TWELVE
Gelak tawa memenuhi ruang VIP tempat Jeffrey dan teman-temannya menghabiskan malam. Mereka berkumpul pada salah satu tempat dugem yang menjadi langganan kaum eksekutif di Surabaya. Mulai dari membicarakan seputar bisnis hingga mengenang masa mahasiswa. Suara musik House dari dalam klub kalah oleh kerasnya obrolan mereka.
Jeffrey memundurkan tubuh ketika seorang wanita berpakaian mini mencoba menyentuh pahanya. Sedari awal wanita itu memang tak bisa melepaskan pandangan dari Jeffrey. Jelas saja, wanita mana yang tidak tertarik dengan Jeffrey --- single, tampan, dan sukses.
"Jeff, apa kamu nggak cari model untuk billboard the MAXIMAL?" tanya wanita itu. Bibirnya yang dipoles pemulas merah terkembang lebar.
Jeffrey tetap datar. "Sepertinya tidak," sahutnya.
"Ah, sayang sekali. Aku tidak akan meminta bayaran, mengingat kamu adalah teman Arnold," kata si wanita.
Jeffrey tak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepala sekali seraya tersenyum tipis. Tidak tertarik melanjutkan obrolan dengan wanita yang bukan tipenya.
Wanita itu tidak menyerah. Ia kembali merapatkan badan mendekati Jeffrey. "Ehm, kutebak kamu bahkan tidak ingat dengan namaku, bukan?" lanjutnya.
"Sorry," jawab Jeffrey. "Aku memang sulit mengingat nama seseorang."
Si wanita mengerucutkan bibir dengan manja. "Padahal tadi Arnold dan Sarah sudah mengenalkan kita berdua. Aku Rachel, Jeff. Kali ini jangan lupa lagi."
"Tentu saja tidak," sahut Jeffrey. Ia lalu melirik ke arah jam tangannya, sudah pukul satu dini hari.
"Apa kamu ada acara setelah ini? Kamu kelihatan gelisah," ujar Rachel.
Jeffrey menggeleng. "Tidak. Aku hanya lelah dan ingin segera pulang."
"Pulang?" Rachel mengerlingkan mata. "Malam masih panjang, Jeff."
Jeffrey tidak terlalu mengindahkan perkataan Rachel. Ia mendadak resah, bagaimana kalau Raline masih menunggunya di hotel?
Ah, aku pasti sudah gila.
Raline Lara bukan manusia sebodoh itu. Untuk apa ia menuruti semua perkataan Jeffrey seolah robot? Wanita itu pasti sudah lama pulang.
Namun, entah kenapa perasaan Jeffrey tak enak.
***
Mata Raline berulang kali terpejam lemah. Sudah enam jam ia duduk di atas closet tanpa bergerak sedikit pun. Bibirnya yang semula merah sudah berubah memucat karena lapar dan letih. Selain itu, Raline juga kedinginan karena tak mengenakan sehelai benang pun.
Ponsel Raline tadi sempat berdering berkali-kali, itu pasti Bayu. Seharusnya ia sudah selesai melayani tepat pukul sepuluh.
Tapi Raline sudah berjanji kalau ia akan membuktikan kesungguhannya kepada Jeffrey. Lelaki itu harus tahu kalau ia adalah wanita yang gigih. Ini pasti cara Jeffrey menguji dirinya atau mungkin memang beginilah tugas seorang submisif.
Raline mulai lemas --- sekujur tubuhnya kaku dan kesakitan. Berjam-jam mematung tanpa minum dan makan membuat pikirannya buntu. Rasanya, ia hampir kehilangan kesadaran.
***
"Jeff," panggil Rachel. "Kamu akan mengantarkanku kembali, 'kan?"
Jeffrey sama sekali tiada niat menjalin hubungan dengan Rachel, model itu terlalu banyak bicara. Namun, sebagai lelaki, ia merasa segan bersikap kasar. Apa lagi, Rachel adalah kenalan dari Arnold dan Sarah --- temannya.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Jeffrey.
Rachel kembali menggelengkan kepala karena tidak habis pikir. "Bukannya dari tadi aku sudah bilang kalau aku menginap di JW Marriot. Aku datang ke Surabaya karena ajakan dari Sarah, Jeff."
