THIRTY-SIX
Adinda mempercepat langkah. Ia berhenti di depan pintu jati berwarna hickory.
"Pi, boleh aku masuk?" seru Adinda.
"Masuk, Sayang."
Adinda membuka pintu ruang kerja Rafli, ayahnya. Wanita berambut hitam lurus itu memandang sang ayah yang sedang duduk pada meja kerja. Tampak beberapa lembar tumpukan kertas berserakan di atas meja Rafli.
"Mau bicara apa malam-malam begini, Din?" tanya Rafli. Ia mendongakkan kepala untuk beradu pandang dengan mata Adinda.
"Soal Jeffrey, Pi," sahut Adinda.
Rafli menggaruk pelan kulit kepalanya yang dipenuhi rambut putih. "Oh ya? Papi dengar dia pulang ke Jakarta."
"Dia sudah kembali lagi ke Surabaya," timpal Adinda.
Rafli menaikkan sebelah alis. "Lalu?"
Adinda menelan saliva. Butuh keberanian ekstra untuk berbicara kepada sang ayah.
"Tidakkah Papi merasa itu adalah bentuk penolakan Jeffrey terhadapku? Jeffrey sama sekali tidak tertarik padaku, Pi," ujar Adinda.
Tawa Rafli pecah. "Dinda ... Dinda ..." gumamnya. Ia bangkit dari duduk dan menghampiri sang anak. Tangannya merangkul pundak Adinda dan menuntunnya untuk duduk pada sofa panjang. "Jeffrey itu pebisnis. Papi amati, perkembangan usahanya sangat pesat. Dalam kurun kurang dari sepuluh tahun, store miliknya sudah tersebar di mana-mana. Sangat wajar bagi lelaki seperti dia untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya."
"Tapi, Pi ..." sanggah Adinda.
Raffli menyela, "Justru kamu yang seharusnya menyusul dia ke Surabaya. Kamu di sini, 'kan, santai. Lagian, kata Anwar, kalian sempat bertemu sebelum Jeffrey balik ke Surabaya."
"Aku tidak mau menjadi pihak yang mengejar-kejar, Pi. Jeffrey jelas tidak memiliki perasaan padaku. Sudahlah, Pi. Mari kita batalkan saja perjodohanku dengannya," ucap Adinda.
Rafli menarik kedua sudut bibir ke atas. "Tidak mau mengejar-kejar atau kamu yang jangan-jangan enggan bersama dengan Jeffrey?" selidiknya.
Adinda memalingkan muka untuk menyembunyikan salah tingkah. Ia menelan ludah kasar.
"Salah satu ajudan Papi, pernah melihat kamu jalan sama Alan. Betul begitu?" lanjut Rafli mengintrogasi. Mimik mukanya tenang. Namun, nada bicara lelaki itu sangat mengintimidasi.
Adinda serasa disambar petir. Padahal, ia sudah menjaga rapat hubungan rahasianya dengan sang kekasih. Tidak ia sangka, mereka luput juga.
"Alan? Alan manajer pemasaran?" kelit Adinda.
Rafli mengangguk datar. Kedua netranya menatap lekat ke arah Adinda yang duduk di sisinya.
Adinda tersenyum lebar. "Aku bahkan lupa kapan bertemu dengannya. Sepertinya kami tidak sengaja berpapasan dan mengobrol sebentar."
"Begitu, ya?" sahut Rafli.
Adinda kembali menelan saliva.
Rafli kembali melanjutkan, "Papi tidak mau mendengar lagi laporan kalau kamu dan Alan saling bertemu, Dinda."
"Maksud Papi apa? Aku sudah bilang kami enggak sengaja bertemu," elak Adinda.
"Apapun itulah Adinda!" sentak Rafli. Intonasinya mulai meninggi. "Jeffrey adalah pilihan terbaik untukmu. Begitu pun sebaliknya. Jangan berpikir bisa bahagia bersama cecunguk macam Alan."
Adinda mengeraskan rahang. Ia bangun dari duduk dan menepis tangan ayahnya.
"Kok Papi tega menjodohkanku dengan lelaki yang jelas-jelas tidak mencintaiku? Harusnya Papi pikirkan apa yang membuatku bahagia, dong!" sulut Adinda.
