SIXTY-SEVEN
"Bagaimana kalau aku jatuh cinta pada si Rafli Hardiawan?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Irma membuat Bayu tersedak bukan main. Ia mematikan puntung rokok dan melotot tajam pada wanita berpakaian sheath dress itu.
"Kon wes gendeng, ta, Ma?!" sembur Bayu.
(Kamu sudah gila, ya, Ma?)
Irma mengerucutkan bibir seraya memain-mainkan ujung rambut peraknya. "Habis, dia bener-bener lelaki yang karismatik banget, Mas Bayu. Tipikal Sugar Daddy idamanku banget. Tiap dia memelukku, rasanya aku mendadak horny."
"Jangan main-main kamu!" Bayu mengarahkan telunjuk pada wajah Irma. "Kamu sekarang adalah anaknya! Kamu itu Raline," tegasnya. "Kalau kamu sembrono sedikit saja, bisa hancur semua rencana kita!"
Irma menghela napas. "Hmmh, ya, ya, ya," sungutnya.
"Kamu harus segera menyelidiki soal kondisi kesehatan Rafli. Kalau dia memang mau mati, itu keberuntungan buat kita. Tapi kalau ternyata kondisinya baik-baik saja, kamu harus segera mendesaknya untuk memberikanmu banyak barang-barang mahal!" titah Bayu.
"Dia baru saja membelikanku rumah ini dan mobil. Aku tidak bisa meminta hal lain dalam waktu dekat!" protes Irma.
"Kamu harus bisa!" sanggah Bayu. "Kamu harus membujuknya untuk memberikanku uang. Ingat rencana kita."
"Kebohongan tentang kamu yang ingin buka usaha pencucian mobil di Surabaya, 'kan?" sahut Irma.
Bayu mengangguk. "Betul! Kita nggak boleh menyia-nyiakan waktu. Manfaatkan tiap detiknya untuk mendapatkan keuntungan dari si Rafli."
Irma mengempaskan badan ke atas sofa beludru berwarna mulberry. Ia mendesah berat. "Aku sedikit terusik dengan si Adinda itu. Dia selalu berusaha menghalangi rencanaku."
"Wajar. Mana mungkin dia bisa menerima kehadiranmu begitu saja," kata Bayu. "Tak perlu menjadikan Adinda sebagai ancaman. Fokus saja dengan tujuan kita."
Irma terdiam.
Raut wajahnya mengialkan kalau ia sedang memikirkan sesuatu. "Selain itu ... tentang tunangannya, si Jeffrey."
"Kenapa lagi?!" decak Bayu. "Jangan bilang kalau kamu juga nafsu lihat dia!"
Irma mendecih. "Bukan!" sanggahnya. "Aku tuh kayak pernah dengar suaranya." Matanya mendadak terbelalak. "Mas Bayu, jangan-jangan dia itu Jeffrey yang sama dengan Jeffrey klienku dulu!"
"Jeffrey gadun-nya si Raline?" tanya Bayu.
Irma menjawab dengan anggukkan kepala.
Bayu mengibaskan tangan. "Yang namanya Jeffrey nggak hanya satu! Dan lagi, Jeffrey gadun-nya Raline itu lelaki tua bangka. Bukan lelaki muda seperti calon kakak iparmu itu. Kalau tidak salah Jeffrey ini juga keturunan ningrat. Mana mungkin orang seperti dia dulinan lonte!"
(dulinan : main)
"Dih, nggak menjamin kalau orang ningrat pasti baik-baik. Buktinya klien-klienmu orang kaya semua," sergah Irma.
"Alah. Sudahlah!" sentak Bayu. "Jangan mikirin hal-hal nggak penting. Tujuan kita itu dapat uang sebanyak-banyaknya dari Rafli. Kamu tidak boleh lupa itu, Ma!"
"Iya-iya!" jawab Irma senewen.
***
Malam semakin pekat.
