TWENTY-SEVEN

"Aku tidak akan berhenti meski kamu memohon."

Jeffrey tidak pernah sesumbar dengan perkataannya. Lelaki itu menghunjam lorong basah Raline menggunakan miliknya yang perkasa. Raline bahkan setengah berteriak karena Jeffrey tak berniat melakukannya dengan lembut. Tusukan demi tusukan kasarnya berhasil memporak-porandakan pertahanan Raline hingga berkali-kali.

Lutut Raline gemetaran saat Jeffrey memposisikan tubuhnya untuk menungging. Mereka sudah bercinta lebih dari satu jam. Namun, Jeffrey belum berniat mengakhiri semua.

Semula Raline pikir ia akan pingsan karena klimaks berkali-kali. Tapi dugaan Raline salah. Jeffrey selalu punya cara untuk kembali membangkitkan hasratnya.

Tubuh mereka berdua telanjang. Pakaian berserakan terhampar di lantai. Kulit bertemu kulit. Raline dan Jeffrey berbagi kehangatan dengan cara yang liar. Mereka tak memedulikan apa pun kecuali kenikmatan satu sama lain.

Satu tangan Jeffrey menyusup ke bawah untuk meremas gundukan bulat Raline. Sementara tangan lainnya meraba-raba titik sensitif yang tersembunyi antara lipatan bibir kewanitaan. Ah, Jeffrey sangat menyukai posisi ini. Dengan Raline yang menungging membelakangi, Jeffrey bisa bebas memainkan tangannya ke mana pun.

Raline pun sama.

Jemari Jeffrey yang memilin puncak dada semakin menambah sensasi berkedut di liangnya. Ia bahkan berharap Jeffrey memijat bongkahan kenyalnya lebih keras dan kasar. Raline juga begitu menikmati ketika lelaki itu menarik putingnya gemas.

Jeffrey terus menggosok titik sensitif Raline tanpa berhenti. Lelaki itu makin beringas ketika panggul Raline mulai menggelinjang kegelian.

"Jeff, aku merasa sangat ... geli ..." erang Raline.

Bibir Jeffrey menyeringai. Ia semakin mempercepat gerakan. Tusukan dari kejantanannya semakin dalam dan cepat. Ia merasa pergumulan mereka sudah berlangsung cukup lama. Kelelakiannya tak lagi sanggup menunda klimaks.

Tubuh Raline gemetar hebat. Cairan dari lorongnya tumpah dan meleleh membasahi paha dalam. Wanita berambut perak itu merintih seraya meresapi nikmat untuk kesekian kali.

Gerakan Jeffrey makin tak terkendali. Ia menggeram dengan rahang yang mengeras. Sungguh, ingin sekali memuntahkan cairan kentalnya ke dalam liang sempit Raline. Namun lelaki itu ingat mereka tak menggunakan pengaman sama sekali. Jeffrey mengendalikan diri di sela kenikmatan memabukkan yang melanda. Ia pun mencabut miliknya dan menyemburkan semen ke atas bokong Raline yang bulat.

Raline dan Jeffrey pun mereguk sisa-sisa kepuasan sambil berbaring di atas sofa.

Jeffrey melirik wanita yang tertidur tengkurap di sebelahnya, hati lelaki itu bergetar. Perasaan aneh yang membuat detak jantung berdegup kacau. Selain itu, lambungnya terasa dipenuhi sekumpulan serangga. Untuk mengalihkan debaran, Jeffrey memungut buku yang semula Raline genggam saat tidur.

Sitti Nurbaya. Jeffrey membaca dalam hati.

"Ini buku yang kamu baca?" tanya Jeffrey.

Mata Raline yang semula terpejam mendadak terbuka. Ia masih bertahan dalam posisi tengkurap --- menyembunyikan payudara dan kewanitaan yang masih tanpa balutan.

"Ya. Banyak yang berbahasa Inggris, aku enggak ngerti artinya. Jadi aku ambil buku itu," sahut Raline.

Jeffrey berpindah duduk ke bawah. Ia santai melipat kaki meski telanjang badan. "Coba ceritakan padaku tentang isi buku ini. Bagaimana ceritanya."