"Yang membuatmu bahagia dan semua orang di dunia ini bahagia adalah uang. Bersama Jeffrey, kamu tidak akan pernah kekurangan. Perusahaan kita semakin besar sampai tujuh keturunan. Itulah yang membuat seluruh anak cucu kita berbahagia, Din!" tegas Rafli.
Adinda mengibaskan tangan. "Bullshit. Buktinya Mami enggak bahagia. Sampai dia meninggal dia sama sekali tidak pernah bahagia. Menghabiskan sisa umur bersama Papi yang tidak mencintainya!"
"Tahu dari mana kamu kalau Papi tidak mencintai Mamimu?" sanggah Rafli.
Adinda mendecih. "Jangan mengelaklah, Pi. Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah 30 tahun."
"Ya karena kamu sudah 30 maka kamu harus segera meresmikan hubungan dengan Jeffrey, Din. Mau tunggu sampai kapan?" kata Rafli. Lelaki itu menyugar rambut putihnya ke belakang.
Adinda tertawa getir. "Aku tahu apa alasan Papi ngotot menjodohkanku dengan Jeffrey. Bukan soal harta saja, tetapi karena Papi dan Jeffrey sama. Sama-sama lelaki yang gemar bermain wanita. Tidak kusangka, Papi ingin menempatkanku di posisi yang sama seperti Mami."
Rafli beringsut bangkit dan melangkah menghindari Adinda. Lelaki itu berdiri menghadap meja kerjanya.
"Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, kamu boleh keluar, Din."
"Pi?!" Adinda merasa tidak terima. Masih banyak yang ingin ia utarakan pada ayahnya.
"Pertimbangkan baik-baik semuanya. Dan satu lagi, jangan buat Papi melampiaskan kesal pada si Alan itu. Okay?" tukas Rafli.
Adinda mengepalkan tangan. Ia melengos keluar dan membanting pintu.
Sementara itu, Rafli mengumpulkan lembaran kertas yang berserakan pada mejanya. Kumpulan surat-surat lawas. Surat yang setiap malam selalu ia baca berulang kali. Sayangnya, Rafli sudah tidak memiliki kesempatan untuk membalasnya.
***
Jeffrey membantu Raline berbaring tengkurap di atas love sofa. Love sofa bermaterial kayu mahogani solid yang dilapisi busa empuk. Tempat duduk itu memiliki bentuk terinspirasi dari tubuh wanita. Tidak jarang disebut juga sebagai sofa tantra atau sofa untuk bercinta. Kegunaannya apa lagi kalau bukan sebagai sarana khusus untuk memudahkan pasangan mencapai bermacam posisi.
Tubuh Raline sudah terikat tali berbahan rami. Jalinan itu membalut seluruh tubuh sampai pinggang. Shibari rope menahan kedua tangan Raline ke belakang.
"Apa kamu tahu kalau teknik tali menali ini sudah ada sejak era kuno?" tanya Jeffrey. Netranya terfokus pada tubuh submisifnya yang menungging dan menampakkan bokong bulat menggoda.
Raline menggeleng dengan napas memburu.
"Shibari adalah seni sensual dari Jepang. Ikatannya pun tidak asal-asalan. Ada teknik khusus," lanjut Jeffrey.
"Jadi kamu dulu mempelajarinya, Jeff?" bisik Raline.
Jeffrey mengangguk. Jemarinya berjalan menyusuri tiap jengkal tubuh Raline yang tanpa sehelai benang pun.
"Aku mempelajarinya saat pergi ke Jepang dulu." Jeffrey menyeringai. "Bagaimana rasanya Raline? Tak berdaya dan terikat begini?"
"Aku ..." Raline mendesah pelan. "Aku memang tidak berdaya, tetapi, aku percaya padamu."
Jeffrey tersenyum. "Bagus. Shibari memang bertujuan untuk komunikasi intim kedua pasangan. Seberapa besar kepercayaan submisif kepada dominannya. Dan seberapa besar tingkat kepatuhannya."
Raline menelan saliva ketika telapak Jeffrey meremas pantatnya. Dalam kondisi ketiadaan daya, Raline justru semakin bergairah.
"Apa kamu merasa nyaman dengan posisi ini?" tanya Jeffrey lagi.
Raline mengangguk. "Ya."
