THIRTY-ONE
"Biar aku yang nyetir."
Jeffrey merebut kontak mobil dan bergegas masuk ke dalam kursi kemudi. Ia tak memedulikan decakan dari si wanita bermata hazel yang ditinggalkan begitu saja di luar kendaraan.
"Seenaknya saja mengemudikan mobilku," gerutu wanita itu.
Jeffrey hanya meringis. "Aku sudah booking kamar di Sheraton."
"Jangan ngawur, Kak! Mama bahkan memintaku sekeluarga untuk menginap di rumah demi menyambut kepulanganmu. Dan sekarang kamu bilang sudah booking hotel?"
Jeffrey santai menghidupkan mesin mobil. Ia membesarkan volume musik di radio.
"Marah enggak baik untuk kesehatan janinmu, Carissa."
Carissa mendengkus. "Batalkan pesanan kamarmu, Kak. Kita pulang ke rumah sekarang. Titik!" Ia memalingkan muka.
"Kamu memang selalu bossy dari kecil. Sebenarnya yang kakak itu aku atau kamu?" ledek Jeffrey.
Carissa melirik tajam ke arah Jeffrey. "Soalnya kamu keterlaluan, Kak. Pulang jarang. Sekalinya kembali ke Jakarta, kamu bilang mau tidur di hotel. Aku dan Mas Wisnu berkorban menginap di rumah untuk menuruti kemauan Mama. Mama mau kita semua kumpul sama-sama. Bisa kamu bayangkan betapa jauhnya Aska menempuh perjalanan ke sekolahnya beberapa hari ini!" omelnya.
"Ya, maaf, maaf. Aku hanya sibuk mengembangkan bisnisku," kelit Jeffrey. "Oh ya. Bagaimana kabar ponakanku Aska? Dia sekarang kelas ... tiga, ya?"
"Dua!" sentak Carissa. "Saking cueknya Kakak, sampai lupa Aska kelas berapa."
Jeffrey terkekeh. Ia mencubit hidung Carissa dengan gemas. "Maaf. Astaga, jangan ngomel terus."
Carissa membuang muka dan menatap ke arah jalan. Memang begitulah wanita. Kalau rindu bukannya bermanja atau berkata mesra. Yang ada justru sibuk marah dan berubah lebih senewen. Seperti Carissa sekarang.
Jeffrey menghela napas. Maklum.
Jeffrey memang tak bertanggung jawab. Pergi begitu saja untuk kuliah di Surabaya. Selepas itu, ia sibuk membangun bisnis hingga menghilang bak di telan bumi. Jeffrey bahkan tidak sempat datang pada pernikahan Carissa dan Wisnu. Pesta resepsi adik kandungnya itu bertepatan dengan pembukaan cabang the MAXIMAL di Bandung.
Anak pertama dari konglomerat Bahadir itu juga enggan meneruskan bisnis keluarga. Tanggung jawab itu diteruskan oleh Carissa dan Wisnu, suaminya.
Selain masih menyimpan luka dari kedua orang tuanya, ada alasan lain Jeffrey malas pulang.
"Kakak sudah pikirkan matang-matang?" tanya Carissa membuyarkan hening.
"Soal?" Dahi Jeffrey berkernyit.
"Adinda," sahut Carissa.
Jeffrey tersenyum kecut. "Aku sudah sampaikan ke Papa dan Mama kalau aku tidak berminat. Aku dan Adinda tidak saling menyukai satu sama lain. Lagi pula pernikahan belum ada dalam otakku."
"Mau menunggu sampai kapan, Kak? Adikmu ini saja sudah mau jadi ibu dua anak. Kamu sendiri masih sibuk bermain-main," ujar Carissa.
"Aku tidak bermain-main, Sayang," kekeh Jeffrey. "Aku sibuk mengembangkan the MAXIMAL."
"Ya, aku tahu. Tapi untuk apa kamu mengembangkannya jika tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan bisnismu kelak. Kakak juga butuh pendamping hidup. Aku ingin kehidupan Kakak lebih terarah," kata Carissa. Sorot matanya berubah nanar.
"Hidupku cukup terarah." Jeffrey kembali berkelit.
Carissa menoleh pada Jeffrey dengan tatapan sendu. Salah satu kolega pada perusahaan Bahadir Sejahtera pernah bergosip tentang kakaknya. Jeffrey terkenal suka menghabiskan malam di klub dan bergonta-ganti wanita. Carissa juga tidak mengerti mengapa hubungan Jeffrey dan kedua orang tua mereka renggang. Sampai sekarang, mau pun Misye atau Anwar, tak pernah membahasnya.
