TWENTY-FIVE

Raline tersenyum lebar saat memandang ekspresi kegirangan Sintia. Adiknya itu begitu lahap memakan steak yang ia bawa pulang dari rumah Jeffrey. Meski, sudah tidak seberapa hangat lagi --- rasanya tetap nikmat.

"Suka?"

Sintia mengangguk. "Suka banget, Mbak. Mbak beli di mana?" tanyanya.

"Ini ... Mbak beli di ... restoran dekat tempat kerja Mbak, Sin," kelit Raline.

"Mbak sama bapak kerjanya apa, sih? Aku tanya dari dulu enggak pernah dijawab, deh," selidik Sintia.

Raline menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal. "Kerja dalam bidang jasa," sahutnya.

"Jasa apa?" Sintia memang seorang anak yang punya keingin-tahuan tinggi.

"Kamu mending cepat habiskan, deh. Kalau dingin nanti tidak enak," alih Raline.

Sintia mengangguk. "Iya, Mbak. Terima kasih, ya."

"Ih, kok tiba-tiba bilang makasi, Sin?" Raline terkikik geli.

"Ya, soalnya Mbak selalu ingat bawakan aku oleh-oleh tiap pulang kerja," kata Sintia. Ia melahap daging panggangnya dengan rakus dan impulsif.

Kedua sudut bibir Raline membentuk sebuah tarikan melengkung ke atas. "Tentu saja ingat, Sin. Kamu, 'kan, satu-satunya adik kesayanganku," ucapnya.

***

Sebelum pergi tidur, Raline memandangi potret mendiang ibunya. Ia mengambil pigura tersebut dan mengulas getir. Wajah ibunya sangat cantik saat tersenyum lebar. Itu foto satu-satunya yang Raline punya --- diambil ketika mereka bertamasya ke THR berdua saja.

Dulu, Raline pikir menjadi dewasa akan memudahkan segalanya. Ia bahkan sudah bercita-cita akan mengumpulkan banyak uang selepas lulus sekolah nanti. Tujuannya satu, ingin membahagiakan ibu. Namun, suratan takdir berkata lain.

Raline mengusap gambar ibunya dengan jemarinya yang lentik. Bulir air mata jatuh menitik ke atas kaca pigura. Bu, ada seorang lelaki yang begitu baik padaku. Apa boleh aku jatuh cinta padanya?

***

"Raline!" Marni menyambut Raline dengan suka-cita.

Jeffrey bilang, Raline boleh datang kapan saja. Asal di atas jam lima sore --- setelah para staf dan pembantu sudah pulang.

"Jeffrey belum pulang?" tanya Raline.

Marni menggeleng. "Belum. Biasanya dia pulang malam tapi kadang-kadang pulang sore. Tidak menentu."

"Oh ..." gumam Raline sedikit kecewa.

Marni merangkul Raline sambil berjalan. "Kamu bisa menunggunya di perpustakaan kalau mau. Pak Jeffrey berpesan padaku kalau kamu harus lebih banyak membaca. Katanya, dia akan menanyaimu tentang buku yang kamu baca."

"Dia bilang begitu?" Raline menelan saliva. Belajar bukan hal yang ia kuasai.

"Kalau lelah, kamu bisa menyalakan televisi dan menonton. Jangan terlalu dibuat stres. Kamu tahu Pak Jeffrey memang selalu bersikap tegas dan disiplin. Tetapi, aslinya hatinya lembut," ujar Marni.

Mata Raline membulat. Penjelasan Marni semakin menambah rasa cinta Raline untuk Jeffrey.

"Bibi bersama Jeffrey sejak kapan?"

Marni mengingat-ingat. "Kapan, ya? Bibi lupa. Yang jelas sebelum dia masuk sekolah, Bibi sudah bekerja untuk keluarga Pak Jeffrey."

"Oh, pantas Jeffrey dan Bibi begitu akrab." Raline terdiam. Sebenarnya ia amat penasaran, mengapa Marni seakan-akan santai dengan kebiasaan Jeffrey yang gemar menyewa wanita.

Marni menerawang jauh. "Yah, begitulah ..." Ia menghela napas.

"Ehm, Bibi tidak keberatan soal ..." Kalimat Raline menggantung karena ragu.

"Soal apa, Line?" selidik Marni.

"Anu ... ehm," gumam Raline. "Soal aku ... soal wanita-wanita sebelumku."

Marni tersenyum tipis. "Hmm, soal itu."