"Good," gumam Jeffrey. Lelaki itu lalu mengesampingkan helai rambut Raline untuk mengekspos punggung si submisif. Ia kemudian mengecup area tengkuk dan menuruni tulang belakang.
Raline menggeliat kegelian. Ia tidak dapat menahan desah yang makin kencang. Terlebih, Raline tak mampu melawan atau bergerak menghindar. Wanita itu hanya bisa terpejam seraya mengigiti bibir bawahnya.
Jeffrey mengecup tulang ekor Raline seraya menyapukan lidahnya di sana. Akibat ulahnya, Raline semakin menggelinjang tak karuan.
"Oh Tuhan, Jeff ..." erangnya. "Uhmh ..."
[ CUT - Baca lengkap di KARYAKARSA !!!
Langsung ke seri 'Raline&Jeffrey' untuk menemukan hidden part yang tak akan ayana publish di wp. Kalian bisa pilih mau baca bab yang mana. Yang gak punya apk Karyakarsa gak usa pusing, cz KK bisa dibaca melalui web, ya, Darls. Alias tanpa download di playstore.
Kalau kalian mau lebih hemat, cz KK ada PPN 11%, kalian bisa melakukan payment alternatif lain (silakan DM Ayana supaya Ay kasih tahu caranya). Alternatif lain ini bisa lewat tf Mandiri/BCA, ovo, pulsa, atau shopeepay, ya!
"Bolehkah aku bertanya," kata Raline lagi.
"Soal apa?" Jeffrey betah membelai-belai gundukan submisifnya yang lembut dan kenyal.
"Apa hanya aku yang tidak boleh menyentuhmu?" tanya Raline.
Mendengar pertanyaan Raline, Jeffrey spontan menegakkan kepala. "Tidak. Aku memang tidak suka sentuhan tangan siapa pun, bukan hanya kamu."
"Kenapa?" Raline menoleh ke belakang untuk mencari sorot sendu milik dominannya.
Jeffrey memalingkan muka. "Tidak suka saja," jawabnya singkat.
Raline kemudian membalikkan tubuh untuk saling berhadapan dengan Jeffrey.
"Kamu marah?"
"Marah kenapa?" sahut Jeffrey.
"Marah karena pertanyaanku tadi," terang Raline.
Jeffrey memandang Raline lekat. Seutas tarikan melengkung pada bibir lelaki itu pun tercipta.
"Tidak. Aku tidak marah. Tapi berhentilah menanyakan soal itu, Raline," jelas Jeffrey.
Raline mengangguk patuh. "Aku tidak akan membahas soal itu lagi."
"Good," kata Jeffrey. "Kemarilah, bersandar padaku lagi."
Raline pun bergegas kembali pada posisi awal. Ia menempelkan punggungnya pada dada Jeffrey yang bidang. Membiarkan lelaki itu kembali bermain-main pada gundukannya.
"Apa yang kamu tonton tadi?" tanya Jeffrey.
"Banyak. Mulai dari Beauty and The Beast, Aladdin, lalu The Little Mermaid."
Dahi Jeffrey berkernyit. "Kenapa semuanya kartun?"
"Aku dan Sintia belum pernah menontonnya, Jeff," ujar Raline.
Jeffrey tersenyum geli. "Dan kamu menikmatinya?"
"Ya. Aku paling suka Ariel. Aku sangat penasaran dengan akhirnya. Selepas ini, bolehkah aku menontonnya lagi?" pinta Raline.
"Boleh saja. Tetapi sebaiknya kamu mengantar adikmu untuk beristirahat di kamar. Badannya pasti pegal karena tidur di sofa," ucap Jeffrey.
Bibir Raline mengembang. "Terima kasih karena begitu baik. Aku ..."
TOKTOKTOK. Suara ketukan pada pintu bathroom membuyarkan obrolan intim Raline dan Jeffrey. Keduanya cukup tersentak karena terkejut.
"Pak Jeffrey? Raline?" panggil Marni dari luar. "Aku berulang kali mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada jawaban. Maaf karena aku lancang masuk ke dalam kamar bermain."
Jeffrey berdecih. "Ada apa, Bi?" sahutnya dari dalam.
"Ada Bayu menunggu di luar rumah, Pak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top