THIRTY-NINE
Jeffrey bernapas lega.
Dengan hati-hati, ia menyelimuti badan Raline dengan selimut. Wanita itu tertidur lelap setelah menghabiskan sepiring nasi. Jeffrey juga tenang karena Raline sudah meminum obat penurun demam.
Hujan masih turun secara intens. Jeffrey mulai menyesali keputusannya berpergian pada cuaca tidak menentu seperti ini. Semula, ia pikir bisa membuat Raline senang. Jeffrey membayangkan submisifnya bakal tertawa lebar ketika melihat hamparan bukit dan pepohonan rimbun. Jeffrey juga berpikir, Raline akan sibuk menjelajah ke sana ke mari.
Tunggu dulu!
Jeffrey mendadak gusar. Ia mengelus pelipis untuk menetralisir perasaan. Kenapa semua jadi tentang Raline? Tujuannya membawa wanita itu ke mari adalah untuk eksplorasi seksual. Jeffrey ingin mencoba berhubungan intim sambil dikelilingi jendela terbuka. Memacu adrenalin karena harus berhati-hati tak terlihat orang.
Jeffrey bukan seorang ekshibisionis seksual, yang gemar mempertontonkan keintiman untuk umum. Namun, ia memiliki sikap adventurous dalam bercinta agar lebih menyenangkan dan menantang. Jeffrey suka ketegangan yang diberikan.
Sekarang dia malah lupa tujuan awal. Prioritasnya berubah. Jeffrey bahkan tidak memikirkan soal seks sama sekali. Baginya, kesenangan dan tawa Raline adalah yang utama. Saking memikirkan submisifnya, tanpa pikir panjang Jeffrey menawarkan posisi penting dalam perusahaan untuk Raline.
"Asistenmu?"
Jeffrey mengangguk. "Bekerjalah denganku di the MAXIMAL."
"Apa kamu serius? Aku hanya tamatan SMA, aku tidak memiliki keahlian mumpuni untuk ..."
Jeffrey bergegas menyela, "Maka kita akan cari tahu apa kemampuanmu."
"Jeff?" Mata Raline yang sayu makin berkaca-kaca karena terharu.
"Aku yakin kamu memiliki sesuatu yang berguna untuk perusahaanku. Aku akan menuntutmu terus belajar untuk menggali bakatmu. Jadi berhentilah mempertanyakan eksistensimu. Berhentilah merasa bersalah pada Sintia, karena kamu memang asistenku. Paham?" tegas Jeffrey.
Air mata Raline kembali menitik. "Kenapa kamu melakukan ini untukku?" isaknya.
"Tentu saja untuk memerasmu, Raline Lara. Separuh gajimu akan masuk ke dalam kantongku. Sebagai ganti uang yang kukeluarkan untuk membayar Bayu," ujar Jeffrey penuh kesungguhan.
"Kamu serius, Jeff?" tanya Raline sangsi.
"Ini adalah cara agar kamu tak lagi menjuluki dirimu sebagai pelacur. Ribuan kali aku meyakinkanmu tidak akan berguna, Raline. Maka, bekerjalah untukku. Okay?"
Jeffrey pasti sudah gila.
Dia tidak memikirkan omongan pegawai dan para staf saat nanti melihat Raline beserta latar belakang pendidikannya. Masa bodoh. Toh itu adalah perusahaanku. Aku bosnya.
***
Sembari menunggu Raline terbangun, Jeffrey sudah sibuk mengutak-atik ponsel dan televisi. Ia mencoba screen mirroring dari gawai ke TV yang ada di kamar lantai dua. Seutas senyum kemudian terukir pada bibir Jeffrey yang tipis. Ada yang ingin ia tunjukkan pada Raline.
Jeffrey kembali melangkah menuju lantai atas, kepalanya mengintip dari balik pintu.
"Kamu sudah bangun?" Jeffrey mendatangi Raline yang menggeliat di balik selimut.
Raline menaikkan kepala. "Ya. Aku bosan tidur terus." Netranya melirik ke arah jendela dan atap yang terbuat dari kaca. "Hujannya belum berenti juga ..."
"Sepertinya aku salah memilih hari, kita bakal terjebak di sini seharian karena hujan. Kamu bosan?" Jeffrey duduk di sebelah Raline. Tatapan lelaki itu teduh memandang si submisif.
Raline menggeleng. "Aku nggak bosan, kok. Ini suasana baru, ada di sini saja sudah menyenangkan bagiku," katanya.
Jeffrey tersenyum. Hatinya plong karena Raline sudah ceria seperti biasanya. Wanita di mana-mana sama saja, amarah mereka bisa reda setelah diberi hadiah. Raline juga begitu, emosinya kembali stabil setelah Jeffrey menawari posisi di kantor. Dasar!
Tapi Jeffrey tak peduli. Raline adalah wanita istimewa. Apa pun yang ia inginkan, Jeffrey akan berusaha memberikan. Sebegitu besar arti wanita itu bagi si dominan, hanya saja ia tetap mencoba munafik akan asa.