Hari ini gerimis kecil turun rintik membuat udara kian dingin. Jaket tebal yang Raline kenakan belum mampu menghalau dinginnya cuaca. Berulang kali ia menyedot ingus yang bersarang di hidung. Kedua tangannya juga disembunyikan di dalam saku demi mencari setitik kehangatan.
Sudah dua hari Raline menunggu Rafli Hardiawan di depan jalan masuk klub. Tetapi mobil Bentley yang lelaki itu biasa gunakan tak kunjung tampak. Raline semakin putus asa. Sintia harus segera dioperasi dan Rafli Hardiawan satu-satunya tiket Raline.
Sejenak wanita itu tersenyum kecut.
Ia serasa mengalami deja-vu. Dulu Raline juga begini --- menunggu kedatangan Jeffrey seperti pengemis. Mencari cara agar lelaki arogan itu mau bicara dan menolongnya.
Sekarang semua kembali terulang. Lagi-lagi ... Raline terpaksa mengabaikan malu demi memohon bantuan. Tapi kali ini, Raline tahu apa yang ia akan hadapi.
Rafli Hardiawan jelas ingin menidurinya. Dan Raline sudah siap.
Ia sudah pernah menjadi budak submisif seorang lelaki bangsat. Kini tak ada lagi yang harus ia takuti. Bedanya sekarang Raline lebih rasional. Ia tak akan jatuh cinta pada lelaki yang telah membeli tubuhnya.
Ah jatuh cinta?
Raline merasa hatinya sudah mati. Cinta dan kepercayaan yang ia kucurkan untuk Jeffrey sudah teramat maksimal. Tak ada lagi tempat untuk lelaki lain. Dan, Raline memang sudah menjadi pembenci lelaki.
Seorang pembenci lelaki yang bukan lesbian.
Itu adalah julukan Raline kepada diri sendiri. Putus asa dan frustrasi mengantarkannya pada keputusan bulat tentang jati dirinya. Dia memang dilahirkan untuk menjadi pelacur. Dan Raline sudah tak peduli. Ia mengesampingkan moral dan nurani. Kalau pun nanti ia akan dibakar di neraka --- biar saja. Asalkan adiknya Sintia tidak menderita selama di dunia.
Saat Raline mulai menggigil kedinginan, mobil Bentley milik Rafli berbelok masuk dalam halaman klub. Dengan bergegas, wanita itu menurunkan penutup kepala dan merapikan jalinan rambut hitamnya. Relung Raline sedikit teriris. Apa yang ia lakukan, tak ubah seperti apa yang ibunya dulu sering perbuat. Tiap kali melihat lelaki melewati, Lina selalu merapikan penampilan. Sekarang Raline paham tujuan dari sang ibu melakukan itu.
Tentu saja --- untuk menarik perhatian pelanggan.
"P-Pak Rafl ..." Raline menghambur ke arah kendaraan Rafli yang berhenti di depan pintu lobi klub.
BRUK.
Kurang hati-hati dan tergesa-gesa, kaki Raline lantas tersandung. Ia terjatuh cukup keras pada tanah berbatu yang becek. Kedua telapak tangan Raline panas dan perih. Tak hanya itu, bagian lutut pada jeansnya kotor berlumur lumpur.
Rafli terperangah. Sementara dua ajudannya sigap menghalau Raline. Berpikir wanita itu mungkin ancaman yang berbahaya.
"Pak Rafli ..." Raline tertatih-tatih berusaha bangun. Di tengah rasa malu dan nyeri, ia mencoba mengulas senyum keterpaksaan. "Ini saya," ucapnya menengadahkan kepala.
Rafli mengerutkan dahi. Kedua netranya menyorot pada wanita di depannya. Kumal, lusuh, dan ceroboh. Ia lantas memperhatikan lebih saksama. Oh, tak mungkin? Dia Angel.
"Angel, bukan?" kata Rafli.
Raline mengangguk cepat. Ia menatap Rafli dengan bola mata kecokelatan yang penuh harap.
