TWENTY-EIGHT

Raline melilitkan helai mie pada garpu. Kata Bibi Marni, menu makan malam mereka adalah pasta linguine. Raline sendiri tidak paham apa itu linguine, ia hanya tahu itu adalah sejenis mie. Soal rasa, mie instan yang sering ia makan di rumah tidak kalah enaknya dari linguine yang sekarang ia santap.

Sebenarnya, Raline tak pernah pilih-pilih makanan. Ia hanya sedang gundah. Keberangkatan Jeffrey ke Jakarta selama satu minggu membuatnya gelisah.

Tentu saja ia bakal rindu kepada lelaki rupawan itu. Kalau bisa, Raline ingin setiap hari menghabiskan waktu dengan Jeffrey.

"Kamu tidak suka pastanya?" tanya Jeffrey membuyarkan lamunan.

"Suka, kok." Raline buru-buru menyeruput pasta linguine bersaus merah ke dalam mulutnya.

Jeffrey mengusap pinggiran bibir Raline dengan napkin. "Tumben kamu tidak banyak bicara."

Perlakuan Jeffrey membuat Raline tersipu-sipu salah tingkah. Ia begitu perhatian dan --- tampan. Pantas saja Raline tergila-gila dan bersedia mati demi Jeffrey seorang.

"Aku hanya sedang memikirkan soal keberangkatanmu."

Dahi Jeffrey berkernyit. "Kenapa?"

"Belum-belum, aku sudah kangen," gumam Raline.

Jeffrey sebisa mungkin menahan hasrat tersedak. Raline adalah seorang wanita yang polos dan naif. Childish sekaligus seksi dalam waktu bersamaan.

"Gunakan waktumu untuk belajar." Jeffrey mempertahankan ekspresi datar. Meski dalam hatinya sumringah.

"Iya. Aku tahu." Raline tertunduk. "Ada urusan apa kamu ke Jakarta?"

"Bisnis. Sekaligus mengunjungi orang tuaku. Mereka berulang kali memaksaku segera pulang," jawab Jeffrey.

Orang tua yang dimaksud, Anwar Bahadir, konglomerat kaya raya itu? Raline menahan napas. Jadi teringat lagi ketimpangan sosial di antara mereka.

"Kalau aku boleh tahu, kenapa kamu memutuskan untuk tinggal di sini? Tidak di Jakarta bersama orang tuamu, Jeff?" selidik Raline.

Sengatan memori masa lampau berkelindan pada benak Jeffrey. Amarah terpendam akibat keabaian kedua orang tuanya pada saat Jeffrey ada di titik terendah. Jeffrey menyimpan traumanya seorang diri dan memutuskan berkuliah ke Surabaya demi menghindari Anwar dan Misye.

"Perusahaan dan pabrikku ada di sini," sahut Jeffrey dingin.

"Tapi kenapa? Bukankah Jakarta itu ibukota, banyak pengusaha yang memilih membangun perusahaannya di sana. Kamu malah memilih Surabaya." Alis Raline saling bertautan.

"Di sini prospeknya lebih besar. Aku juga enggan caraku berbisnis diatur-atur oleh orang tuaku. Di sini aku bebas melakukan apa pun. Termasuk bermain dengan para wanita," ujar Jeffrey menyeringai.

Raline mengerucutkan bibir. Cemburu juga kalau mengingat Jeffrey adalah seorang pemburu kesenangan. Tapi, melalui cara itu juga ia dan Jeffrey bisa bertemu.

Jeffrey kembali berkata, "Kamu sendiri, siapa ayah kandungmu? Tidak berpikir untuk tinggal dengannya?"

Raline tersentak. Garpu yang ia pegang pada jemari, mendadak terkulai ke atas piring.

"Aku tidak tahu ayahku siapa. Ibu juga bilang dia tidak tahu," gumam Raline lirih.

Jeffrey berdeham salah tingkah. Mana ia sangka kalau pertanyaan yang ia lontarkan memancing atmosfer canggung.

Raline menatap Jeffrey melalui bola mata kecokelatannya. "Meski begitu, aku sangat ingin tahu siapa ayahku. Siapa tahu dia adalah orang yang baik." Tawanya mendadak pecah. "Ah, tapi mana mungkin lelaki baik menyewa jasa pelacur?"

