SIXTY-FIVE

Adinda mendengarkan segala detail perkataan Rafli dengan raut datar. Sebenarnya, ia tak terkejut kalau ternyata sang ayah menghamili wanita lain selain ibunya. Namun tetap saja ia gagal memadamkan amarah dalam dada.

"Adinda ..." kata Rafli. "Papi rasa kebahagiaan beruntun sedang datang pada keluarga kita. Pertunanganmu yang tinggal menghitung hari ... lalu ... datangnya Raline dalam kehidupan keluarga kita."

Kebahagiaan siapa? Mungkin yang ayahnya itu maksud adalah kebahagiaan dirinya sendiri. Pertunangan dengan Jeffrey bukan mau Adinda. Apa lagi menerima seorang anak haram masuk ke dalam silsilah keluarga Hardiawan. Seakan Rafli sengaja memamerkan hasil perbuatan mesumnya pada publik. Menjijikkan.

"Papi pikir ini mudah untukku?" sahut Adinda dingin. "Papi berniat membawa dia ke mari dan bertemu denganku? Papi bercanda, 'kan?"

Rafli memegang tangan Adinda erat-erat. "Mau bagaimana pun Raline adalah saudara kandungmu. Dan kehidupan yang ia jalani selama ini sudah cukup sulit, Adinda."

"Itu bukan urusanku, Pi," ujar Adinda.

Rafli menghela napas panjang. "Papi akui bahwa perbuatan Papi memang salah. Tetapi seorang anak tak selayaknya menanggung dosa orang tuanya. Biarkanlah Papi membayar rasa bersalah Papi dengan membahagiakan Raline. Menyayangi dia seperti Papi menyayangimu."

Adinda menatap Rafli dengan sorot sendu. Matanya yang bening tampak menggenang.

"Seperti Papi menyayangiku?" cemooh Adinda. "Katakan, seperti apa bentuk kasih sayang Papi kepadaku selama ini?"

"Din ..." Rafli terhenyak.

Adinda menepis tangan Rafli. "Sedari kecil aku terbiasa melihat Mami menangis karena ulah Papi. Aku juga terbiasa tumbuh tanpa figur seorang ayah yang menemani putrinya bermain atau pergi ke acara sekolah. Aku terbiasa melihat Papi mabuk. Dan aku juga terbiasa kecewa karena Papi berulang kali membatalkan janji."

Seketika Rafli tertunduk. Ya. Dia memang ayah yang buruk. Baik untuk Adinda atau pun Raline.

"Dan sekarang Papi bilang ingin menyayangi dia seperti Papi menyayangi aku? Nggak salah, Pi?" lanjut Adinda. "Ini sangat tidak adil untukku, Pi. Papi menuntut kesempurnaan dariku. Sementara aku diharuskan menerima segala kekurangan Papi selama ini."

"Papi minta maaf, Honey ..."

"Don't honey me!" sentak Adinda. "Aku bukan anak kecil lagi, Pi. Lakukanlah apa yang ingin Papi lakukan. Mengundang hasil perselingkuhanmu ke mari? Silakan! Tapi jangan harap aku akan bersikap baik padanya. Dan aku tak akan segan menuntutnya jika Papi berani menulis namanya sebagai ahli waris dalam surat wasiatmu nanti!"

Adinda berjalan keluar sambil membanting pintu ruang kerja Rafli.

Rafli pun hanya bisa terdiam sambil menyandarkan punggung pada bantalan sofa. Ia sadar ia memang egois. Tetapi di sisa usianya, Rafli ingin membayar semua waktu terbuang yang telah ia sia-siakan.

Besok, ia akan bertemu dengan putrinya --- Raline Lara.

***

Raline tertunduk memandang pada sepatu kets-nya yang usang.

Ia harus mencari pekerjaan lain. Pekerjaan yang jauh dari Aldi mau pun Rana. Namun wanita itu tak akan mendapatkan surat rekomendasi jika belum genap bekerja selama enam bulan di klub. Selama masa itu Raline harus bersabar.