"Ehm," gumam Raline. Ia memiringkan tubuh mendekati Jeffrey. "Sebenarnya, aku tidak serius membacanya. Apa lagi kata-katanya sulit kumengerti."

"Jadi ini penyebabmu mengantuk?" ledek Jeffrey.

Raline tersipu salah tingkah. "Entahlah ... Aku memang terlahir bodoh. Tiap kali dekat-dekat buku malah mengantuk." Ia terkikik.

"Siapa yang bilang kamu bodoh?" tanya Jeffrey.

"Ibuku. Kemudian guru-guru waktu di sekolah dasar juga bilang begitu," jawab Raline tak acuh.

Jeffrey berdecak. "Tidak ada orang yang terlahir bodoh atau ditakdirkan bodoh. Kepandaian dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang diusahakan, Raline. Kamu tidak boleh membiarkan perkataan orang mempengaruhimu dalam menilai diri."

Raline terdiam seraya memandang wajah Jeffrey lekat-lekat. Setiap hari, rasa cintanya pada lelaki itu kian bertambah. Hanya Jeffrey yang memperlakukannya --- istimewa.

"Baiklah," sahut Raline.

"Aku mau kamu banyak membaca. Menambah wawasan dari buku atau dari mana saja. Paham?" Jeffrey menoleh menatap Raline. Mata keduanya saling beradu.

Raline mengangguk malu. "Tapi, kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa. Supaya kamu nggak gampang dibodohi saja." Jeffrey berucap pelan. Ia lalu menunjuk buku di tangannya. "Jadi, kamu benar-benar tidak tahu isi buku ini?"

"Tidak. Kurasa itu tentang kisah seorang penyanyi. Bener, enggak?" kata Raline.

Dahi Jeffrey berkernyit. "Penyanyi?"

"Penyanyi asal Malaysia itu. Sitti ..."

Jeffrey menepuk jidat. "Itu Siti Nurhaliza, Raline Lara. Demi Tuhan!"

"Oh, beda?" Raline cekikikan seraya memegang perut.

Jeffrey bergeleng seraya mendecak. Entah apa yang membuatnya tertarik kepada Raline. Wanita berambut perak itu memang konyol.

"Sitti Nurbaya merupakan novel karya Marah Rusli yang terbit pada tahun 1922. Novel ini bercerita tentang kasih tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri," ujar Jeffrey.

"Kasih tak sampai?" ulang Raline. Matanya membulat seraya memandang ke arah sampul buku. "Kenapa?"

Jeffrey menarik kedua sudut bibir ke atas. Ia menyukai keingin-tahuan Raline yang tinggi. Sebenarnya, Raline tidak bodoh. Ia hanya bernasib sial karena mendapat pendidikan yang kurang mumpuni saja.

"Samsul Bahri dan Sitti sama-sama keturunan kaya dan terpandang. Mereka sama-sama saling suka semenjak duduk di Sekolah Rakyat. Namun, Samsul Bahri akhirnya harus merantau ke Jakarta atau Batavia untuk meneruskan sekolahnya," jelas Jeffrey.

"Terus?"

"Saat perpisahan mereka, keluarga Sitti Nurbaya terkena musibah. Sulaiman, ayah Sitti ditipu oleh pengusaha licik bernama Datuk Maringgih. Sulaiman bangkrut dan terjerat banyak utang. Datuk Maringgih mengancam akan memasukkan Sulaiman dalam penjara. Tapi Datuk akan berubah pikiran jika Sitti mau menikah dengannya. Atas kesadaran sendiri, Sitti pun menyanggupi dan menerima pinangan dari Datuk Maringgih ..."

Mata Raline yang semula berkilat berubah sendu dan berkaca-kaca. Dengan saksama ia mendengarkan Jeffrey mendongeng. Ketika akhirnya Jeffrey sampai di bagian meninggalnya Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya, air mata wanita itu menitik. Tangisnya makin sesak setelah mengetahui Sitti Nurbaya pun merenggang nyawa. Begitu pula dengan Samsul Bahri yang tewas di medan perang.

Raline memunggungi Jeffrey seraya menutup mukanya. Bahu wanita itu turun naik akibat sesegukkan.

"Hei," tegur Jeffrey. "Kenapa?"