Rafli menaikkan sebelah alis. Ternyata Angel tidak terlalu menarik saat minim make up. "Kenapa?" tanyanya acuh tak acuh.
Raline menelan saliva. Ia beralih pada dua ajudan Rafli yang bak robot. Dua orang itu juga akan mendengar Raline saat menjajakan dirinya. Ah! Sudahlah. Masa bodoh! Ini satu-satunya kesempatan.
"Pak Rafli ... sa-saya ..." ucap Raline terbata. "Sa-saya ... Bapak pernah bilang kalau ..."
"Nona, sekarang hujan dan aku ingin segera masuk. Bisakah kamu bicara dengan jelas!" sergah Rafli ketus.
Raline terhenyak. Sikap Rafli berbeda dari sebelumnya. Namun, ia tak gentar. Lelaki hidung belang memang selalu memandang wanita dari tampilan fisik semata. Begitu penampilan sang wanita berubah buruk --- mereka akan langsung dihempas.
"Begini, Pak." Raline mengumpulkan keberanian. "Tempo lalu bukankah Bapak bilang tertarik dengan saya? Saya ..."
Rafli menyeringai. "Hmm. Maksud kamu, kamu sekarang berubah pikiran, Non? Lalu kemarin kenapa sangat ketus denganku, huh?"
"Maaf ..." Raline tertunduk.
Rafli mengembuskan napas. Ia menelisik Raline dari atas ke bawah. "Begini, ya, Nona Angel. Di dalam klub kamu terlihat sangat memukau. Tetapi, di luar sini ... ehm ... jujur saja, minatku padamu benar-benar sirna."
"Sa-saya akan berdandan untuk Bapak," sahut Raline cepat.
Tawa Rafli pecah. "Oh, Dear. Sikapmu yang murah ini juga membuatku kehilangan selera."
"Pak Rafli saya mohon ..." pinta Raline mengiba. "Saya janji akan tampil cantik di depan Bapak. Saya janji tidak akan mengecewakan."
"Butuh uang, ya? sampai kamu mengubah sikap seperti ini, huh?" cemooh Rafli.
Raline mengangguk cepat. Ia mengesampingkan harga diri yang telah terinjak. "Saya memang butuh uang, Pak," jawabnya.
Rafli kembali terbahak. "Itulah hidup, Nona. Kadang berada di atas, kadang di bawah," kelakarnya. "Maka dari itu kamu seharusnya menjaga sikapmu. Sekarang kamu seharusnya malu karena telah begitu sombong."
"Maaf," ucap Raline lirih.
Rafli terdiam sejenak. Ia menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dilakukan. Senyum lelaki itu lantas terkembang.
"Nona ..." kata Rafli. "Aku sebenarnya lelaki pemurah dan dermawan. Aku juga sudah pernah bilang kalau banyak wanita berebut perhatianku. Namun, tanpa melakukan apa pun, kamu berhasil membuatku tertarik. Aku lalu menawarkanmu kemudahan yang kamu tolak secara kasar. Jadi sekarang sudah terlambat kalau kamu ingin meminta kesempatan lagi."
Raline melangkah mendekati Rafli, namun dua ajudan lelaki itu menahannya.
"Pak Rafli, saya mohon." Raline berkaca-kaca dan nanar. Ia benar-benar putus asa. "Saya akan melakukan apa pun."
"Apa pun?" ulang Rafli. Ia lalu melirik ke arah Louis Vuitton shoes-nya yang sedikit kotor karena rintik hujan. "Kemarilah, Nona Angel."
Dua ajudan Rafli lantas membiarkan Raline menghampiri bosnya.
"Ya?" sambut Raline penuh harapan.
"Kamu lihat sepatuku? Kotor, 'kan? Bisa tolong bersihkan dengan tanganmu?" titah Rafli arogan.
Raline dan Rafli saling memandang. Rafli mampu menangkap sorot sendu wanita bermata kecokelatan di hadapannya. Namun ia tak peduli. Wanita seperti Angel butuh diberi pelajaran.