Sebersit niat di hati Raline untuk pergi ke kota lain selain Jakarta atau Surabaya. Tapi ke mana? Apakah Yogyakarta --- seperti rencananya yang terdahulu? Raline lantas mendecih. Kesehatan Sintia sedang buruk. Mungkin ia akan menunggu sampai adiknya itu benar-benar pulih total.

"Mbak? Mbak?" Sintia menyenggol lengan Raline dan membuyarkan lamunannya.

"Eh? Kenapa, Sin?" tanya Raline terkesiap.

Sintia bangun dari duduk. "Nama aku dipanggil, Mbak."

"Oh? Ya ampun!" Raline bergegas bangkit.

Ia menggandeng adiknya dan masuk ke dalam ruangan sang dokter. Mereka sudah cukup lama antri untuk memeriksakan Sintia yang tak kunjung membaik. Gadis kecil itu semakin sering sakit perut. Nafsu makan Sintia juga menurun.

Seorang lelaki berpakaian kemeja ditutupi jas putih sudah duduk menunggu mereka berdua. Perawat wanita dalam ruangan dingin itu pun mempersilakan Raline dan Sintia duduk.

"Siapa yang sakit?" tanya dokter ramah.

"Adik saya, Dok." Raline tersenyum ke arah Sintia.

Dokter mengangguk dan meminta Sintia untuk berbaring di bed. Ditemani perawat, dokter itu lantas memeriksa Sintia serta mengajukan beberapa pertanyaan untuknya.

Setelah mengecek keadaan Sintia, dokter itu pun kembali duduk seraya sibuk menuliskan resep.

"Mbak, saya akan berikan obat pereda nyeri untuk sementara ini. Dan surat rujukan untuk pemeriksaan ke dokter digestif, ya," ujar dokter.

Dahi Raline berkernyit. "Dokter digestif? Itu dokter apa, ya? Memangnya adik saya sakit apa, Dok?" tanyanya.

"Dokter bedah digestif menangani keluhan seputar pencernaan. Saya rasa akan lebih tepat jika membawanya ke sana."

Mata Raline terbelalak. "Dokter bedah digestif? Dokter bedah?" Ia mengulang pertanyaan.

"Betul." Dokter itu melirik perawatnya dan saling berbicara kecil satu sama lain. "Kalau mau, Mbak bisa bawa adiknya untuk diperiksa sekarang. Kebetulan dokter bedah digestif avalaible siang ini."

Raline terdiam dan memandang Sintia yang masih berbaring di bed. Kenapa dia harus pergi ke dokter bedah segala? Apa Sintia sakit berat? Apa maag-nya sudah akut? Pikiran Raline berkecamuk tak karuan.

"Bagaimana, Mbak?" tanya si perawat pada Raline. "Saya bisa antar ke sana."

Raline pun akhirnya mengangguk.

***

Sejak pagi para pelayan sudah sibuk membersihkan setiap sudut rumah. Segala porselin dan guci keramik dilap hingga mengkilat. Semua tirai juga diganti baru, gorden tebal berukuran besar hingga menjuntai ke lantai. Tampak mewah berpadu dengan warna dinding yang kecokelatan.

Menuju dapur, aroma masakan sedap menggoda indra penciuman. Sudah pasti makanan terbaik sedang disiapkan oleh staf khusus dapur.

Halaman depan dan belakang juga tidak ketinggalan perawatan. Tukang kebun terlihat sibuk memangkas rumput hijau pada pekarangan luas kediaman Rafli Hardiawan. Pohon cemara dirapikan dan dibentuk bundar agar menambah elok pola simetris khas hunian ala Eropa Klasik. Semua orang benar-benar sibuk dalam rangka menyambut kedatangan putri kedua pewaris tahta.

Rafli duduk termenung di depan jendela perpustakaan. Tidak dapat dipungkiri, ia begitu gelisah dan gugup. Entah kata-kata apa yang bakal ia lontarkan pada sang putri. Atau bagaimana caranya ketika menghadapi kemarahan Raline nanti.

