THIRTEEN
Jeffrey baru kali ini melihat kesetiaan wanita yang mampu melebihi seekor anjing. Puluhan wanita yang pernah menjadi partner submisifnya, tak ada yang seperti seorang Raline Lara. Apa dia bodoh? Atau kelewat dungu?
Raline Lara menanti Jeffrey dalam kondisi yang sama. Mematung dan terikat.
Padahal, ia bisa saja melepaskan tautan dasi Roberto Cavalli milik Jeffrey. Tapi, wanita itu memilih tak melakukannya. Dia patuh --- sangat patuh.
Terbiasa menjadi seorang lelaki berwatak keras dan dingin, Jeffrey memilih menyembunyikan emosinya. Meski relung lelaki itu terenyuh sekaligus kasihan sekali pun. Ia enggan Raline Lara akan besar kepala.
Alih-alih menyapa Raline, Jeffrey menyambar ponsel dan memeriksa video di galerinya. Raline Lara memang mematuhinya. Video berdurasi puluhan jam itu adalah buktinya.
Raline memandang sosok Jeffrey dengan sorot mata membola. Ia sudah kehilangan akal sehat akibat jatuh cinta kepada sang CEO tampan. Raline memang pantas disebut budak. Budak Cinta.
Jeffrey mengangkat telepon dan terdengar berbicara dengan staf hotel. Lelaki itu lalu kembali menghampiri Raline dan berjongkok.
"Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Raline.
Jeffrey menjawab dengan anggukkan kepala. Dengan hati-hati, ia membuka ikatan dasinya. Netra pekat Jeffrey mampu menangkap bekas kemerahan tertoreh di pergelangan Raline.
Tanpa banyak bicara, Jeffrey melepaskan jas dan melipat lengan kemejanya. Lelaki itu mengisi bathtub dengan air hangat. Saat bak sudah terisi separuh, Jeffrey menoleh ke arah Raline dengan tatapan penuh kasih.
"Kemarilah," panggil Jeffrey.
Raline menggerakkan tubuhnya yang terasa kebas, wanita itu sangat letih hingga tak kuat berdiri. Raline hampir terpeleset bak anak rusa yang baru belajar berjalan, beruntung Jeffrey menahan tangannya.
"Maaf ... aku ..." gumam Raline. "Kakiku sepertinya kesemutan."
Bibir Jeffrey melengkung ke atas. "Kamu tidak perlu meminta maaf," sahutnya.
Jeffrey lantas membimbing Raline masuk ke dalam bathtub yang berisi air hangat. Lelaki itu duduk di tepian bak dan menuangkan sabun beraroma wangi.
Mata Raline berbinar bak bintang. Tidak sekejab pun ia memalingkan pandangan dari sosok Jeffrey --- lelaki yang ia kagumi. Raline belum mampu mencerna apa yang akan Jeffrey lakukan padanya, tapi ia memilih pasrah.
"Apa airnya terlalu panas?" tanya Jeffrey.
Raline menjawab dengan gelengan kepala. Wanita itu mendadak tersentak saat Jeffrey mengusap dan memijat pelan kepalanya.
"Jeff?" Raline menoleh ke belakang.
"Diamlah. Nikmati saja," bisik Jeffrey. Lelaki itu dengan telaten mengeramasi rambut Raline. Sesekali jemarinya mengusap tengkuk Raline.
Jantung Raline bertabuh berantakan. Baru kali ini ia merasa diperlakukan bagai Ratu. Jeffrey adalah manusia pertama yang memberi Raline kasih sayang. Cinta yang tidak pernah Raline dapatkan sedari dirinya kecil.
"Apa kamu tadi pergi bekerja?" tanya Raline.
"Ya," jawab Jeffrey.
"Di mana?" tanya Raline lagi. Rasa penasarannya menyamai seorang anak berusia lima tahun.
Jeffrey tersenyum simpul. "Di sini," katanya.
