THIRTY-FIVE

Mulut Raline dan Sintia kompak menganga dengan pandangan fokus tertuju pada layar kaca. Sedari sore, dua kakak-beradik itu maraton menonton animasi keluaran Disney. Smart TV berukuran 55 inch yang tersedia di ruangan perpustakaan rumah Jeffrey membuat Raline dan Sintia terlena. Ini merupakan pengalaman baru untuk keduanya menonton film kartun. Maklum, televisi punya mereka sudah butut, gambarnya buram pula. Lagi pula, mana ada biaya buat pasang wifi di rumah. Jadi kalau bukan sinetron keluaran lokal --- ya paling nontonnya kartun buatan Malaysia tentang dua kembar yatim.

Sekarang Raline dan Sintia sedang menyaksikan The Little Mermaid, kisah si duyung Ariel yang bermimpi menjadi manusia. Ketika Ariel akhirnya menukar suara dengan sepasang kaki, mata Raline berkaca-kaca karena terenyuh. Ia merasa memiliki kemiripan dengan Ariel. Selain itu bagi Raline, Prince Eric tampannya sama seperti Jeffrey. Alis tebal dengan netra pekat dan kelam. Kurang berewoknya saja.

Raline sangat penasaran dengan akhirnya, apakah Ariel akhirnya bisa bersatu dengan Sang Pangeran Impian. Seolah itu adalah jawaban dari masa depannya dengan Jeffrey. Saking antusiasnya, tidak sedetik pun mata Raline berkedip.

Sintia bersandar pada sofa. Ia menguap lebar. "Mataku panas, Mbak, nonton terus," katanya.

"Ya sudah. Istirahat. Selonjoran di sini," sahut Raline. Pandangannya masih terpaku pada layar.

Dahi Sintia berkernyit. "Memang bosmu nggak marah kalau kita lama-lama nonton di rumahnya?"

"Nggak. Aku sudah izin. Dia bahkan memperbolehkan kita untuk menginap di sini. Kamu mau menginap apa pulang?" tanya Raline.

Sintia membelalak. "Serius? Nginap? Di rumah mewah kayak hotel begini? Beneran?" Ia berbalik tanya.

"Iya," jawab Raline. "Jeff ... ehm ... Pak Jeffrey sedang di luar kota. Minggu depan baru kembali. Dia meminta Mbak untuk banyak baca buku biar pintar."

"Huh?" Dahi Sintia berkerut. "Kok sekarang Mbak malah nonton film? Bukannya belajar?"

Raline berdeham. "Belajar bisa dari mana saja. Nonton ini juga termasuk nambah ilmu pengetahuan, 'kan?" kelitnya.

"Ih, Mbak. Bisa-bisanya. Kartun mau belajar apa? Nanti Mbak dimarahin, lho." Sintia menggelengkan kepala.

Biar saja. Batin Raline, ia malahan menanti Jeffrey menghukumnya. Meski, Raline memang berniat untuk belajar --- tapi besok.

Sintia kembali menguap. Ia membaringkan kepala pada paha kakaknya. Gadis kecil itu memiringkan badan sembari menatap televisi. Semakin lama, sorot Sintia makin sayu. Ia pun akhirnya terlelap nyenyak dan pulas.

Sementara sang adik tertidur, Raline masih serius menonton. Ia bahkan mengacuhkan bunyi denting pada ponsel.

Suara notifikasi pesan kian bertambah tak berhenti. Raline akhirnya meraih gawai karena penasaran. Belum pernah ponselnya seramai ini sebelumnya. Entah siapa yang mengirimkan pesan bertubi-tubi.

Wanita berambut perak itu lantas terkesiap ketika mengetahui Jeffrey-lah yang memberondonginya dengan puluhan pesan.

JEFFREY
Kamar bermain sekarang!

Raline.

Raline Lara!

Aku benar-benar akan memberimu hukuman!

Raline.

RALINE!

"Jeffrey?" Raline membisik.

Apakah malam ini Jeffrey menginginkan panggilan video seksual lagi? Bukankah mereka baru saja melakukannya tadi pagi?

Raline mendadak gamang karena belum menuntaskan kartunnya. Ia pun mengambil remote dan menekan tombol jeda. Dengan hati-hati, Raline mengangkat kepala Sintia dan memindahkannya ke atas bantal empuk.