Tentu saja Marni keberatan. Namun, rasa sayang kepada Jeffrey mengalahkan marahnya. Lagi pula, Jeffrey telah banyak memendam luka. Ia hanya ingin selalu menemani sang tuan muda demi membayar rasa bersalah. Rasa bersalah karena kurang peka terhadap pelecehan yang dialami Jeffrey semasa kecil. Marni-lah yang setiap hari mengantar jemput Jeffrey sekolah. Ia merasa telah bersumbangsih dalam membawa Jeffrey lembah nestapa.

Raline mendadak salah tingkah. "Bi, maafkan saya. Saya lancang tanya-tanya soal begitu. Lebih baik tidak usah dijawab!"

"Tidak apa-apa, kok, Line. Rasa penasaranmu itu wajar. Mau bagaimana pun, apa yang dilakukan Jeffrey memang salah. Melanggar norma dan moral. Sebagai orang paling tua di rumah ini, harusnya Bibi mengingatkan Pak Jeffrey. Namun, seberapa lama pun Bibi dan Pak Jeffrey bersama, ia tetap bos Bibi. Bibi tidak ada hak untuk mengatur hidupnya," terang Marni.

"Iya, Bi," sahut Raline pelan.

"Tapi sekarang Bibi senang. Semenjak bertemu kamu, Jeffrey tidak lagi hobi mem-booking wanita. Bibi harap hubungan kalian selamanya baik-baik saja," kata Marni.

"Bibi ...?" Mata Raline berkaca. "Bibi tidak jijik dengan profesiku? Walaupun belum pernah melayani pelanggan selain Jeffrey, aku tetap saja seorang ..."

Marni memutar handle pintu. "Ayo, masuk, Line," ucapnya. Ia berpura-pura tidak acuh dengan perkataan Raline. Bagi Marni, masa lalu Raline tidak penting.

"Iya, Bi." Raline memasuki ruangan persegi panjang yang dipenuhi oleh rak-rak buku.

Ruangan itu memiliki jendela-jendela lebar yang mengelilingi dindingnya. Buku-buku tersusun rapi dalam rak --- nyaris tanpa debu. Tepat di depan jendela paling ujung, terletak coffee table dan sofa empuk sebagai tempat membaca. Sementara televisi berada di hadapannya.

Raline yang anti-membaca merasa matanya berat begitu berada di dalam. Baginya, buku-buku adalah senjata paling ampuh untuk mengundang kantuk.

"Aku akan meninggalkanmu di sini," ujar Marni. "Kalau butuh apa-apa, aku ada di dapur, Line."

Raline mengangguk. "Iya, Bi."

Andai bukan Jeffrey yang memberinya tugas, ia pasti sudah merebahkan badan ke atas sofa lawson berwarna cokelat yang terletak di depannya. Raline menghela napas dan mulai menyusuri rak.

Matanya terbelalak karena hampir semua buku yang ada berbahasa asing.

"Waduh ..." decak Raline berulang kali.

Wanita berambut perak itu terus mencari buku yang bisa ia pahami. Matanya melotot saat akhirnya menemukan sebuah buku berbahasa Indonesia.

"Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai? Marah Roesli?" bisik Raline bicara sendiri.

Ia lantas membawa buku tersebut menuju tempat duduk. Raline merebahkan badan sambil membaca buku dengan serius. Pada halaman pertama hingga kelima, Raline masih fokus mengeja kata. Namun memasuki halaman ke sepuluh, mata wanita itu mendadak berat.

Raline membolak-balik sampul buku. "Ini tahun berapa, sih? Bahasanya sangat sulit kumengerti!" dumalnya.

Ia akhirnya menggeletakkan buku ke atas perut dan mulai memejamkan mata. Sangat nyaman ketika tertidur tepat ketika mengatuk begini. Raline meringis. Ia mendadak tersentak karena ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Panggilan dari Jeffrey?!

"Ha-halo?" angkat Raline.

"Ngantuk, ya?" tanya Jeffrey dari seberang.

Raline belingsatan. Jeffrey mungkin manusia super yang punya indera ke-enam. "Nggak, kok. Aku lagi baca buku. Seperti pesanmu," kelitnya.

"Kamu pikir kenapa aku minta Bibi mengantarmu ke perpustakaan?" Jeffrey terkekeh.

"Karena kamu mau aku baca buku, 'kan?" sahut Raline.

"Itu alasan kedua. Alasan pertamanya adalah agar aku bisa mengawasimu, Raline Lara," ungkap Jeffrey. Ia menahan tawa karena sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Raline melalui ponsel.

"Huh? Maksudmu? Kamu sudah pulang? Kamu di mana?" cecar Raline.