***
Kaki Jeffrey gamang ketika melangkah masuk ke dalam rumah orang tuanya di Pondok Indah. Hunian megah yang dua kali lipat lebih besar dari kediamannya di Surabaya. Rumah masa kecilnya.
Tempat yang menyimpan segala kenangan dan proses pahit Jeffrey melawan rasa takut dan trauma. Saksi bisu ketika Jeffrey kecil menangis sendirian tiap kali malam menjelang. Ketakutan akan datangnya pagi karena harus memaksakan diri berangkat ke sekolah. Sekolah Dasar khusus para 'sultan' yang lebih mirip disebut neraka.
"Jeffrey!" sambut Misye. Mata ibu kandung Jeffrey berkaca-kaca menahan haru. Ia melebarkan tangan agar bisa memeluk sang anak kesayangan.
Seperti yang sudah-sudah, Jeffrey tak menyambut rengkuhan yang ditawarkan ibunya. Ia justru melengos seraya tersenyum canggung. Raut muka Misye nelangsa. Belum ada yang berubah dari anak lelakinya itu. Ia pun mengurungkan niat untuk memeluk Jeffrey. Misye menjatuhkan kedua lengannya dengan lemas dan hampa.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Misye. Ia menelan tangis dan sisa sesal. Bibirnya berusaha menampilkan senyum lebar.
"Baik, Ma," sahut Jeffrey. "Mama sendiri?"
"Mama juga sehat," jawab Misye.
Carissa secara bergantian memandang Jeffrey dan Misye. Interaksi anak dan ibu yang sangat canggung dan kaku. Pemandangan aneh yang selalu menimbulkan pertanyaan dalam benak Carissa selama bertahun-tahun.
"Kak Jeffrey tadinya mau menginap di Sheraton, Ma," adu Carissa.
Misye menatap Jeffrey seraya menaikkan alis.
"Tapi sudah kupaksa dia untuk tinggal di sini," lanjut Carissa.
Misye melebarkan tawa dan mengusap lengan Carissa. Mata wanita berkulit langsat itu menyorot Jeffrey penuh kerinduan. Ia telah kehilangan kesempatan untuk menjadi sosok pelindung bagi anak lelakinya.
"Istirahatlah, Jeff. Mama sudah menyiapkan kamar tamu untuk kamu tempati," kata Misye.
Jeffrey mengangguk. "Terima kasih, Ma."
"Aku juga akan kembali ke kantor," sela Carissa.
Misye mengantarkan kepergian Carissa. "Sampai ketemu nanti malam. Hati-hati, Rissa."
"Oke, Ma." Carissa berjalan santai meninggalkan Jeffrey dan Misye.
Sepeninggal Carissa, suasana antara Jeffrey dan Misye kembali tegang. Misye merapikan helai rambut ikalnya untuk menetralisir canggung. Sementara, Jeffrey sibuk mengalihkan pandangan.
"Ehm, Jeff ..." panggil Misye. "Tadi papamu pesan agar kamu meneleponnya ketika sudah sampai di rumah."
"Iya," sahut Jeffrey. Ia kemudian berdeham. "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, Ma."
Misye mengangguk pelan. Kedua bola matanya mengekori punggung lebar Jeffrey yang semakin menjauh. Seutas kesedihan berkelindan memenuhi benak. Andaikan dulu ia lebih memperhatikan Jeffrey --- mungkin semua tidak begini.
***
"Huh ..." desah Jeffrey seraya menjatuhkan badan ke atas kasur.
Ia melempar ponselnya sembarangan ke atas bantal. Baru saja Jeffrey selesai bicara dengan Anwar. Ayahnya itu meminta Jeffrey untuk makan bersama sore nanti.
Jeffrey sudah bisa menebak apa yang akan dibahas oleh Anwar. Kalau bukan soal bisnis, pasti tentang Adinda. Wanita itu adalah putri si mata wayang sesama rekan bisnis Anwar. Sudah lama Anwar berambisi menjodohkan Jeffrey dan Adinda.
Sebenarnya Jeffrey tidak masalah menikah dengan siapa saja. Asalkan kecerewetan dan turut campur ayahnya itu selesai. Bagi Jeffrey yang berhati batu, pernikahan hanya sebuah kesepakatan demi mencapai keuntungan. Entah keuntungan berupa materi atau seksualitas.
Tetapi ...
Akhir-akhir ini perasaannya berbeda. Ada yang ganjil tentang cara Jeffrey memandang soal kelanjutan hidupnya.
Jeffrey merasakan rindu bak haus tak berkesudahan. Nafsu yang terus menyala dan berkobar abadi. Semua timbul semenjak mengenal Raline Lara.