"Ikut aku ke bawah. Ada yang mau kutunjukkan," ajak Jeffrey.
Raline beringsut bangun. "Iya," sahutnya.
Namun, Jeffrey bergegas mencegah Raline bangkit. "Aku gendong."
"Jeff, aku?" Raline terkesiap. "Aku masuk angin, bukan lumpuh."
Jeffrey tak acuh. Ia meletakkan satu lengan mengelilingi punggung dan lengan satunya pada lutut Raline. Secara hati-hati, Jeffrey pun mengangkat tubuh langsing itu ke dalam gendongan.
"Astaga, Jeff!" Raline salah tingkah. Ia merapatkan badan, tetapi tak berani menyentuh si dominan. Khawatir hal tersebut akan mengusik Jeffrey.
Jantung Raline serasa mau meledak. Ini kali kedua Jeffrey menggendongnya. Yang pertama saat lelaki itu datang menyusul di JW Marriot. Lalu sekarang. Raline merasa diperlakukan bak seorang putri. Setiap hari, ada saja kelakuan dari Jeffrey yang membuat Raline semakin jatuh cinta.
Mendadak, Raline malu sendiri. Sejak pagi ia sudah bersikap dingin kepada dominannya.
"Jeff, emang enggak berat?" tanya Raline malu-malu.
"Berat. Pinggangku sampai mau patah!" goda Jeffrey.
Raline membelalak. "Ih, masa? Yaudah aku turun aja!" serunya.
Tawa Jeffrey pecah. "Aku cuma becanda. Jangan goyang-goyang. Aku mau turun tangga," ucapnya.
Raline mengerucutkan bibir. Ia menyandarkan kepala pada dada Jeffrey yang bidang. Aroma woody bercampur bargamot dan amber menguar dari tubuh lelaki itu. Saat menelisik lebih jelas, mata Raline mampu menangkap bintik-bintik matahari pada wajah Jeffrey. Freckles yang malah membuat fiturnya makin manis dan menggemaskan. Bibir Jeffrey juga tampak merah dan lembut jika dipandang dari dekat. Bibir yang sama yang mencumbu setiap jengkal tubuhnya.
Raline berdeham. Seketika, ia makin salah tingkah. Mesum! Masa kerena melihat wajah Jeffrey saja, aku sudah horny?
"Kenapa? Tenggorokanmu sakit?" selidik Jeffrey.
Raline menggeleng. "Nggak, kok," elaknya.
Mereka akhirnya tiba di kamar Jeffrey yang berada di lantai dua. Pelan-pelan, Jeffrey membaringkan badan Raline ke atas ranjang. Ia memperlakukan submisifnya seolah bayi.
Raline kian berdebar. Apakah alasan Jeffrey membawanya turun adalah untuk bercinta? Badannya masih lemas dan linu, tetapi, ia tidak akan menolak jika lelaki itu berniat menggaulinya.
"Lihat ini." Jeffrey menyalakan televisi dan menggulir ponsel.
Raline tertuju ke arah layar kaca. Senyumnya terkembang ketika menyorot tayangan yang terputar.
"The Little Mermaid? Kita bisa menontonnya di sini?" tanya Raline antusias.
Jeffrey mengulum senyum. "Aku download di ponsel dan mirroring ke TV. Seingatku kamu belum tamat menontonnya, 'kan?"
"Kamu melakukan itu, Jeff?" Raline terenyuh. Perbuatan Jeffrey memang tergolong sederhana tetapi begitu sarat makna.
Jeffrey menjawab dengan anggukkan kepala.
"Makasi, ya," ucap Raline membisik.
Jeffrey lantas meletakkan jari telunjuk pada bibir. "Sssh. Jangan berisik. Kartunnya sudah dimulai," gumamnya. Ia merebahkan bokong di sisi Raline. "Lupakan versi aslinya. Ingatlah versi kartunnya dalam memorimu. Okay?"
"Ending-nya berbeda?" tanya Raline antusias.
"Sangat," jawab Jeffrey.
Raline pun memalingkan pandangan pada televisi, larut dalam tayangan kesukaannya. Sementara, Jeffrey hening menatap tablet. Jarinya sibuk menggeser sana-sini, terkadang mengetik. Ia membunuh waktu dengan membaca ulang surel mengenai market research yang dikirim oleh tim pemasaran.
Mereka berdua larut dalam kesibukan masing-masing. Meski begitu, hati keduanya terpaut.
Deras hujan makin melemah. Berganti dengan rintik kecil yang mengantar datangnya senja. Udara dingin menyelimuti ruangan walau tanpa AC sekali pun. Sayup-sayup, suara nyanyian kodok bersahutan dengan jangkrik. Waktu terasa lambat. Kehidupan jauh dari perkotaan memang menenangkan dan damai.