Pintu mendadak terbuka, Rafli seketika tersentak karena terkejut. Ajudannya masuk dan menghampiri lelaki dengan rambut memutih itu.

"Raline Lara dan Bayu Angkoro sudah datang," terang si ajudan.

Rafli terdiam.

Ia pun mengatur napas untuk menetralisir kecemasan. Sejurus kemudian, Rafli berjalan keluar diikuti oleh ajudannya.

Sesampainya di lantai bawah, mata Rafli tertuju pada seorang gadis yang berdiri di sisi Bayu. Tubuh tinggi semampai dengan rambut berwarna ash-blonde tertempa oleh pantulan cahaya dari lampu kristal. Rafli dan gadis itu pun saling berpandangan.

Perlahan, Rafli pun mendekat. Netranya nanar penuh keharuan. Segala rangkaian kalimat yang telah ia persiapkan mendadak buyar. Berganti sedih yang bercokol dalam sanubari.

"Ka-kamu ... Raline ...? Putriku ... Raline?" tanya Rafli bergetar.

Gadis itu mengangguk. Air mata menetes dan membasahi pipinya yang sepucat susu.

"Anda Rafli Hardiawan? Mengapa baru sekarang Anda mencari saya?" Ia lantas terisak.

Tangis Rafli pecah. Kedua tangannya terbuka dan berharap agar Raline menyambut pelukannya. "Maafkan Papi, Nak. Bolehkah ... Papi memelukmu?" tanyanya mengiba.

Gadis itu mengangguk ragu. Ia pun ikut menangis tersedu.

Tanpa menunggu lama, Rafli lantas mendekap putrinya. Mereka berdua saling bertemu dan melampiaskan segala rindu yang bersarang sekian lama. Tangan Rafli hangat membelai puncak kepala Raline yang membenamkan wajah pada dadanya. Tak ada kalimat terucap selain suara isak yang penuh pilu.

Sementara Bayu hanya bisa melongo menyaksikan pertemuan dua insan di hadapannya. Lelaki itu benar-benar berdecak kagum dalam hati.

Edan ... Irma jago akting juga rupanya.

***

Setelah menemui dokter bedah digestif beberapa hari lalu, Sintia diwajibkan melakukan diet khusus. Serangkaian diet selama tiga hari ke depan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan kolonoskopi. Kolonoskopi merupakan pemeriksaan dengan cara memasukkan selang lentur - dengan kamera di ujungnya - ke dalam bagian belakang pasien. Konoloskopi dilakukan untuk melihat adanya gangguan atau kelainan pada usus besar dan rektum.

Raline berulang kali menggoyangkan kaki di depan ruang pemeriksaan. Ia takut terjadi sesuatu pada Sintia. Perasaan Raline mengatakan bahwa penyakit yang diderita adiknya cukup berat. Namun ia terus mengenyahkan segala kemungkinan buruk yang datang.

Ia juga mulai cemas dengan sisa tabungan yang kian menipis untuk membayar rumah sakit. Sintia dan Raline tidak memiliki jaminan kesehatan, apa lagi asuransi. Beberapa kali kunjungan ke dokter ditambah prosedur kolonoskopi cukup menguras biaya. Selama ini Raline masih bisa bertahan, tetapi semakin lama uangnya semakin berkurang drastis.

Setelah satu jam menjalani kolonoskopi, Sintia diperbolehkan pulang. Sedangkan jika hasil pemeriksaannya sudah keluar, Raline akan dihubungi oleh pihak rumah sakit.

"Mbak," panggil Sintia lemas. Ia masih berbaring di atas brankar rumah sakit.

Raline tersenyum dan mengusap-usap dahi adiknya. "Kenapa?"

"Perutku kembung," ujar Sintia.

"Kata dokter, itu hal yang wajar selepas menjalani kolonoskopi. Kamu sabar, ya. Nanti kalau hasilnya sudah keluar, dokter akan membuat janji temu sama sama Mbak untuk membahas hasil tesmu," terang Raline.