Ia kemudian berjalan keluar perpustakaan untuk pergi ke kamar bermain. Raline melirik waktu pada ponsel, sudah jam sembilan malam. Pantas saja Sintia mengantuk. Hatinya sedikit waswas karena meninggalkan Sintia sendirian pada ruangan penuh buku tersebut. Namun, ia akan menjelaskan kekhawatirannya pada Jeffrey saat melakukan panggilan video nanti.

KREK. Raline memutar handle pintu dan melangkah masuk. Kamar bernuansa hitam dan merah itu hanya diterangi oleh cahaya temaram.

"Malam, Raline Lara."

"Ya Tuhan!" Raline tersentak hingga menjatuhkan ponsel yang ia genggam. Mata wanita itu melotot penuh ketidak percayaan. "Jeffrey?!" serunya.

Jeffrey yang duduk di atas ranjang, mengulas senyum tipis. "Kulihat kamu sedang asyik menonton dengan adikmu," katanya.

"Kamu ada di sini? Kamu sudah pulang?" Raline masih mematung.

Jeffrey berdiri dan melangkah menghampiri submisifnya. "Urusanku di sana sudah selesai. Aku memutuskan untuk pulang lebih awal."

Jantung Raline berdegup kencang. Betapa ia sangat ingin menghambur untuk memeluk Jeffrey. Mengaitkan kedua lengan untuk merengkuh pinggang Jeffrey yang kokoh.

"Aku benar-benar tak menduga ini, Jeff," gumam Raline.

"Tidak suka lihat aku pulang?" Jeffrey membelai pipi Raline. Kulit mereka akhirnya saling bertemu.

Raline memejamkan mata dan menyandarkan kepala pada telapak Jeffrey. Ia sedang meresapi sentuhan lelaki itu --- mengendus aroma woody yang begitu dirindukan.

"Tentu saja senang." Raline membisik.

"Kamu mau menginap di sini?" tanya Jeffrey.

"Apakah boleh?" Raline berbalik tanya.

"Ini sudah malam, menginaplah," ujar Jeffrey. "Apa adikmu masih menonton?"

Raline menggeleng. "Dia tertidur. Aku meninggalkannya di perpustakaan setelah membaca pesanmu. Kukira kamu ingin melakukan panggilan video lagi."

Jeffrey membungkuk untuk mengambil ponsel Raline yang terjatuh di lantai. Ia tersenyum.

"Cukup satu kali saja." Jeffrey menyodorkan gawai tersebut pada Raline. "Aku tak mau mengulanginya lagi."

Raline menerima ponselnya. Ia kemudian menengadahkan kepala untuk menatap kedua bola mata pekat Jeffrey.

"Kenapa?" tanya Raline.

"Itu menyiksaku. Karena tak bisa menyentuhmu." Jeffrey menarik dagu Raline dan mendaratkan ciuman ganas.

Raline yang tak menduga tindakan Jeffrey pun memundurkan tubuhnya. Namun, Jeffrey menahan pinggang wanita itu dan mendekapnya. Ia tak berniat melepaskan tautan bibir mereka. Jeffrey begitu haus akan rasa dari cumbuan mereka.

"Ehmh," desah Raline. Ia seakan kehabisan napas akibat ciuman panas yang Jeffrey lakukan.

Sentuhan bibir Jeffrey laksana bensin yang membakar bara dalam dada Raline. Pergumulan lidah mereka membuat bagian bawah Raline kembali berdenyut minta diisi. Jeffrey telah mengenalkan dunia baru kepada Raline. Sebuah dunia yang berisikan kenikmatan seksualitas tanpa batas.

Sambil terus berpagutan, Jeffrey menuntun Raline semakin masuk ke dalam kamar. Ia bergegas menutup pintu dan mendorong tubuh seputih kapas di hadapannya merapat ke dinding. Ciuman Jeffrey kemudian turun ke area leher dan seputaran tulang selangka Raline.

Akibat kecupan hangat itu, mata Raline terpejam menahan geli. Ini dia. Inilah sentuhan yang teramat Raline nantikan. Sensasi nyeri akibat goresan dari bakal jangut Jeffrey yang kasar. Kemudian, rasa kulit mereka yang saling menempel dan memanas.

