." Ia mengalihkan pembicaraan.

"Puisi?" Kedua alis Raline bertautan.

"Edgar Allan Poe adalah penulis asal Amerika. The Raven sendiri berarti 'Sang Gagak', tetapi bukan berati kisah mengenai burung. Kamu tahu kalau burung gagak selalu identik dengan kematian, bukan?"

Raline mengangguk. "Lalu?"

"Sang Gagak di puisi itu sebagai manifestasi dari perwujudan Malaikat Pencabut Nyawa. Intinya, puisi itu mengingatkan bahwa kematian merupakan siklus alami yang pasti terjadi pada setiap manusia," terang Jeffrey.

Raline membalikkan badan untuk berhadapan dengan Jeffrey. Ekspresinya menyiratkan keingin-tahuan yang tinggi.

"Jadi itu tentang kematian?" tanya Raline.

Jeffrey mengangguk. "Iya. Tentang kesedihan seorang pemuda karena kematian kekasih yang amat ia cintai. Lenore. Lalu saat tengah malam, seekor burung gagak mendatangi rumahnya dan mengajaknya bercakap-cakap. Pemuda itu menceritakan semua rasa pedihnya pada Sang Gagak. Hingga pada akhirnya, ia akhirnya sadar, gagak itu datang untuk menyampaikan pesan bahwa kematian akan menghampiri pemuda tadi."

Alis Raline berkernyit. Wajah mungilnya tampak gusar dan getir. "Jadi dia mati?"

"Bisa dibilang begitu. Tergantung bagaimana menginterpretasikannya saja." Jeffrey tersenyum tipis.

Raline tertunduk lesu.

Jeffrey kembali melanjutkan, "Kenapa? Kamu takut akan kematian?" selidiknya.

"Tidak." Raline menggeleng.

"Lalu?"

"Aku hanya merasa memahami kesedihan pemuda tadi. Aku tidak takut kematian. Tetapi, aku takut ditinggalkan oleh orang yang kucintai. Rasa sakitnya pasti begitu menyiksa. Kurasa, akan lebih baik aku yang pergi terlebih dahulu. Ketimbang harus mengalami kepahitan karena kepergian kekasih hati," ujar Raline.

Napas Jeffrey seakan berhenti. Ia belum pernah bertemu dengan seorang wanita berhati murni seperti Raline. Semua kalimat yang terucap dari bibir mungil wanita itu --- menggetarkan hatinya.

"Memang sekarang kamu takut ditinggal pergi oleh siapa?" tanya Jeffrey lagi.

Raline menengadahkan kepala. "Kamu," sahutnya.

Mata Jeffrey dan Raline bertautan. Bibir Jeffrey kelu --- terkunci rapat tanpa kata.

KRUUUUKUUUK.

Raline salah tingkah sambil memegang perut. Di saat begini, bisa-bisanya perutnya malah keroncongan.

Jeffrey meringis geli. "Kamu lapar?"

Raline tersipu malu.

"Ayo kita makan," kata Jeffrey. Seutas senyum terukir pada bibir yang dikelilingi oleh janggut kasar miliknya. Ia memandang Raline --- secara berbeda.

Hola, DARLS!

KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.

Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top