SIXTY-FOUR

Bayu duduk dengan tatapan kosong di depan teras rumah.

Beberapa tetangga berbisik karena heran dengan kepulangannya. Sibuk menduga-duga mengapa Bayu bisa begitu cepat keluar dari penjara. Namun tak ada satu pun yang berani bertanya atau menegur. Raut muka Bayu terlalu mengerikan dan seram. Mirip mayat yang baru bangkit dari kubur.

Asap rokok mengepul keluar dari hidung dan mulut si lelaki bertato. Tak hanya itu, puluhan botol cap orang tua juga berserakan di sekeliling Bayu. Sudah jelas --- dia sedang stres berat.

Hubungan Bayu dengan backing-annya di Surabaya sedang renggang efek penahanannya di Mapolres kemarin. Kalau mau beroperasi lagi, ia tak akan sebebas dulu. Apa lagi banyak 'anak didiknya' yang kabur semenjak dia hilang. Takut kena imbas jerat hukum. Sedangkan uang milyaran yang semula ingin dia minta dari Rafli Hardiawan sudah pasti batal. Raline Lara tak mungkin terkejar.

Bayu enggan kembali merangkak menjadi makelar nafsu sembunyi-sembunyi. Atau harus menjajakan wanita-wanitanya di pinggir jalan.

Nggak level!

"Mas Bayu!"

Bayu hanya melirik sepintas. Sosok Irma berjalan tergopoh menghampiri sang muncikari. Cuma wanita berambut burgundy itu yang masih setia bertahan.

Irma memandangi keadaan Bayu yang berantakan. Ia lalu mengambil tempat di samping bosnya. "Kenapa tidak angkat teleponku?" tanyanya.

Bayu hanya tersenyum getir. Malas bicara dan menjawab.

"Gimana, dong, sama nasibku, Mas? Tabungan sudah mulai menipis karena enggak ada job," keluh Irma.

Bayu mendengkus. "Enggak usah ngomongin itu dulu, Irma. Aku sendiri lagi pusing! Kamu kira cuma kamu saja yang kekurangan uang? Aku juga!"

Mereka berdua sama-sama hening. Irma memanjangkan leher untuk melihat ke sekeliling rumah Bayu yang lengang.

"Terus si Raline sama Sintia mana? Kok rumah sepi?" selidik Irma.

"Mereka kabur dariku." Bayu membenamkan kepala ke dalam telapak tangan. "Makanya aku stres! Sumber penghasilanku benar-benar raib!"

"Kenapa tidak kamu cari? Paling mereka ada di sekitar sini. Kayak tempo lalu, Mas," kata Irma.

"Mereka di Paris!" sergah Bayu.

Dahi Irma berkernyit. "Paris? Paris yang di Amerika itu?"

"Mboh!" Bayu semakin emosi. "Wes ojok nyocot ae, Ma!"
(*Sudah jangan ngomong aja, Ma!)

Irma mengerucutkan bibir. Ia akhirnya tak lagi bertanya dan menutup rapat mulutnya. Setelah meminta Irma diam, Bayu justru berganti bicara.

"Padahal Raline itu tambang emasku. Dia kasih aku uang rutinan dari Jeffrey. Dia juga berpotensi kasih aku uang besar dari bapak kandungnya. Tapi sekarang semua rencanaku berantakan!" terang Bayu.

"Bapak kandungnya Raline?" Irma penasaran.

Bayu mengangguk. "Ya. Ternyata dulu Lina dihamili pengusaha kaya raya. Namanya Rafli Hardiawan. Kayaknya Rafli ini mau mati makanya pengen ketemu anaknya. Kelihatan banget dia itu sakit-sakitan. Soalnya ngotot banget buat berjumpa Raline secepatnya."

"Wah, benar-benar nggak terduga. Kalau si Rafli itu tadi tahu kamu dulu jual anaknya, apa dia nggak ngamuk?"

"Alah! Raline nggak bakal berani cerita ke bapaknyalah! Aku bakal ancem dia pakai Sintia. Biar dia takut." Bayu lalu kembali mendengkus. "Tapi sekarang semua sia-sia! Raline nggak ada!"