Dua ajudan Rafli bahkan saling berpandangan. Nurani mereka sedikit tergugah. Tetapi keduanya juga merupakan bawahan yang bekerja untuk Rafli.
Tanpa martabat yang tersisa, Raline pun berjongkok di depan Rafli. Ia menelan tangis seraya mengusap sepatu berbahan kulit itu. Secara hati-hati, Raline mengelap dengan ujung lengan jaketnya. Tangannya gemetaran. Menjual diri saja sudah memalukan. Dan Rafli menambah penderitaannya menjadi berlipat ganda.
Mata Raline memerah dan buram. Wanita itu menahan agar jangan sampai cairan bening menetes dari pelupuknya.
"Sudah?" selidik Rafli menahan tawa.
Raline mengangguk. "Sudah, Pak," jawabnya pelan.
Rafli kemudian melengos dan melempar sebuah kartu nama hitam ke atas tanah. "Hubungi aku kalau kamu sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak mau melihatmu sekotor sekarang dan aku hanya mau melakukannya di hotel bintang lima." Ia menghentikan langkah dan menoleh. "Kuharap kamu tidak mengecewakan. Karena penilaianku padamu sudah cukup buruk, Nona."
Lelaki matang itu kemudian berlalu. Ia meninggalkan Raline yang memungut kartu nama dari tanah basah. Kepala Raline tertunduk untuk memandangi metallic bertuliskan nomor dan nama perusahaan Rafli Hardiawan.
Tangis wanita itu pun akhirnya pecah tak tertahankan.
Sanubari Raline menjerit. Entah dosa apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Sehingga semua orang di dunia ini memang memperlakukannya bak binatang. Wanita rendah dan hina.
***
Siang yang cerah dan terik merupakan waktu paling tepat untuk berenang.
Pada area kolam renang kediaman Rafli, Raline Hardiawan atau lebih tepatnya Irma, sedang menghabiskan waktu bersama ayahnya. Wanita yang menghabiskan dana jutaan untuk memutihkan rambut itu mengenakan bikini tipis berbahan lycra. Sedikit gerakan serampangan saja sudah pasti menyingkap puting yang bersembunyi di balik cup ketatnya. Bahkan dua bongkahan bokong Irma jelas terekspos bagi mata siapa pun yang memandang.
Irma menempelkan badan pada Rafli secara sengaja. Ia merangkul ayah palsunya dari belakang. Menekan dua gundukan sekalnya pada punggung Rafli yang kokoh. Irma kian terangsang akibat barisan otot Rafli yang jelas kentara. Belum lagi kesan garang yang semakin kuat akibat tinta permanen berbentuk naga yang mengular pada tubuh lelaki itu.
Sangat seksi, manly, dan menggairahkan.
Mereka berdua cukup lama menghabiskan waktu berbasah-basahan. Irma berdalih ingin diajari berenang oleh sang ayah. Padahal, itu hanya alasan semata agar ia bisa menyentuh Rafli sepuasnya.
"Papi, aku beneran takut, tauk!" rengek Irma.
Rafli terkekeh. Tentu saja ia tak memiliki gairah tersembunyi seperti Irma. Perhatiannya tulus dan murni layaknya orang tua pada anak. Apa lagi sikap Raline Hardiawan berbeda dari Adinda. Putri keduanya begitu manja. Rafli seolah diberi kesempatan menjalankan peran ayah yang tidak pernah ia lakukan.
"Tidak perlu takut. Papi ada di sini untuk menjagamu, Honey," ujar Rafli memegangi kedua tangan Irma.
"Papi pegangin pinggangku, ya? Jangan dilepas," ucap Irma bermanis-manis.
Rafli mengangguk. Ia lalu memindahkan tangan pada pinggang Irma. Tanpa ia sadari, ulahnya membuat Irma menahan desah.
Asu! Andai ia tak harus bersandiwara sebagai Raline Lara, mungkin ia sudah membiarkan Rafli menggagahinya. Tiap kali kulit mereka bersentuhan, milik Irma di bawah sana berdenyut minta diisi.