Raline menggelengkan kepala.

Jeffrey berinsut dan mengelus punggung Raline. "Kamu menangis?" Ia sedikit tertawa, tapi juga bercampur rasa tidak tega.

Raline lagi-lagi bergeleng. Ia masih menyembunyikan wajah dari Jeffrey.

"Raline ..." bujuk Jeffrey mengusap kepala wanita berambut perak itu. Ia memandang Raline penuh kasih. Tidak mengira sebuah cerita novel mampu menghancurkan hati seorang Raline Lara dengan mudah.

"Kenapa mereka nggak bisa bersama dan malah mati? Kenapa?" isak Raline.

Jeffrey menghela napas. "Terkadang ... tidak semua keinginan manusia akan sejalan dengan realita. Novel ini menggambarkan kondisi adat Minangkabau pada saat itu. Lalu dijabarkan juga tentang sifat manusia yang terbagi dua, yakni jahat dan baik."

"Tapi kenapa harus begitu menyedihkan?" Raline menghapus air matanya.

Jeffrey berpikir sejenak. "Mungkin sebagai sindiran satir kalau utang selalu membawa dampak buruk bagi setiap orang. Dan kali ini, Marah Rusli menuangnya dalam kisah romantis tragis."

Raline membenarkan perkataan Jeffrey. Utang memang selalu membawa nestapa. Ia pribadi mengalami, harus menjual diri karena utang budi.

"Utang menyeretku dalam lingkaran prostitusi," gumam Raline.

"Kamu berutang apa pada Bayu? Bapak tirimu itu," selidik Jeffrey.

Mata Raline menerawang jauh. "Bapak menanggung banyak kerugian karena sempat kehilanganmu sebagai klien potensialnya. Semua gara-gara aku yang salah dalam melayanimu. Aku tidak jujur soal keperawananku padamu. Semula, aku pikir kamu tidak masalah mendapatkan seorang perawan sepertiku."

"Bayu mengancammu dengan cara itu? Kamu bisa menolak, Raline."

Raline melirik Jeffrey. "Aku pernah bilang bukan hanya karena itu. Sekarang bapak makin menjeratku karena sadar aku memiliki potensi untuk menghasilkan banyak uang. Ia menggunakan Sintia untuk mengikatku. Bapak tidak pernah sesumbar kalau bicara. Aku yakin seratus persen ia tak sekedar mengancamku."

"Profesinya saja sudah riskan. Lalu, dia sekarang mau menjual anak kandungnya yang masih di bawah umur? Hukuman yang menjerat Bayu bisa berlapis-lapis. Pikirkan untuk melaporkan Bayu ke pihak berwajib," dengkus Jeffrey.

Raline tersenyum getir. "Tak semudah itu, Jeff. Aku yakin bapak punya koneksi. Waktu aku kabur dari rumah, ia dengan mudah menjebloskan temanku ke penjara. Bapak juga berulang kali tertangkap saat razia, tapi esoknya dia keluar seolah nggak terjadi apa-apa."

Jeffrey terdiam. Masalah yang menimpa Raline memang pelik. Ia sendiri tidak ingin terlalu ikut campur dan terjerumus terlalu dalam. Meski, kepeduliannya kepada Raline teramat besar.

"Aku takut bapak akan memanfaatkanmu, Jeff," imbuh Raline.

Dahi Jeffrey berkernyit. "Maksudnya?"

"Mengeruk uang darimu agar bisa menemuiku. Dia sendiri yang bilang akan mematok tarif tinggi sebagai bayaran karena telah mem-booking-ku," terang Raline.

"Sudahlah. Soal itu tak usah kamu pikirkan. Jumlah uang yang diajukan Bayu telah kusepakati." Jeffrey membuang muka.

"Berapa kamu membayarnya?" selidik Raline.

"Kamu tidak perlu tahu." Jeffrey mengalihkan pembicaraan. "Setelah mendengarkan ceritaku, apa kamu punya pandangan lain soal cerita ini?"

"Sitti Nurbaya?" Raline beringsut bangun dari tidur. Ia menegakkan badan sambil bersila. Kedua gundukan kenyalnya menggantung sempurna.