"Oh, jadi kamu bekerja di hotel ini? Makanya kamu bisa tahu Ko Daniel dan aku menginap di kamar ini. Bagian apa? Apa kamu manajer?" cecar Raline.
Jeffrey merasa lucu dengan kepolosan Raline. Ia memilih diam dan tak menjawab. Sebaliknya, lelaki itu terus memijat lembut punggung dan lengan Raline yang licin oleh busa sabun.
Raline menarik tangannya. "Jeff, kurasa sudah cukup. Kamu pasti capek seharian bekerja. Setahuku, kerja di hotel itu melelahkan. Kamu tidak perlu memijatku lagi," ujarnya.
Jeffrey bergeming. Dadanya sembilu seolah dihantam oleh belati. Raline Lara memang wanita pandir. Bisa-bisanya ia menghawatirkan orang lain sementara ia sendiri sepucat kertas.
Harusnya wanita ini tahu, Jeffrey sedari tadi menikmati pesta dan bersenang-senang.
"Aku akan membilas badanmu," ucap Jeffrey. Ia pun membersihkan sisa sabun yang menempel pada tubuh Raline. Kucuran air hangat pada shower menimpa tubuh Raline yang mulai menghangat. Wanita itu tampak lebih merona ketimbang tadi.
Secara perlahan, Jeffrey membantu Raline berdiri dan memakai handuk. Saat Raline hendak berjalan keluar, Jeffrey mendadak menggendongnya.
"Ya Tuhan?" seru Raline.
"Aku tidak akan membiarkanmu berjalan, Raline." Jeffrey menatap Raline melalui bola matanya yang pekat.
Wajah Raline bersemu merah. Hatinya berbunga tak karuan mendengar Jeffrey menyebut namanya. Suara lelaki itu begitu indah, merdu menembus jantung hati Raline yang beku.
Raline Lara ...
Terdengar begitu menggairahkan dan eksotis ketika meluncur dari bibir Jeffrey. Raline menempelkan kepalanya pada dada Jeffrey yang bidang. Wanita itu mampu mengendus aroma woody menguar dari leher Jeffrey. Aroma yang menenangkan ... wangi yang ia rindukan.
Jika Tuhan hendak mengambil nyawanya sekarang, Raline pikir ia ikhlas. Ia akan mati tersenyum sambil membawa rasa cintanya yang membuncah. Cinta kepada Jeffrey. Lelaki paling tampan di seluruh galaksi.
Jeffrey menurunkan tubuh Raline ke atas ranjang. Tak selang beberapa lama, bel kamar pun berbunyi. Jeffrey bergegas membuka pintu dan menerima nampan berisi aneka makanan yang diantarkan oleh staf hotel. Seharusnya pada jam seperti ini, dapur hotel belum beroperasi. Namun, apa yang tidak bisa Jeffrey dapatkan selama ada uang.
"Kamu lapar, 'kan?" tanya Jeffrey.
Raline menggeleng malu. "Ehm, enggak kok," dustanya.
Jeffrey memicingkan mata. "Aku akan tanya sekali lagi, dan aku mengharapkan jawaban jujur. Kamu lapar, 'kan?" ulangnya.
Raline tertunduk dan memandang Jeffrey melalui bola mata yang membulat. "Ya. Aku memang lapar ..." jawabnya.
"Kalau begitu, kamu harus makan," kata Jeffrey. Ia meletakkan nampan berisi bubur daging, potongan buah, dan seiris kue cokelat yang tampak sangat menggiurkan.
Raline menelan saliva. "Ini semua untukku?"
"Iya. Memang buat siapa lagi?" Jeffrey terkekeh --- menampakkan barisan gigi yang putih dan berjajar rapi.
Ya Tuhan, dia memang tampan. Raline tersipu-sipu salah tingkah. Ia lantas meraih sendok dan bersiap menyantap buburnya.
Jeffrey merebut sendok di tangan Raline. Lelaki itu berdecih. "Siapa bilang kamu akan makan sendiri? Aku akan menyuapimu."