"Aku masih di kantor," jawab Jeffrey. "Pada ruang perpustakaan terpasang CCTV yang terhubung langsung ke ponselku. Aku dari tadi menontonmu dari sini."

Mata Raline terbelalak. Ya Tuhan, dari tadi Jeffrey mengawasiku? Untung saja ia tidak bersikap memalukan, kentut atau mengupil misalnya.

"Kamu tahu kalau itu termasuk stalker," sungut Raline.

Jeffrey terkekeh. "Stalker? Di rumahku sendiri?" sahutnya.

"Baiklah, aku memang salah. Aku tidak patuh terhadap tugasmu. Aku bersedia menerima hukuman." Raline mengulum senyum. Hukuman dari Jeffrey merupakan sesuatu yang ia tunggu-tunggu.

"Kali ini aku tidak akan menghukummu," kata Jeffrey.

Raut muka Raline berubah muram.

Jeffrey kembali melanjutkan, "Tapi aku akan membantumu menghilangkan rasa kantuk dan bosanmu."

"Bagaimana caranya?" selidik Raline.

"Aku ingin kamu duduk di sofa dan membuka lebar kedua pahamu. Kemudian, sentuhlah milikmu menggunakan jari."

Raline melotot. "Aku belum pernah melakukan itu sebelumnya," elaknya salah tingkah. Mana mungkin ia bisa menyentuh diri sendiri sambil diawasi Jeffrey. Rasanya malu!

"Kamu mulai membangkang rupanya?" gumam Jeffrey. "Aku tidak punya banyak waktu, Raline."

Raline menelan saliva dan kembali merebahkan bokong ke atas sofa. "Haruskah kuakhiri panggilan kita?" tanyanya.

"Tak perlu. Letakkan ponselnya dan atur loud-speaker," pandu Jeffrey.

"Kalau Bibi Marni dengar, gimana?" cecar Raline waswas.

"Tidak akan. Aku sudah berpesan pada Bibi untuk menjauhi perpustakaan. Hanya kamu yang bisa menemuinya. Sebaliknya, ia tidak kuperbolehkan menghampirimu."

"Kenapa kita tidak video call saja? Aku bisa melihat wajahmu, Jeff," keluh Raline.

"Begini lebih menggairahkan, untukmu maupun untukku," goda Jeffrey.

Raline kembali membasahi bibir. Ia pun menuruti perintah Jeffrey. Raline melepas celana dalam dari balik mini skirt yang ia kenakan. Wanita itu lantas membuka kedua kaki lebar hingga menampakkan miliknya yang merekah.

Semua gerak-gerik Raline disaksikan oleh Jeffrey dari balik gawai. Lelaki itu duduk di balik meja kerja seraya memasang TWS earphone pada telinga. Netranya tertuju pada tampilan sosok Raline yang sangat menggoda.

Entah apa yang telah Raline lakukan. Wanita itu berhasil membuat Jeffrey terpesona. Ia bahkan tak bosan dengan tubuh Raline. Sebaliknya, Jeffrey kecanduan.

Raline Lara memang adiktif.

Dari layar, tampak Raline sedang mengusap miliknya dengan jarinya yang lentik. Jeffrey menelan saliva. Darahnya berdesir.

"Sudah basah?" tanya Jeffrey.

Raline menggeleng. "Belum," sahutnya.

"Kalau begitu sentuhlah dadamu dulu. Mainkan seolah aku yang melakukannya," titah Jeffrey.

Raline menurut. Ia membuka kaus dan menampakkan dua gundukan bulat tertutup oleh bra berwarna dark. Jeffrey menegang. Kulit Raline tampil kontras dengan warna hitam --- sangat serasi. Seksi.

Kedua tangan Raline menyusup ke belakang punggung untuk membuka kaitan bra. Tonjolan sekal milik Raline pun memantul keluar dan terbebas dari penutup. Dengan ragu, Raline memijat area dada menggunakan jemari lentiknya.

"Mainkan putingmu," ucap Jeffrey.

Raline menggigit bibir bawah demi menetralisir geli bercampur malu. Jarinya memilin puncak gundukan sensitifnya. Ia mulai mendesah pelan.

Jeffrey menggelengkan kepala. Andai saja ia bisa meninggalkan urusan pekerjaan. Lelaki itu ingin segera merasakan kulit hangat milik Raline. Namun, kali ini ia harus bersabar. Masih banyak urusan yang harus ia selesaikan di kantor.

"Jeff," panggil Raline. Ia melirik ke arah CCTV yang terpasang di depannya. "Lalu, aku harus bagaimana sekarang?"


Hola, DARLS!

KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.

Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top