SIXTY-ONE

Folks!
Thank you buat kesediaan kalian buat follow aku. Berikutnya, bab 62 akan UPDATE jika sudah mencapai 200 votes.

Rafli duduk sambil menyangga tangan di atas sofa bundar klub. Belum genap sehari diperbolehkan pulang, ia sudah melanggar pantangan dari sang dokter. Telinga Rafli seolah tuli meski suara musik dari disjoki menghentak cukup keras. Tangan kanannya yang memegang gelas wiski sedikit gemetar.

"Pak Rafli ...?"

Ajudannya membungkuk mendekati --- merasa khawatir karena sang bos cukup lama terdiam.

"Kamu yakin Lina benar-benar sudah meninggal?" Rafli akhirnya membuka suara.

"Iya, Pak."

Rahang Rafli mengeras. Ia menyembunyikan gemeretak gigi akibat kegusaran mendalam.

Si ajudan kembali melanjutkan, "Hanya Bayu Angkoro satu-satunya sumber kita tentang keberadaan Raline Lara. Besok saya akan mengunjunginya di penjara."

"Tidak," sahut Rafli. "Biar aku saja yang bicara dengan lelaki itu."

Netra Rafli menerawang jauh. Bayangan wajah Lina Larasati terus menari-nari dalam pelupuk mata. Senyum tulus wanita itu. Bahkan suara Lina pun terdengar jelas bergaung pada telinga Rafli.

Emosi, Rafli refleks melempar rock glass ke arah lantai. Ia tak menyangka pecahan beling bakal terpental jauh dan mengenai orang lain.

"Astaga!" Seorang wanita terkesiap karena sisi telapak kakinya tergores pecahan kaca. Ia sontak melotot ke arah Rafli.

Rafli mendongak. Memandang pada wanita tadi. Sepasang kaki jenjang yang terekspos dan tubuh seksi berbalut pakaian ketat. Lalu, mata belo dengan hidung mungil nan mancung. Membingkai bibir plum si wanita yang berpemulas merah darah. Meski menyiratkan amarah --- wanita itu tetap cantik.

"Ah, maafkan saya." Rafli sigap bangkit dari duduk dan berniat menghampiri si wanita.

"Tidak apa-apa. Tapi apa yang Bapak lakukan cukup membahayakan," sahut si wanita. Ia lalu melengos tanpa memandang Rafli.

"Biarkan aku mentraktirmu minuman demi menebus rasa bersalah," kejar Rafli.

Raline mengibaskan tangan. "Tak usah. Saya sedang bekerja!" Ia pun menghindar dan menembus kerumunan para penikmat pesta.

Bekerja? Rafli mematung di tempatnya. Membiarkan makhluk indah tadi berlalu dari pantauan.

"Pak Rafli? Bapak tidak apa-apa?" susul ajudannya.

Rafli menggeleng pelan. Ia tidak apa-apa. Justru, ada sesuatu yang terasa menggelitik dada. Tidak --- bukan serangan jantung susulan seperti yang sudah-sudah. Melainkan sensasi dari peningkatan hormon adrenalin pada tubuh.

"Aku tak apa-apa," sahut Rafli. Ia melangkah kembali ke mejanya. Seorang pelayan tampak membersihkan sisa-sisa beling akibat ulah Rafli tadi. Setelah selesai, ia pun kembali duduk pada sofa.

Kesedihan Rafli memang masih bersarang. Tetapi seberapa besar ia merasa bersalah, tak akan membawa kembali Lina. Harapan satu-satunya hanyalah menebus semua kepada Raline Lara, putrinya.

Kemunculan wanita misterius tadi membuat kegetiran Rafli perlahan samar. Ia menyukai klub malam ini. Dan sekarang --- Rafli semakin menyukainya dua kali lipat.

"Cari tahu tentang wanita tadi," bisik Rafli pada ajudannya. "Minta dia menghampiriku ke mari."

Ajudannya pun mengangguk.