Jeffrey dan Raline saling bertukar pandang. Pelupuk Raline jelas-jelas memancarkan kesedihan.

"Aku suka memakai jasa wanita panggilan. Apa aku lelaki yang jahat menurutmu, Raline?" tukas Jeffrey.

Raline menggeleng. "Kamu adalah pengecualian, Jeff. Kamu orang pertama yang memperlakukanku baik. Aku tidak peduli jika kamu hanya ingin memanfaatkanku. Semua sepadan dengan apa yang kamu berikan."

"Aku tidak pernah memberimu apa pun selain uang, Raline," sanggah Jeffrey.

"Kamu salah. Kamu satu-satunya yang memijat lembut saat mengeramasiku. Kamu yang melindungiku dan percaya kalau aku bukan wanita bodoh. Kamu juga orang pertama yang bercerita untukku," terang Raline.

Hati Jeffrey terenyuh. Tidak hanya miskin harta, Raline juga miskin kasih sayang.

"Apa ibumu ... memperlakukanmu buruk?" tanya Jeffrey.

"Tidak juga. Ibu tidak memperlakukanku buruk. Tapi, ibu sering menganggapku tidak ada," kenang Raline berkaca-kaca. "Kadang kala, aku harus menunggu hingga malam untuk mendapatkan makanan. Bukan karena ibu tidak punya uang untuk membeli nasi atau lauk, tapi ibu seolah mengabaikanku. Ibu bilang aku sudah besar, sudah bisa melakukan semua sendiri. Aku masih ingat, saat aku TK, aku sudah harus mencuci pakaianku sendiri. Aku bahkan merawat ibu kalau dia mabuk atau sulit bangun. Aku juga disuruh pura-pura menangis atau mengamuk kalau pelanggannya terlalu lama di dalam kamar. Ibu bilang itu untuk mengusir pelanggan yang tidak ia suka."

Kehidupan Jeffrey dan Raline memang kontras. Namun mereka adalah dua anak yang sama-sama diabaikan. Bedanya, Raline dipaksa untuk selalu menerima keadaan. Mungkin karena itulah sifat wanita itu sangat patuh dan submisif.

Jeffrey tidak tahu ke mana arah hubungan mereka. Lelaki itu hanya tahu kalau ia sangat membutuhkan Raline saat ini. Meski terdengar egois dan tak adil.

"Kamu berhak mendapatkan respect dari siapa pun. Ingatlah itu," ucap Jeffrey.

Raline tersenyum pahit. "Benarkah? Seorang pelacur sepertiku?"

"Kamu bukan pelacur," sergah Jeffrey. Rahangnya mengeras dengan mimik muka gusar. "Kamu hanya pernah tidur denganku. Jangan sebut dirimu pelacur lagi."

"Tapi bapak bilang ..."

Jeffrey bergegas menyela, "Pendapat orang gila seperti Bayu tidak penting! Kutegaskan sekali lagi, kamu bukan pelacur. Mengerti?"

"Ya ... Jeff ..." Raline mengangguk pelan. Hatinya terenyuh. Sedikit rasa tenang menentramkan jiwanya. Aku bukanlah seorang pelacur.

***

Marni mengatur bantal di atas ranjang kamar sambil mengulum senyum. Kali ini ia yakin kalau Raline memang spesial bagi Jeffrey. Kamar tamu bernuansa hangat dengan corak bata merah ini adalah saksinya. Ruangan yang hampir tak pernah diisi oleh manusia. Namun sekarang Raline akan meniduri matras empuknya. Wanita berambut perak itu adalah yang pertama melakukannya.

"Apa Jeffrey akan tidur bersamaku?" tanya Raline malu-malu.

Marni berdeham. "Mungkin tidak. Tetapi Pak Jeffrey bisa saja mendatangimu nanti."

"Aku belum pernah tidur di kamar seluas ini sendirian, Bi. Kalau Jeffrey tidak mau tidur denganku, lebih baik aku tidur di kamar Bibi saja. Apa Bibi bakal terganggu?" Raline memandang Marni dengan tatapan penuh harap.

Marni menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku sama sekali tidak terganggu. Malah senang karena kita bisa begadang sambil mengobrol. Hanya saja, Pak Jeffrey berpesan agar kamu tidur di sini, Raline."

"Hmm, begitu ..." gumam Raline. "Apa karena dia enggan disentuh, makanya dia tidak mau tidur bersamaku?"