Irma terkikik. "Kamu kok bodoh, sih, Mas? Kamu pikir Raline bakal mau menuruti kamu kalau dia tahu punya orang tua kaya raya? Yang ada kamu bakal ditendang dan kembali dimasukkan penjara!"

Bayu melotot dan menatap Irma berang.

"Raline itu selalu manut sama aku! Apa lagi kalau aku usik dia pakai Sintia!"

"Ya manut soalnya posisi dia lemah. Tapi kalau sudah punya uang banyak, mana mau kamu tindas lagi!" Irma menunjuk dahinya dengan telunjuk. "Pikir, dong! Makanya ojok mendem ae, ben otakmu jalan."
(*Makanya jangan mabuk saja, supaya otakmu jalan)

Bayu diam dan kembali mengambil sebatang kretek. Ia mengamit puntung itu pada mulut, lalu menyulutnya. Mau tidak mau ia membenarkan perkataan si Irma. Uang tentu saja akan membuat Raline berkuasa. Kalau sudah begitu, mana mau wanita itu tunduk dengan segala perintah Bayu.

Terbukti sekarang --- Bayu menghilang sebulan --- Raline sudah kabur. Tak tanggung-tanggung, ke Paris pula.

Irma kembali melanjutkan, "Kamu beruntung Raline iku pergi. Andai tidak, paling kamu sudah dijebloskan lagi ke dalam penjara, Mas. Atau lebih buruk lagi --- kamu dibunuh karo bapake."

"Hah!" Bayu bergidik. "Mateni uwong nggak segampang cangkemmu!"
(*Bunuh orang tidak segampang mulutmu)

"Lho, Mas ... ojok salah!" Irma mendecak. "Selama ada uang. Apa saja mungkin. Apa lagi, kamu itu muncikari dan tukang mabuk. Kalau kamu mati secara sembarangan, polisi nggak akan heran. Dan nggak ada juga yang mau repot-repot menyelidiki kematianmu."

"Anjing kamu, Ma!" umpat Bayu kesal.

Irma justru terkikik.

"Sekelas Munir saja, sampai sekarang belum ketahuan siapa pembunuhnya. Apa lagi kamu? Germo pecandu alkohol dan miras! Nggak ada yang peduli kalau kamu mati."

Bayu melotot marah. "Wes meneng, Ma! Cangkemmu!"
(*Sudah diam, Ma. Mulutmu!"

Irma meringis menahan tawa.

Mereka berdua kemudian terdiam lagi. Pikiran Bayu kosong. Jalan menuju tumpukan uang ada di depan mata. Tetapi Bayu tak bisa menggapainya. Ia lalu melirik ke arah Irma yang sedang meneguk sisa anggur merah dalam botol. Anak didiknya itu seksi juga.

Kulit Irma bening dan mulus bak kertas. Sudah begitu, ia juga tinggi langsing. Belum lagi kedua gundukan sekal Irma yang menyembul dari balik kaos ketatnya.

Birahi Bayu mendadak timbul. Irma memang bibit unggul. Dia dan Raline dulu adalah asetnya yang paling berharga. Pantas mereka berdua yang paling laku dan menjadi incaran para lelaki konglomerat.

"Sek ta!" seru Bayu.
(*Tunggu dulu)

Irma tersedak. "Apa, sih, Mas? Kamu ngagetin aja!" protesnya.

"Aku tahu harus melakukan apa, Ma!" Tarikan melengkung pun perlahan terulas pada bibir Bayu.

***

"Di mana dia menyentuhmu ...?"

"Di sini?"

"Aku tidak suka lelaki itu meninggalkan bekas dirinya pada tubuhmu. Aku ingin menghapusnya ..."

Ciuman hangat dari Jeffrey membungkus kulit bibir Raline. Semua terasa begitu lembut dan memabukkan.

Jeffrey ...

Tangan lelaki itu ... kokoh memeluk Raline. Mendekapnya. Menyentuh tiap inci tubuh Raline.