Sebuah tarikan dari kedua sudut bibir Rafli terbentuk. Garis melengkung yang timbul akibat terngiang paras jelita si wanita tadi. Apa lagi, tubuhnya juga sempurna.

Siapa pun dia, Rafli yakin bisa membawanya sampai ke ranjang. Lihat saja.

***

"Kenapa kakimu, Ngel?" tanya Rana.

Raline mengelap sisi telapaknya menggunakan tisu. Ia mencoba membersikan bekas darah akibat terkena pecahan kaca. "Kena beling waktu jalan. Sepertinya orang tadi mabuk hingga melempar gelas sembarangan."

"Tapi masih bisa nari?" Rana menelisik penuh khawatir.

Raline mengangguk. "Bisalah. Ini cuma luka kecil."

"Oh syukurlah. Jangan sampai kamu cidera di hari pertama kerja." Rana menghela napas lega. "Ya sudah. Yuk, kita keluar."

Raline bergegas berdiri dan membenahi kostum panggung. Top short dan bandeau penuh manik gemerlapan. Wanita itu kembali mengenakan sepatu hak tingginya dan berjalan menyusul Rana. Ia agak kesusahan melangkah. Mau bagaimana lagi, Raline diharuskan menari menggunakan tumit tinggi. Padahal gerakannya membutuhkan ketangkasan dan fleksibilitas.

Namanya juga resiko pekerjaan.

Raline dan dancer lain kemudian berdiri di samping disjoki. Suara riuh tepuk tangan dan siulan dari bawah panggung sontak terdengar.

Netra Raline mendadak buram.

Ia tak sangka akan kembali dalam hingar bingar dunia malam. Sekuat tenaga, wanita itu menelan tangis. Menyembunyikan relung yang sesak di balik tawa lebar.

Dan, ketika musik dimainkan, Raline pun mulai bergerak sesuai irama. Tubuh langsingnya bergoyang di tengah timpaan sinar laser dan lampu sorot.

Kemunculan Raline bak magnet bagi kaum Adam. Mereka tak mampu melepaskan pandangan saat wanita itu meliukkan badan. Tak terkecuali Rafli. Lelaki dengan rambut memutih itu terkesima pada penampilan Raline yang memesona. Ia juga suka wajah si wanita yang tadi cemberut saat bicara dengannya. Begitu menarik.

"Pak," ucap ajudan yang baru saja kembali.

"Gimana?" Rafli menengok sepintas.

"Namanya Angel. Saya sudah sampaikan pada manajer untuk mengirimnya ke sini ketika pekerjaannya sudah selesai," terang si ajudan.

Rafli mengangguk puas. Dari table VIP-nya, ia mematri netra ke arah Raline tanpa berkedip. Angel ... nama yang sesuai dengan figur layaknya malaikat. Hati Rafli tak sabar menunggu kesempatan untuk bicara dengan sosok angelic itu.

Wanita secantik dia --- berapa pun pasti akan Rafli bayar.

***

Raline tak mengerti mengapa si manajer memintanya pergi ke table 21 --- salah satu meja khusus tamu VIP. Ia belum sempat duduk istirahat, bahkan menyeka peluh saja belum.

"Ngel!"

Sebuah seruan namanya membuat Raline menghentikan langkah. Itu Aldi, bartender yang merupakan suami Rana. Lelaki itu melambaikan tangan.

"Kenapa, Mas Aldi?" Raline menghampiri bar.

"Kukasih free drink. Mau apa?" bisik Aldi.

"Oh," gumam Raline. "Tidak usah, Mas. Aku masih harus kerja."

Aldi terdiam sejenak. Lelaki itu kemudian membungkuk dan mengambil sesuatu. Sekotak susu berukuran mini rasa vanilla. "Ambil ini," katanya.

"Ma-makasi, Mas." Raline menerima pemberian Aldi dengan segan.