Sintia mendesah berat. "Mbak, biarkan aku tinggal sama bapak saja, deh."

"Kok tiba-tiba ngomong begitu? Mbak, 'kan, sudah bilang kalau bapak lagi kerja di tempat yang jauh."

"Abisnya ..." Sintia berkaca-kaca. "Aku cuma bisa ngerepotin Mbak Raline aja."

"Hush! Mana ada kamu ngerepotin? Namanya manusia sesekali sakit itu wajar!" sanggah Raline. Ia justru merasa bersalah pada Sintia. Akibat ulahnya yang berpindah-pindah, kesehatan adiknya menurun. Belum lagi, sudah sebulan lebih Sintia tidak bersekolah.

Sintia memandang Raline dengan nanar.

Raline kembali membelai puncak kepala sang adik. "Nanti kalau kamu sudah sehat, Mbak akan cari sekolah yang bagus untukmu. Kamu bisa belajar lagi. Bertemu teman-teman baru. Ya?" imbuhnya.

"Iya, Mbak." Sintia pun mengangguk.

Raline mempertahankan senyum. Ia menelan segala kesedihan di depan Sintia. Ia harus tegar dan kuat demi sang adik satu-satunya. Kini, hanya Sintialah penyemangat Raline dalam menjalani kehidupan. Ia tak mau terjadi hal buruk menimpa bocah kesayangannya itu.

***

Hingga hari baru akhirnya tiba.

Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, Raline diharuskan datang untuk memenuhi janji temu di rumah sakit. Dokter akan membicarakan kelanjutan dari pemeriksaan Sintia.

Ruangan dominasi putih tempat Raline duduk sekarang terasa begitu dingin. Mungkin karena suhu penyejuk udaranya terlalu rendah untuk ukuran ruangan itu. Entahlah. Yang jelas, bulu kuduk Raline sampai meremang karena angin yang menusuk tulang.

Terlebih, ekspresi dokter yang duduk di depannya begitu tegang dan kaku. Sama halnya dengan si perawat. Mereka bertiga membisu cukup lama. Atmosfer yang teramat menegangkan bagi Raline.

"Sebenarnya ..." Dokter itu akhirnya bicara. Memecah segala keheningan yang menyiksa. "Kasus ini sering terjadi pada pasien berusia 50 tahun keatas. Namun, bisa juga terjadi pada anak-anak. Meski jarang ..." katanya.

Raline menelan saliva. Ia mendengarkan dokter itu menyelesaikan kalimat.

"Jadi adik Mbak ini menderita kanker usus besar. Kita harus segera melakukan pengangkatan jaringan tumor pada ususnya. Lalu ... pengobatan selanjutnya adalah kemoterapi ... dan ..."

"Kanker usus besar? Kanker, Dokter?" sela Raline. Ia memandang dokter penuh ketidak-percayaan.

Kanker. Salah satu penyakit mematikan yang dari namanya saja sudah mengerikan. Dan sekarang, Sintia mengidapnya.

Dokter mengangguk. Raut wajahnya menunjukkan empati mendalam.

"Hasil scan menunjukkan tidak terjadi perlengketan. Jadi, saya pikir operasi adalah jalan terbaik yang bisa dilakukan."

Dunia Raline bak berputar. Ia merasa ini adalah mimpi buruk di mana dia harus segera bangun dari tidur. Tapi sayang --- ini merupakan realita.

Atas segala miliknya yang telah direnggut oleh takdir, Raline berusaha ikhlas. Namun tidak kali ini. Ia benar-benar tak boleh kehilangan adiknya!

Penasaran dengan ending KINKY? Baca jalur cepat lewat Bestory, ya, Darlings! Go find akun AyanaAnn. Aku tunggu 🖤

Btw, Kinky's lovers, kalian bakal antusias nggak kalau aku bikin merc Kinky? Please, komen di kolom komentar. Aku mau denger pendapat kalian.

Okay, bab selanjutnya akan posting setelah dapat 300 votes.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top