"Oh ... begitu?" Jeffrey menggaruk dahinya yang tidak gatal.
Rachel mengaitkan kedua tangan. "Kamu sama sekali tidak memerhatikanku bicara!" dengkusnya.
Dan itu seharusnya menjadi sinyal bagimu untuk menjauh. Jeffrey mati-matian mempertahankan respect.
"Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita cepat kembali. Ini sudah terlalu larut." Jeffrey berjalan mendahului Rachel.
Range Rover yang dikendarai oleh Jeffrey pun menembus gelapnya malam kota Pahlawan. Suasana malam yang lingsir tak membuat Rachel berhenti bicara. Wanita itu benar-benar membuat Jeffrey jengkel.
Jeffrey tak sabar segera menurunkan Rachel di depan hotel. Kemudian meninggalkan wanita itu untuk selamanya. Ia begitu muak.
"Kita sudah sampai," kata Jeffrey setibanya mereka di depan pintu lobi hotel.
Rachel tersenyum genit. "Kamu mau masuk? Bagaimana kalau menghabiskan malam denganku?" godanya.
"Terima kasih, tapi tidak," jawab Jeffrey tanpa pikir panjang.
Rachel mencondongkan badan, ia berniat merayu Jeffrey dengan sentuhan fisik. "Ayolah, Jeff. Enggak perlu jaim."
"Berhentilah, Rachel!" sentak Jeffrey. Ia menepis jemari Rachel yang mencoba mengelus rahangnya.
"Ya Tuhan, apa yang salah denganmu?!" Rachel merasa tidak diterima. "Are you gay?"
Jeffrey berpaling menghadap ke depan. "Turunlah," katanya.
Rachel membuka pintu Range Rover dengan penuh emosi. "Seharusnya Daniel dan Sarah bilang kalau kamu tidak menyukai perempuan!" Ia lalu keluar dari mobil dan membanting pintunya keras.
Jeffrey hanya mendecih. Tingkat kepercayaan diri Rachel terlalu tinggi. Wanita itu mungkin berpikir bahwa semua lelaki akan bertekuk lutut padanya. Enak saja.
Jeffrey bukan lelaki yang akan bertekuk lutut, apa lagi memohon. Ia adalah alpha-nya, wanitalah yang seharusnya tunduk padanya.
Tunduk dan menurut, seperti Raline Lara?
Sosok wanita berambut perak itu tiba-tiba berkelindan dalam benak Jeffrey. Begitu penurut ... rapuh ... dan membuatnya penasaran. Tunggu dulu? Kenapa aku harus kembali memikirkan Raline Lara? Bukankah aku sudah mencicipi rasa darinya? Seharusnya semua sudah berakhir.
Demi menuntaskan gelisah yang berkecamuk, Jeffrey lantas masuk ke dalam gedung hotel. Tidak ada salahnya mengecek kamar 201, toh ia juga sudah berada di sini.
Derap langkah sepatu Jeffrey yang bertumbuk pada lantai memecah hening di selasar hotel. Dini hari yang gelap, dingin, dan sunyi membuat hati Jeffrey mendadak kelabu. Jawaban dari segala gelisahnya sudah jelas, Raline Lara pasti sudah pergi.
Sang Dominan menempelkan cardlock pada kotak sensor yang terletak di bawah daun pintu. Lelaki itu memutar handle ke bawah dan masuk ke dalam kamar hotel.
Dahi Jeffrey berkernyit. Kondisi kamar sama persis seperti saat ia tinggalkan. Situasi ruangan yang gelap membuat lelaki itu kesulitan melihat lebih jelas. Ia pun menyisipkan cardlock ke dalam kotak sensor yang berada di samping saklar pintu --- dekat pintu masuk.
Langkah Jeffrey memburu. Tidak mungkin!
Ia membuka pintu kamar mandi dan terbelalak. Netra Jeffrey berkilat karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Wanita berkulit salju itu masih menunggunya. Duduk di atas closet dengan tangan terikat dan telanjang. Wajahnya tak lagi bersemu, justru kuyu dan pucat pasi seperti mayat. Meski begitu, Raline Lara masih sanggup menyambut tuannya dengan senyum tersungging.
"Kamu sudah datang?" ucap Raline lirih.
Hola, DARLS!
KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.
Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top