Aldi hanya membalas dengan senyum. Ia kembali sibuk meracik minuman beralkohol untuk para tamu. Raline pun meneruskan langkah mencari meja bernomor 21. Langkah wanita itu melambat ketika mengetahui siapa yang duduk di sana. Orang yang tadi membanting gelas karena mabuk.

Ia menarik napas dalam. Perasaan Raline mulai menebak-nebak apa tujuan tamu itu memanggilnya.

"Kemarilah, Non. Aku sudah menunggumu." Rafli semringah menyambut Raline. Ia menepuk bantalan sofa untuk mempersilakan wanita itu duduk.

Raline bergeming. Ia enggan menuruti Rafli untuk duduk bersisian dengan lelaki itu.

"Malam, Bapak. Maaf, ada perlu apa, ya, memanggil saya?" tanya Raline mempertahankan sikap ramah.

Rafli memandang Raline dari atas ke bawah. Semakin takjub oleh kecantikan sang dancer. "Ayolah. Duduk dulu. Nona Angel, bukan?"

Raline mengangguk untuk membenarkan.

"Ada pembicaraan penting yang ingin kusampaikan. Akan lebih nyaman kalau kamu duduk," bujuk Rafli lagi.

Mau tidak mau Raline pun mengambil tempat di samping Rafli. Dengan kepala sedikit tertunduk, netranya menatap lelaki paruh baya tadi.

Mata mereka saling beradu.

Ada yang istimewa dari wanita yang satu ini. Pikir Rafli. Sorot mata si dancer mengingatkannya pada seseorang. Namun entah siapa. Yang pasti, dalam perjumpaan pertama mereka, Rafli sudah merasa nyaman.

"Bapak mau bicara apa dengan saya?" selidik Raline.

Bibir Rafli tersungging. "Sebelumnya, perkenalkan, aku Rafli Hardiawan." Ia menjulurkan tangan untuk bersalaman.

Raline pun menerima jabatan tangan Rafli.

"Angel," sahutnya.

Cukup lama Rafli menggenggam tangan halus Raline. Akibat ulah lelaki itu, Raline bergegas menarik telapaknya karena merasa tidak nyaman.

"Kamu mungkin belum tahu siapa aku. Aku sangat sering ke mari. Gadis-gadis muda di sini juga berebut mencari perhatianku, Nona Angel," kata Rafli.

Raline sama sekali tak paham apa maksud Rafli. Ia hanya ingin pembicaraan mereka segera selesai.

Rafli kembali melanjutkan kalimatnya, "Dan kamu adalah gadis yang beruntung. Sebab tanpa berusaha keras, kamu berhasil membuatku tertarik padamu."

"Ma-maksud Bapak?" Raline mulai gusar.

"Angel," ucap Rafli. "Kukatakan aku tertarik padamu. Aku akan memberimu apa saja yang kamu minta asalkan kamu mau menghabiskan malam bersamaku."

Dengan emosi yang tersulut. Raline bangun dari duduk. Ia memandang Rafli melalui mata yang berkilat.

"Maaf tapi saya harus pergi!" bentak Raline.

Tanpa lagi memandang ke belakang, Raline bergegas menjauhi meja Rafli. Sekujur tubuh Raline gemetaran. Ia kembali teringat hal-hal yang telah terjadi padanya di Surabaya.

Ia memang bekerja di klub malam. Memakai pakaian terbuka dan menyuguhkan tarian seksi. Namun, apakah tak ada harga diri yang tersisa dari dirinya di mata orang lain?

Air mata Raline diam-diam menitik.

Ini bukan maunya.

Tetapi wanita itu gesit menghapus cairan bening yang membasahi pipinya. Ia sudah berjanji tak akan menangis lagi. Apa lagi tangisan yang disebabkan oleh orang asing seperti Rafli Hardiawan.


Bab 62 akan up jika sudah mencapai 200 votes. KINKY sudah tamat di Bestory, silakan mampir ke sana jika tidak sabar menunggu di wattpad. Salam sayang semua 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top