Ia kembali melirik ponsel dan menyambarnya. Jeffrey menatap layar gawai cukup lama. Tak ada pesan mau pun telepon dari Raline. Tapi, wanita itu memang tak pernah menghubunginya satu kali pun. Dan lagi, semalam mereka baru saja selesai bercinta. Tidak ada alasan bagi Jeffrey mau pun Raline untuk saling mencari.
Cih. Jeffrey mendecih dan meletakkan ponselnya secara kasar. Untuk apa memikirkan Raline pada waktu luangnya. Kalau ia tiba-tiba horny, Jeffrey bisa saja mencari wanita di Jakarta sebagai pemuas nafsu. Wanita-wanita di ibu kota lebih berani. Bukan hal sulit bagi Jeffrey untuk melampiaskan birahi selama seminggu ini.
Tapi tidak.
Jeffrey enggan berhubungan intim dengan wanita lain. Benaknya dipenuhi Raline. Sorot mata, gaya bicara, suara, dan semua tentang Raline. Bahkan Jeffrey tersenyum sendiri karena teringat cara wanita itu menggigit bibir bawahnya ketika sedang malu.
Seperti remaja labil, lelaki berusia 31 tahun itu mengambil ponsel dan membuat panggilan video kepada submisifnya.
Bibir Jeffrey seketika mengembang saat wajah Raline terpampang di layar. "Ini sudah siang, Sleepyhead! Kamu masih enak-enakan tidur?" godanya.
Raline terlihat mengusap mata.
"Aku tidak tidur hanya mengistirahatkan mata sebentar," kelit Raline.
"Matamu sembap, jam berapa kamu tidur semalam? Atau jangan-jangan setelah dari rumahku, kamu tidak pulang karena dugem, ya?" selidik Jeffrey.
Raline mengerucutkan bibir. "Di saat anak SMA lain mengerjakan PR, aku sudah keluar-masuk klub untuk menari. Aku sudah eneg dengan yang namanya diskotek dan semacamnya. Kemarin aku langsung pulang, kok."
"Terus, kenapa sekarang mengantuk?" Jeffrey memandangi paras ayu Raline dari layar gawai.
"Semalaman aku cari kodok," jawab Raline.
Tawa Jeffrey pecah. Ia pikir Raline sedang bercanda. "Kodok?" kikiknya.
"Sintia ada tugas sekolah. Hari ini diminta bawa kodok. Sejak sore aku, 'kan, di rumahmu. Jadi baru tahu pas pulang," terang Raline.
Jeffrey makin terbahak. Ternyata wanita itu serius. "Lantas?"
"Ya, jadinya aku enggak tidur karena sibuk cari kodok. Untung ada tetangga yang pada bantu," ujar Raline.
"Kodoknya ketemu?" Jeffrey berusaha menghentikan tawa.
"Untungnya ketemu. Kalau enggak, kasihan Sintia," sahut Raline.
Ada rasa lucu sekaligus iba pada benak Jeffrey. Lucu oleh kepolosan Raline. Dan iba karena dia harus menjadi orang tua pengganti bagi adiknya, Sintia.
Raline kembali melanjutkan, "Kamu sudah sampai Jeff?" tanyanya.
"Ya. Aku sudah di rumah orang tuaku," jawabnya.
"Oh ..." Raline menganggukkan kepala.
Jeffrey seketika terdiam. Baru kali ini ia melakukan panggilan video tanpa tujuan. Dengan seorang wanita pula. Entah apa pikirannya, mungkin ia sudah tidak waras. Anehnya, Jeffrey tak ingin mengakhiri obrolan mereka.
"Apa kegiatanmu hari ini?" deham Jeffrey. Menjijikkan. Basa-basi macam apa ini?
"Tidak ada."
"Kamu lupa? Kamu kuminta membaca buku di perpustakaan rumahku, Raline," kata Jeffrey.
Raline mendekatkan wajah pada layar. Kini hanya sebagian matanya saja yang tampak. "Memang aku boleh ke sana siang-siang begini? Nanti stafmu pada bergosip."
"Sudah kubilang enggak apa-apa. Aku juga sudah menitipkanmu ke Bibi Marni," tegas Jeffrey. Ia tertegun menyorot bola mata Raline yang cokelat jernih.
Raline menarik kedua sudut bibir ke atas. "Makasi, Jeff. Tapi aku ..."
"Kenapa?"
"Aku kasihan sama Sintia karena sendirian terus akhir-akhir ini. Mungkin, aku akan ke rumahmu lusa. Apa boleh?"
Jeffrey merebahkan badan ke atas matras. Ia menggunakan tangan kiri untuk menyangga kepala. Raline adalah wanita paling tidak egois yang selama ini ia kenal.