"A-apa?" Raline mengerjap tak percaya.
"Kamu bilang akan menurutiku, Raline ..." ujar Jeffrey.
Raline sigap mengangguk. "Baiklah. Tapi, aku takut merepotkanmu."
"Tidak. Justru aku menyukai ini. Aku menyukaimu yang berada di bawah kendaliku," ungkap Jeffrey. Ia kemudian menyendokkan sesendok bubur daging dan menyodorkannya ke mulut Raline.
Raline menerima suapan dari Jeffrey. Tidak ada lagi pembicaraan yang terucap di antara mereka. Suasana kamar sangat sunyi dan syahdu. Raline tak mendengar apapun selain detak jantungnya. Detak yang tak karuan berada berdekatan dengan Pangeran idamannya.
"Aku sudah kenyang," kata Raline.
"Makanmu tidak banyak. Bukankah kamu belum makan dari sore?" selidik Jeffrey.
"Aku memang tidak membiasakan makan banyak," terang Raline.
Jeffrey menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"
"Mungkin sejak menjadi dancer, aku harus menjaga jumlah makananku. Pekerjaan menuntutku untuk memiliki tubuh yang lean." Raline mengelap bibirnya dengan tisu.
"Kamu masih bekerja sebagai dancer?" tanya Jeffrey lagi.
Raline menggelengkan kepala. "Tidak lagi. Bayu melarangku."
"Kenapa?" Jeffrey menyorot Raline dengan lekat.
"Karena ia memberiku pekerjaan baru sekarang," ucap Raline membisik.
Sebagai wanita tuna susila? Jeffrey mendengkus. "Kamu bisa menolaknya, 'kan? Kamu sudah cukup dewasa."
Mata Raline berkaca. "Andai aku bisa menolaknya. Tapi, aku punya adik yang masih bergantung kepada Bayu. Aku hanya berusaha melindunginya."
"Tidak masuk akal, Raline. Kamu bisa saja pergi dari Bayu. Pikirkan dirimu sendiri," sanggah Jeffrey.
Raline menggeleng. "Tidak semudah itu, Jeff. Kamu hanya tidak tahu kalau di luar sana, banyak orang yang memiliki kehidupan yang serba sulit. Dan aku termasuk di antaranya."
Jeffrey dan Raline saling beradu pandang. Lelaki itu menelisik tiap inci fitur wajah Raline yang elok. Terlalu sayang untuk menjadi seorang pelacur.
Raline kembali melanjutkan, "Tujuanku datang ke rumahmu tempo lalu juga demi mencoba mengubah pemikiran Bayu. Bayu pikir, aku adalah alasanmu tidak mau lagi berurusan dengannya. Andai saja kamu tetap memakai jasa Irma, mungkin Bayu tidak akan memaksaku untuk menjadi pelacur."
"Aku memang tak ingin berurusan lagi dengan Bayu," dengkus Jeffrey. Dan itu memang benar karenamu, Raline Lara.
"Tapi, sekarang aku tenang, Jeff. Kamu akan selalu membantuku, bukan?" Raline memandang Jeffrey dengan pandangan berbinar.
Jeffrey mengambil sepotong cake dan kembali menyuapi Raline. Ia memilih tak menjawab pertanyaan Raline yang terdengar naif.
"Enak?" tanya Jeffrey saat Raline merasakan potongan pertamanya.
"Enak," jawab Raline.
"Kamu mau lagi?" tawar Jeffrey.
Raline menolak, "Sudah cukup. Aku sudah kenyang. Terima kasih."
Sebuah seringai terulas pada bibir Jeffrey yang merah. "Kalau begitu sekarang giliranku untuk makan."
"Astaga," seru Raline. "Apa yang akan kamu makan? Aku hampir menghabiskan semua buburnya."
Jeffrey menangkupkan telapak di pipi porselen Raline. "Kamu yang akan kumakan."
Hola, DARLS!
KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.
Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top