Irma lalu menyelam ke dalam air. Sementara Rafli terus membimbing gerakan putrinya itu. Setelah merasa kehabisan napas, Irma lantas mengeluarkan kepala ke permukaan. Ia mengalungkan lengan memeluk leher Rafli.
"Nah, itu kamu sudah mulai bisa, Raline," kata Rafli semringah.
Irma memandangi wajah Rafli dari jarak sejengkal. "Makasi, ya, Pi. Papi sudah luangin waktu untuk mengajariku." Ia lantas mengecup pipi lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya.
"Sama-sama, Honey." Rafli membalas kecupan Raline.
Irma lalu memeluk Rafli erat. Membiarkan miliknya bersentuhan dengan kulit Rafli. Hampir saja ia hilang kendali diri dan berusaha menggesekkan area intimnya ke sana. Beruntung, bayangan wajah Bayu yang melotot menyadarkan Irma.
"Pi," kata Irma melepaskan pelukan.
"Kenapa?" Rafli memundurkan badan dan bersandar pada dinding kolam.
"Soal bapak," sahut Irma.
Rafli berkernyit. "Bapak? Maksud kamu Bayu?" selidiknya.
"Iya." Irma memasang ekspresi sendu. "Aku kasihan dengan kehidupannya yang pas-pasan di Surabaya. Sudah lama bapak pengen buka usaha pencucian mobil. Tapi uangnya nggak cukup-cukup."
Rafli terdiam.
"Bayu memperlakukanmu baik?" tanya Rafli.
"Baik banget. Bapak menganggapku selayaknya anak kandung," jawab Irma. "Karena itu aku ingin balas jasa ke dia."
Bibir Rafli tersungging. "Baiklah. Nanti Papi akan kirim uang ke Bayu. Kamu nggak perlu khawatir. Papi juga akan membuatkan rekening khusus untuk kamu. Jadi, kamu bisa membeli apa pun tanpa kekurangan."
"Sungguh?" Irma lagi-lagi memeluk Rafli erat-erat. "Makasi banyak, ya, Pi!"
"Sama-sama."
Ketika ayah-anak palsu itu sedang bercengkrama di dalam kolam, ajudan Rafli tiba-tiba datang menghampiri.
"Permisi, Pak Rafli."
Rafli menengadahkan kepala. "Hm?"
"Ada pesan penting," terang ajudan tadi seraya menunjukkan layar gawai Rafli.
Rafli mengangguk paham. Ia lalu melepaskan kaitan lengan Irma. "Raline, Papi harus pergi untuk urusan pekerjaan. Besok kalau hari secerah ini, kita akan lanjutkan pelajaran renang kita."
"Okay." Irma tersenyum.
Rafli lantas menaiki tangga. Ia menerima handuk yang disodorkan oleh ajudannya.
Netra Irma terus mengekori sosok Rafli hingga berlalu masuk ke dalam rumah. Ia tak sadar Adinda sudah berdiri di tepian kolam seraya menyilangkan kedua tangan.
"Apa kamu benar-benar anak dari Papiku?"
Suara Adinda membuat Irma tersentak bukan main. Segala fantasi liar tentang Rafli mendadak buyar.
"Maksud kamu?" sahut Irma.
Adinda tersenyum miring. "Papi tidak melakukan tes DNA karena takut menyinggung perasaanmu. Dan caramu memandangnya membuatku merinding, tahu?"
"Tes DNA?" Irma berlagak tak gentar. "Setelah mengabaikanku selama bertahun-tahun, kalian minta tes DNA? Nggak punya nurani!"
"Okay. Kuanggap kamu memang putri kandung papi. Jadi kesimpulanku kamu mengidap Electra Complex," ucap Adinda. Ia menatap Irma dengan tatapan meloya.
"Electra ... apa?"
"Electra Complex, kebalikan dari Oedipus Complex. Ketertarikan secara seksual pada ayah kandung sendiri," jelas Adinda.