Jeffrey memalingkan netra dari sosok Raline. Padahal mereka baru saja selesai bercinta, namun tubuh wanita itu lagi-lagi memancing nafsu Jeffrey.

"Ya. Memangnya tentang apa lagi," sahut Jeffrey.

"Aku merasa dari dulu wanita selalu dipandang sebagai komoditas. Datuk Maringgih adalah contoh dari lelaki kolot yang mengedepankan patriarki. Sementara Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya adalah dua orang berpikiran terbuka. Apa mungkin ada pengaruhnya karena mereka menyenyam pendidikan dan cara berpikir orang Belanda?" ujar Raline.

Jeffrey terkagum dalam hati. Raline mengecap diri sebagai wanita bodoh. Wanita ini sama sekali tidak bodoh, justru ia teramat cerdas.

"Betul." Jeffrey menganggukkan kepala. "Semua jadi dilematis karena pada saat itu Belanda adalah kaum yang menjajah negeri kita."

"Samsul Bahri juga berperan dalam menuntaskan pembangkang yang memberontak pihak kolonial, bukan?" selidik Raline.

Jeffrey lagi-lagi mengangguk setuju. "Dia bisa disebut sebagai pahlawan, tetapi sekaligus penghianat bangsa."

"Hmm ..." Raline bergumam seraya menyiratkan ekspresi sedang berpikir. "Jadi, seharusnya bagaimana?"

"Ya enggak gimana-gimana. Menurutku adalah sebagai manusia kita harus hidup sesuai dengan kehendak nurani dan kepercayaan kita. Jangan terlalu memikirkan kata-kata orang. Paham?" kata Jeffrey.

"Kamu bisa berkata begitu karena memiliki semuanya, Jeff. Bagaimana dengan orang-orang kalangan bawah yang kehidupannya diatur oleh pangkat yang lebih tinggi? Tindakannya pun dipecut oleh norma yang berlaku," sanggah Raline.

Jeffrey memandang Raline lekat-lekat. Ia kemudian tersenyum lebar. "Sudah kubilang kalau tidak ada orang terlahir bodoh. Kamu contohnya. Pemikiranmu kritis, Raline. Lebih banyaklah membaca dan belajar. Setelah itu, kita bisa mendiskusikannya."

"Boleh aku melakukan itu?" Raline berbinar.

"Tentu saja. Ada aku dan Bibi Marni yang akan membantumu. Kamu bebas menggunakan perpustakaanku. Kamu juga boleh menonton film apa pun yang ada di sini. Belajar tidak hanya lewat buku. Melalui film, internet, atau dari mana saja juga bisa." Jeffrey bangkit dari duduk dan meraih pakaiannya.

"Terima kasih, Jeff." Raline mendongak dan mengekori pergerakan Jeffrey.

"Oh ya, satu lagi. Aku minta kamu menemui dokter kandungan untuk meminta resep pil kontrasepsi," imbuh Jeffrey.

Dahi Raline berkernyit. "Kenapa begitu?"

"Kita rutin berhubungan intim. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kamu mengerti, kan?"

Raline menghampiri Jeffrey. "Maksudmu ... kamu akan menjadikan aku satu-satunya wanita yang kamu ajak bercinta, Jeff?" tanyanya.

Jeffrey memasang celana dan kemeja.  Ia menggerakkan kepala yang mengakibatkan bibir Raline mengembang. Jeffrey memang menjadikannya sebagai satu-satunya.

"Pakai pakaianmu. Kita makan. Ini sudah larut. Tidurlah di sini. Tidak usah pulang," kata Jeffrey.

Raline menyambar kaus dan skirt-nya. "Bagaimana kalau besok staf rumah melihat keberadaanku?"

"Biar saja." Jeffrey membuka pintu ruang perpustakaan dan bersandar pada sisi kusen. Ia menyorot Raline dengan tatapan berbeda.

Jantung Raline berdegup tak karuan. Keberadaannya di rumah bukan lagi aib bagi Jeffrey. Hati wanita itu berbunga-bunga. Ingin sekali ia menghambur memeluk Jeffrey. Tapi, tidak mungkin.

Jeffrey kembali melanjutkan, "Lusa aku ke Jakarta. Untuk sementara, jangan merindukanku."

Hola, DARLS!

KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.

Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top