"Ajak saja Sintia ke rumahku."
"Hah? Apa, Jeff?" Raline berseru tidak percaya.
Jeffrey mengeraskan suara. "Ajak saja adikmu ke rumahku. Dia bisa berenang atau nonton film. Kalau kalian mau, kalian juga bisa menginap di sana. Jarak antara rumahmu ke Citraland lumayan jauh. Aku akan suruh Bibi Marni menghubungi supir untuk mengantar Sintia pulang-pergi ke sekolah. Itu kalau kalian mau menginap."
"Kamu serius? Kamu enggak perlu melakukan itu. Aku dan Sintia segan menginap di rumahmu."
"It's okay, Raline. Aku mengizinkannya," ucap Jeffrey lembut.
Raline bengong memandang Jeffrey. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
"Terima kasih banyak, Jeff. Aku sangat menghargai semuanya. Terima kasih banyak," kata Raline. Intonasi suaranya bergetar --- mengekspresikan keharuan mendalam.
"Tidak perlu berterima kasih. Aku akan mengetes apa kamu belajar atau tidak selama aku pergi. Awas saja kalau tidak," ancam Jeffrey.
Raline cekikikan. "Kalau tidak apa?" tantangnya.
"Aku akan menunda orgasmemu berkali-kali," goda Jeffrey.
Mata Raline melotot. "Jeff!" sentaknya.
Senyum pada bibir Jeffrey terus terkembang. Ia heran mengapa bisa sangat menikmati pembicaraan tanpa arah bersama Raline. Semua terasa --- menyenangkan.
Seutas kerinduan menyerang relung Jeffrey dan menyengsarakannya. Namun, perasaan itu justru membuat jarak menjadi berarti. Jeffrey mulai menyadari makna Raline Lara dalam kehidupannya. Ia bahkan tak terpikir untuk bercinta dengan wanita itu. Yang Jeffrey mau sekarang mengusap pipi porselen Raline dengan lembut. Kemudian mengendus aroma citrus dari helai rambut peraknya.
"Apa itu?" Perhatian Jeffrey teralih pada tumpukan kertas pada meja di hadapan Raline.
"Oh ini? Aku sedang iseng menggambar tadi," jawab Raline.
"Aku baru tahu kamu bisa menggambar. Menggambar apa?" selidik Jeffrey penasaran.
"Cuma sketsa sembarangan saja," sahut Raline.
Jeffrey tersenyum. "Bisa membuat sketsa mukaku?"
Raline berdeham sebelum menjawab. Wanita itu sudah sering menuang wajah Jeffrey ke atas kertas. Tapi tidak mau mengakui. Khawatir Jeffrey semakin besar kepala.
"Ya, nanti kapan-kapan aku gambar," jawab Raline.
Jeffrey menyeringai. "Bisa gambar yang lain juga?"
"Apa?"
"Milikku, misalnya," kelakar Jeffrey.
Raline kembali melotot. "Jeff!" sungutnya salah tingkah.
Mereka berdua terus mengobrol layaknya pasangan kasmaran. Pembicaraan ke sana ke mari tanpa tujuan. Raline dan Jeffrey sama-sama tidak menyadari bahwa hati mereka telah saling bertautan.
***
Jeffrey melangkah masuk ke dalam restoran mewah yang berada di
Kemang. Seorang pelayan menyambut kedatangan Jeffrey dengan ramah.
"Sudah reservasi, Pak?" tanya si pelayan.
Jeffrey mengangguk. "Atas nama Anwar Bahadir."
"Mari, silakan," antar pelayan itu.
Jeffrey berjalan menyusuri ruang restoran yang mengusung masakan khas Amerika Selatan itu. Situasi lumayan lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang berada di sana.
Netra Jeffrey bertumbukkan dengan seorang wanita yang sedang duduk sendirian pada salah satu meja. Wanita bergaya elegan dengan kulit wajah semulus kaca. Wanita itu tampak gusar melihat kedatangan Jeffrey yang semakin mengarah padanya.
"Silakan, Pak," ucap si pelayan. Ia mempersilakan Jeffrey duduk satu meja dengan si wanita.
Suara mendecak keluar dari bibir berpemulas coral si wanita tadi. "Rupanya Om Anwar sedang menipu kita Jeff."
Jeffrey mendengkus dan terpaksa menjatuhkan bokong pada kursi.
"Sepertinya begitu," sahut Jeffrey.
"Apa kabar, Jeffrey?"
Jeffrey menatap dalam melalui sorot matanya yang pekat. "Aku baik. Kamu sendiri bagaimana, Adinda?"
Hola, Darls!
Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.
Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top