Mata Irma melotot. "Jangan sembarangan ngomong!" sentaknya.
"Oh ya? Aku sembarangan ngomong?" sahut Adinda sinis. "Apa yang kulihat tadi kalian lebih mirip pasangan kekasih. Apa lagi dirimu yang berulang kali menyentuh papi secara tidak lazim."
"Ka-kamu hanya iri!" Irma bergegas keluar dari kolam. "Iri karena tidak memiliki kedekatan dengan papi seperti aku dengannya." Ia melengos untuk meninggalkan Adinda.
"Iri? Maaf saja, tetapi aku tak akan memperlakukan ayah kandungku seperti caramu memperlakukannya. Menjijikkan."
Irma bungkam dan buru-buru masuk ke dalam.
"Aku akan terus mengawasimu, Raline Lara. Camkan itu," seru Adinda.
***
"Pak, 10 menit lagi rapat dengan tim perancang busana akan dimulai."
Salsa - sekretaris baru - membuyarkan lamunan Jeffrey yang tidak fokus. Ia menyangga dagu menggunakan punggung tangan. Sementara jemari satunya sibuk memain-mainkan pulpen.
"Okay." Jeffrey menjawab singkat.
Salsa pun keluar dari ruangan. Meninggalkan Jeffrey yang masih berkutat dalam pikirannya sendiri.
Ini soal Raline Hardiawan.
Bukan. Jeffrey sama sekali tak tertarik pada si calon ipar. Hanya saja, ia yakin pernah bertemu Raline Hardiawan sebelumnya. Semenjak pesta pertunangan berakhir, lelaki itu kembali terserang insomnia.
"Nama aslinya Raline Lara."
Jeffrey mendecih. Tidak mungkin ada kemiripan identitas sedemikian identik seperti Raline Lara yang ia kenal dengan Raline Lara calon iparnya. Jeffrey yakin ada yang tidak beres.
"Damn!" Jeffrey mengumpat sendiri.
Ia lupa kalau berusaha ikut campur hanya akan mengakibatkan masalah. Lagi pula, bukan urusannya, bukan? Lelaki itu lantas bangun dari kursi kerja dan berjalan keluar.
Tunggu dulu!
Netra Jeffrey seketika terbelalak. Dan dengan segera ia menghubungi Marni menggunakan gawai pintarnya.
"Bi Marni, tahu di mana aku menyimpan ponselku yang lama?" buru Jeffrey.
Marni terdiam sejenak. "Ehm, Bibi rasa ... Bibi menyimpannya di laci kamar ..."
Belum sempat menyelesaikan kalimat, Jeffrey buru-buru menyela Marni. "Cari ponsel itu sekarang!" titahnya. Ia lantas mematikan sambungan telepon dan menghampiri meja sekretaris barunya. "Tunda meeting-nya satu jam. Ada urusan penting yang harus kulakukan."
Jeffrey melangkah gesit menuju elevator.
Ikut campur memang bukan gayanya. Namun, semenjak mengenal Raline Lara --- itu tak lagi berlaku. Dan untuk yang satu ini, Jeffrey benar-benar harus turun tangan. Ia yakin ada yang ganjil dengan Raline Hardiawan, calon iparnya itu. Dan Jeffrey akan memastikan jawabannya sebentar lagi.
Hai, Darls!
Thank you buat dukungan kalian buat MR. VANILLA.
Next chapter KINKY akan di upload ketika jumlah vote MR. VANILLA bab 19 mencapai 120 votes. Jadi, buruan kasih vote supaya KINKY juga cepet upload.
Yang ga sabar mau baca KINKY lebih cepat, mlipir ke bestory Ayana.
Buat kalian yg lagi belajar nulis, silakan follow TIKTOK aku cz aku share tips kepenulisan gratis di sana. Sementara, bagi kalian yang butuh jasa Ghost Writer, juga boleh DM aku di wattpad. Nanti kita bahas secara intim di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top