Raline ingin lebih. Ia tidak sabar menunggu permainan baru yang akan Jeffrey lakukan padanya.

Jeffrey lalu menyingkap atasan puff sleeve yang dikenakan oleh Raline. Secara kasar, Jeffrey segera melepas kaitan bra submisifnya. Lelaki itu tidak sabar memainkan kedua bongkahan kenyal yang sangat ia rindukan. Setelah melempar pakaian dalam Raline sembarangan, Jeffrey pun menunduk dan segera melahap gundukan bulat itu. Kedua tangannya meremas dada Raline. Sementara mulut Jeffrey sibuk menyusu dari satu sisi ke sisi lainnya. Ia mengisap puting Raline dengan gemas. Jeffrey bahkan sesekali menarik puncak menegang itu kuat-kuat. Lidahnya lihai menyapu basah puting Raline yang merah muda.

Desahan Raline makin menjadi saat jemari Jeffrey membantu memberikan rangsangan. Jari-jari itu memilin dan memelintir puncak dada secara intens. Bagian bawah Raline semakin sering berdenyut akibat segala rangsangan buas yang Jeffrey beri. Wanita berambut perak itu yakin, miliknya pasti sudah lembap.

"Apa yang akan kamu lakukan padaku kali ini, Jeff?" tanya Raline.

Jeffrey menyeringai. "Shibari," jawabnya.

***

Cahaya bulan berpendar dari balik awan. Beberapa mata menyorot ke arah sosok lelaki yang jalannya terseok-seok. Lelaki itu menembus gelapnya jalanan gang sambil menyenandungkan lagu dari mulut.

"Sui ra ketok, Yu*!" sapa salah seorang tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah.
(*Lama tidak kelihatan, Yu!)

Bayu terkekeh. "Ya ngene iki, Bos. Sibuk golek duek," sahutnya.
(Ya beginilah, Bos. Sibuk nyari uang)

"Pancet ae kelakuanmu, Yu. Ati-ati, lo," ujar si tetangga seraya mengipas-kipas badannya dengan secarik kertas.
(Kelakuanmu sama saja. Hati-hati, lo)

Bayu menjulurkan jempolnya tinggi-tinggi. "Beres!" Meski banyak teman seprofesinya dulu sudah pensiun, tidak dengan Bayu.

Ia masih sangat aktif menjadi muncikari. Apa lagi, pelanggan-pelanggan Bayu semuanya parlente. Tidak ada, tuh, anak-anaknya yang jualan di pinggir-pinggir jalan. Atau main di motel murahan kelas teri.

Hati-hati, katanya?

Apa yang mesti Bayu takutkan? Salah satu angel-nya merupakan langganan orang berpangkat tinggi dalam satuan pengamanan. Itulah sebabnya, Bayu selalu lolos meski berulang kali tertangkap saat razia.
(Angel adalah bahasa halus untuk pelacur)

Bayu lantas mendorong pintu rumah. Namun usahanya gagal, pintu itu terkunci. Biasanya Raline jarang mengunci rumah. Sudah begitu, dari jendela luar, tampak tidak ada lampu yang menyala.

"Raline! Sintia!" seru Bayu menggedor-gedor.

Sunyi. Tidak ada jawaban.

"Line! Bapak pulang! Sintia!" teriak Bayu lebih keras.

Bahu lelaki itu tersentak ketika Evi tiba-tiba sudah ada di belakangnya.

"Sintia sama Raline keluar. Percuma mau ketuk-ketuk sampai subuh enggak bakal ada yang nyahut!" ujar Evi.

Mata Bayu melotot. Mana mungkin anaknya kabur lagi. Belum puas apa dihajar sampai babak belur.

"Keluar?!" sungut Bayu.

Evi mengangguk. "Kata Sintia mau main ke rumah Bosnya si Raline. Emang saiki Raline kerja apa, to, Bay?"

Gerutu Bayu berganti senyum semringah. Ada lagi alasan untuk meminta uang pada si Sultan Citraland kesayangannya.

Hola, Darls!

Makasi sudah setia nungguin Raline-Jeffrey.

Cerita ini bisa kalian baca utuh tanpa potongan di Aplikasi BESTORY. Silakan pilih bab mana yang mau dibeli. Cukup 2000 rupiah aja!








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top