Aroma woody ...

Bercampur bargamot dan amber.

"Kemarilah, Raline Lara."

Kedua netra Jeffrey yang pekat dan kelam --- memandang Raline dengan tajam.

"Apa kamu suka?"

"Aku mencintaimu."

Raline membelai tiap helai rambut Jeffrey yang hitam. Kemudian wanita itu mengendus wanginya. Ia pun tersenyum sembari menatap lelakinya.

"Angel?"

"Angel?"

Pundak Raline tersentak ketika salah seorang teman sesama dancer membuyarkan lamunannya. Ia sudah cukup lama berdiri di depan cermin ruang ganti. Raline bahkan terpaku seraya memegang lipstik merah pada tangannya.

"Kamu ngelamun?" kekeh si dancer.

Raline mengerjapkan mata dan mengulas senyum tipis. Ia lalu segera mengoles bibir dengan pemulas yang ia bawa.

"Aku keluar duluan, ya. Sepuluh menit lagi kita perform. Jangan kelamaan dandan."

Raline pun menganggukkan kepala. "Okay. Sebentar lagi aku susul," ucapnya.

Ia lantas mengembuskan napas. Sejak Aldi melecehkannya, Raline tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Ia dan Sintia sudah pergi dari rumah terkutuk itu. Mencari indekos murah yang dekat klub. Namun, bara amarah masih bersarang dalam relung Raline.

Seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya.

Dan tiap kali ia berhasil terpejam pulas, Jeffrey selalu muncul dalam mimpinya. Lelaki itu tersenyum dan datang menyelamatkan Raline. Sejenis mimpi indah yang berubah kelabu saat Raline tersadar. Sadar atas kekejaman dan manipulasi Jeffrey yang sebenarnya.

Entah pagi atau malam, tangisan adalah pengantar tidur Raline. Padahal ia sudah berjanji kalau ia enggan menangis lagi. Hanya saja ... jauh di lubuk hatinya, ia merindukan sang dominan.

Raline membenci dirinya karena itu.

Serangkaian peristiwa dan pola asuh pada masa kecil, membuat Raline tumbuh tanpa self defense. Ia sering berpikir bahwa ia tak berharga. Ia juga sering dipaksa mengalah oleh ibu kandungnya sendiri. Kemudian dididik menjadi anak penakut dan penurut oleh bapak tirinya. Jadi jangan salahkan mengapa wanita itu kurang perlawanan saat dilecehkan.

Raline bukanlah wanita yang memiliki kepercayaan diri kuat. Segala kejadian pada hidup membuat Raline tumbuh menjadi seseorang penuh kebimbangan.

"Ssst."

Raline menoleh ke arah pintu. Aldi berdiri seraya menyangga tubuh di kusen. Ia tersungging.

Dengan tergesa, Raline memasukkan seluruh peralatan make up-nya ke dalam pouch. Ia muak jika harus berhadapan dengan si brengsek ini. Jantung Raline seketika berdebar kencang. Perutnya juga mual karena peristiwa menjijikkan tempo lalu kembali terputar dalam ingatan.

"Gimana kosan barumu? Nyaman? Kenapa kamu repot pindah segala, sih? Padahal di rumah ada kamar kosong," kata Aldi berjalan menghampiri.

Raline membisu dan memasukkan tas ke dalam loker. Dengan cepat ia melengos menuju pintu keluar.

"Ngel!" Aldi menahan lengan Raline.

Raline menyentakkan tangan dan melotot. "Lepas!" bentaknya.

"Jangan ngambek begitulah. Aku tanya baik-baik, lho!" Aldi memasang badan untuk menghalangi jalan keluar Raline.

"Apa maumu?" Raline menyorot Aldi dengan penuh kebencian.

Aldi meringis santai. "Aku khawatir tempat tinggalmu yang sekarang nggak nyaman. Kasihan adikmu kalau harus berada di ruangan sepetak selama kamu kerja. Oh ya. Aku juga sudah menemukan sekolah bagus di dekat rumah. Kalau kamu mau, aku bisa antar kalian untuk daftar."