"Mungkin," bisik Marni.

Raline menelan ludah kasar. Ia memberanikan diri bertanya lagi kepada Marni. "Bi, kalau aku boleh tahu, kenapa Jeffrey tidak memperbolehkanku menyentuhnya? Apa dia jijik padaku? Tapi ... kami sudah bercinta, bukan?"

"Dia begitu kepada semua orang. Bukan hanya denganmu. Justru, sekarang kamu adalah orang paling dekat dengan Jeffrey, Line," sahut Marni. Ia tidak mungkin menceritakan rahasia masa lalu majikannya. Bukan hal etis untuk dilakukan.

"Apa Bibi tahu alasannya?" cecar Raline.

Marni mengusap lengan Raline. "Biarlah Jeffrey sendiri yang memberitahumu. Kalau pun ia tetap merahasiakan alasannya, kamu bisa kan menerima Pak Jeffrey apa adanya?"

"Menerima Jeffrey apa adanya?" ulang Raline. "Aku bahkan bersedia mati untuknya, Bi."

Marni tergelak geli. "Bisa saja kamu, Line. Ya sudah. Beristirahatlah. Kamu bisa berendam dulu sebelum tidur. Bibi pergi dulu, ya."

"Bi Marni, terima kasih banyak." Raline pun mengantar kepergian Marni hingga ke depan kamar.

Setelah menutup pintu, Raline bergegas meraih tas dan mengambil ponsel. Ia cemas memikirkan keadaan Sintia yang seorang diri di rumah. Memang, Raline sudah meminta Evi, tetangganya untuk menjaga Sintia. Tapi tetap saja wanita itu masih waswas.

Raline menekan nomor adiknya dan segera menempelkan gawai pada telinga.

"Halo," sapa Raline ketika Sintia menerima panggilannya.

"Mbak Raline, kenapa?"

"Sin, kamu di mana? Mbak tidak bisa pulang malam ini. Tapi besok Mbak sudah balik, kok," terang Raline. Ada perasaan mengganjal karena membiarkan Sintia sendirian.

"Tante Evi sudah bilang, kok. Ini aku disuruh nginap di rumahnya. Lagi nonton tivi sama Agam, Mbak." Agam adalah anak Evi yang usianya hampir sama dengan Sintia.

Raline menghela napas lega. "Sampaikan salam untuk Tante Evi, ya, Sin. Dan, maafin, Mbak, karena tidak pulang malam ini."

"Tidak apa-apa, Mbak. Mbak, 'kan kerja. Sintia senang kok di rumah Tante Evi. Banyak makanan sama bisa nonton tivi." Sintia terdengar cekikikan dari balik speaker.

"Syukurlah, Sin. Jangan tidur terlalu larut," pesan Raline.

"Iya, Mbak," sahut Sintia.

Sesudah mengakhiri pembicaraannya dengan sang adik, Raline lantas berbaring ke atas kasur. Ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Mewah.

Timbul seutas nestapa karena menikmati semua kemewahan seorang diri. Raline merindukan adiknya. Wanita itu mulai berpikir kalau ia tak bisa selamanya berdiam diri memasrahkan keadaan. Raline harus melakukan sesuatu demi mengubah nasib.

Jeffrey benar.

Raline harus memperbanyak ilmu pengetahuan agar bisa memberi Sintia kehidupan layak. Ia tak bisa bergantung pada siapapun, termasuk Jeffrey.

Entah sampai kapan lelaki itu akan mempertahankannya? Raline takut Jeffrey bakal mencampakkan dirinya saat ia menemukan wanita baru. Atau ... saat Jeffrey kelak berniat menikah. Hari itu pasti terjadi. Siap atau tidak, Raline tak mau kembali terperosok dalam lubang kegelapan.

Saat sedang meratapi hidup, pintu kamar terdengar diketuk. Raline beringsut bangun dan berlari membuka pintu.

Mata Raline berbinar. "Jeff?"

"Kamu mengantuk?" Jeffrey berdiri di hadapan Raline. Lelaki tampan itu sangat wangi. Rambutnya pun masih lembap --- pasti ia baru saja selesai mandi.

"Aku belum mengantuk," sahut Raline.

Bibir Jeffrey mengulas seringai tipis. "Kalau begitu, kamar bermain. Sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top