Jeffrey terlalu berfokus pada pekerjaan, hingga tanpa terasa Raline telah menyelesaikan tontonannya. Kedua alis tebal lelaki itu sedikit berkernyit. Bola matanya berkilat terkena pantulan cahaya biru perangkat elektronik. Ekspresi Jeffrey serius.
Ia tidak tahu kalau sedari tadi Raline memandanginya dengan kekaguman. Bullshit jika ada yang bilang wajah bukan hal utama. Buktinya, Raline sekarang tergila-gila oleh ketampanan Jeffrey yang paripurna.
Bibir Raline senyum-senyum sendiri. Sore ini indah. Ia mendapatkan akhir bahagia dari kisah yang semula menyedihkan. Jeffrey memperlakukannya baik dan penuh perhatian. Lalu, tempat mereka bernaung juga romantis.
"Sudah selesai?" Jeffrey menoleh.
Raline bergegas membuang muka. "Su-sudah. Baru saja," kelitnya. Ia panik karena khawatir Jeffrey bakal memergokinya.
"Kok enggak bilang?" sahut Jeffrey. "Mau nonton film lain?"
"Nggak usah," jawab Raline.
Jeffrey pun meletakkan tablet di nakas dan mematikan televisi. Ia menuruni ranjang dan bersiap keluar kamar.
"Kupanaskan makanan. Kamu harus minum obat lagi agar demammu tidak kambuh," ujar Jeffrey. "Tunggu, ya."
Raline menyingkap selimut dan menegakkan punggung.
"Jeff!"
Jeffrey urung melangkah pergi. Lelaki itu menoleh ke arah Raline --- menunggu maksud dari panggilan sang submisif.
Pipi Raline memanas. Bibirnya sedikit gemetar karena ragu. Seketika, Raline menelan ludah kasar. "Jeff, aku belum lapar," katanya.
Sejurus kemudian, mata bersorot kelam itu pun menatap Raline dengan lamat.
"Jangan ..." Raline berdeham. "Jangan pergi. Tetaplah di sini, bersamaku. Bisakah?"
Mata keduanya saling beradu.
Seutas seringai tipis terukir pada bibir Jeffrey. "Bersamamu?" tanyanya.
"Ya," jawab Raline malu-malu.
"Untuk apa? Kamu tahu, 'kan, aku tidak akan menemanimu tidur. Dan lagi, masih terlalu awal untuk beristirahat," pancing Jeffrey. Sorot mata lelaki itu mulai nakal.
"A-aku juga tidak berniat untuk tidur." Raline tertunduk. Wajahnya makin bersemu merah.
Jeffrey kembali menaiki kasur. Ia mencondongkan badan mendekati Raline. "Terus?" tanyanya lagi.
Raline menengadahkan kepala untuk mencari mata Jeffrey yang pekat. "Lakukan itu padaku ..." bisiknya.
"Lakukan apa, Raline Lara?"
Raline menggigit bibir bawahnya. Akibat pergerakan kecil yang ia lakukan, senyum Jeffrey makin terkembang. Jeffrey tahu betul apa yang diinginkan wanita itu. Namun, membuatnya memohon dan meminta terlebih dulu cukup menggairahkan juga.
"Bercinta ... denganku," kata Raline.
"Bukannya kamu masih sakit?" tanya Jeffrey lagi.
Raline menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja."
Jeffrey menggeser badannya lebih dekat. Netranya menelisik Raline dengan tatapan penuh gairah. "Jadi, sekarang kamu sedang turn on? Hmm?" godanya.
"Mungkin." Napas Raline mulai memburu karena debaran jantung yang tidak karuan.
"Oh ya?" Jeffrey tersenyum. "Coba buka pakaian sekarang. Aku ingin melihat tubuhmu yang sedang bernafsu."
Darah Raline berdesir.
Jeffrey selalu memiliki cara memanaskan hasratnya. Tanpa menunggu lama, Raline lantas membuka kancing kemejanya satu per satu. Ia lalu menurunkan pakaiannya hingga menampakkan dada yang masih terbungkus oleh bra. Selanjutnya, masih dalam posisi duduk di atas ranjang, Raline melucuti trouser shorts ke bawah. Wanita itu kini hanya mengenakan dalaman.
"Semuanya, Raline Lara," titah Jeffrey.
Raline semakin salah tingkah. Namun, ia tetap menuruti permintaan sang dominan. Raline menyelipkan tangan ke belakang untuk membuka kaitan bra. Saat penutup itu terjatuh, dua gundukan kenyal dan sekal menyembul keluar. Puncak merah mudanya sudah menegang.
Pelan-pelan, Raline beralih melepas celana dalam berendanya. Memberi pemandangan erotis untuk Jeffrey yang semakin terangsang. Bagian bawah wanita itu ditumbuhi rambut-rambut halus. Titik sensitifnya seolah mengintip dari balik lipatan, sangat menggoda. Sementara bibir kewanitaan Raline tampak lembut dan menyembul memerah.
Jeffrey berdecak kagum.
"You're always f*cking sexy, Raline Lara."
Hola, Darls!
Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.
Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top