Tanpa basa-basi, Raline meludahi muka Aldi. Alih-alih terganggu dengan cairan saliva yang mengotori pipi, Aldi malah tertawa. Ia lantas menyekanya dengan usapan tangan.

"Cewek memang selalu jual mahal. Biar apa, sih, kamu seperti ini? Supaya mendapatkan perhatianku? Kamu nggak perlu begini, aku sudah memperhatikanmu, kok."

"Minggir," titah Raline dingin.

"Oke. Oke. Aku tahu kamu marah karena kita melakukannya di rumah. Aku tahu kamu belum terpuaskan. Tapi aku juga tahu kalau kamu juga menikmatinya ..." ujar Aldi.

"Bajingan!" bentak Raline.

"Angel, tubuhmu nggak bisa bohong. Waktu itu memekmu basah, Sayang," kelakar Aldi.

Dengan mengumpulkan tenaga, Raline pun melayangkan tamparannya. Untuk kali ini, Aldi benar-benar berubah kesal. Ia memegangi sisi wajahnya yang panas. Sementara Raline menerobos melewati Aldi.

Raline bisa mendengar suara umpatan Aldi di belakang. Namun ia tak peduli. Raline terus melangkah menuju ke arah panggung. Saat melewati salah satu table, netranya melihat sebuah pisau kecil untuk memotong buah tergeletak begitu saja.

Tangan Raline gemetar meraih benda tajam itu.

Mungkin ia harus membunuh Aldi malam ini juga. Merobek mulutnya yang menjijikkan. Membalaskan sakit hati atas segala penghinaan yang telah lelaki bangsat itu lakukan. Ya. Bunuh saja dia!

Bunyi musik yang mengalun kencang seakan hening. Suasana klub yang remang dengan lampu gemerlapan membuat mata Raline pusing. Ia pun memutuskan kembali menuju ruang ganti. Langkahnya pasti walau sedikit limbung.

Tiba-tiba seseorang merenggut pisau yang ia bawa. Akibat hal itu, Raline mendadak tersentak dan menghentikan kakinya.

"Untuk apa Nona Manis ini ke sana ke mari membawa pisau? Sungguh berbahaya dan tidak cocok untukmu." Rafli tersenyum dan sudah berdiri di hadapan Raline. Di belakang si lelaki kaya, sudah berdiri dua ajudan tegap yang menemani.

Napas Raline memburu. Ia pun tersadar dari gelap mata. Hampir saja ia nekat mencelakai seseorang. Apa dia lupa kalau sekarang Sintia merupakan tanggung jawabnya?!

Rafli menunduk dan mendekati. "Ada apa? Tidak enak badan?" Ia lantas mengusap lengan Raline.

"Jangan sentuh!" Raline menepis tangan Rafli dan melengos.

Bola mata Rafli mengekori sosok Raline yang perlahan hilang di antara kerumunan. Lelaki paruh baya itu tersenyum. Sungguh wanita yang menarik.

"Pak, Bayu Angkoro menelepon." Si ajudan menyodorkan ponsel pada Rafli.

Rafli menempelkan gawai pada telinga. Ia berjalan ke arah pintu keluar agar terhindar dari suara berisik. "Malam, Pak Bayu," sambutnya.

"Selamat malam, Pak Rafli ..." Suara Bayu terdengar ramah dan renyah dari balik speaker. Pertanda ia akan membawa sebuah kabar baik. "Begini, saya telepon mau ngabarin soal Raline."

"Iya? Bagaimana?" tanya Rafli tak sabar.

"Setelah saya bujuk dan ajak bicara. Raline setuju menemui Bapak Rafli."

Hai, Folks!

Bab 65 akan up setelah followers-ku nyampe 850. So, buat yang belum follow, buruan follow dulu. Kasihan yang sudah follow dan nungguin.

Untuk kalian yang ngga sabar nunggu, bisa langsung cuzz ke KARYAKARSA / BESTORY : AyanaAnn

Okay, enjoy. Jngn lupa vote/komen/follow.

- Ayana Ann -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top