SIXTY-EIGHT
Marni berdiri seraya memandangi ke tiap sudut kamar.
Aroma cat yang menyengat terendus oleh indra penciumannya. Dinding berwarna putih gading masih sedikit lembab dan basah. Tak ada furnitur atau lukisan terpasang. Hanya ruangan luas dan lengang tak berpenghuni.
Siapa sangka tadinya kamar itu adalah kamar rahasia tuan mudanya. Kamar bermain.
Marni bergegas merogoh ponsel dari dalam saku dan menempelkannya ke telinga. Dahi pengurus rumah itu pun berkernyit.
"Huh? Ponsel? Bibi rasa Bibi menyimpannya di laci kamar ..."
Ia lalu menatap layar gawai dengan penuh kebingungan. Jeffrey sudah mengakhiri pembicaraan mereka secepat kilat.
***
Raline berjalan menuju cermin untuk memeriksa penampilan. Sial. Lagi-lagi riasan di bawah matanya terhapus karena terkena air mata.
Ini sudah ketiga kali ia memperbaiki dandanan. Kalau bukan karena ingus, meleleh, pasti sebab maskara yang luntur. Meski demikian, ia tetap tak bisa menghentikan tangis. Raline merasa jijik dengan diri sendiri. Ia terpaksa memohon dan mengobral tubuh pada lelaki yang lebih cocok menjadi ayahnya. Rafli Hardiawan.
Sudah satu jam setelah dia mengirimkan pesan pada Rafli. Sebentar lagi ia pasti datang dan wajah Raline masih berantakan.
Oh, ayolah, Raline!
Ia kembali menyeka sisa tangis sambil menepuk-tepuk pipinya. Untuk beberapa saat, Raline menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Merasa lebih tenang, Raline pun kembali memandangi pantulan diri pada kaca. Ia lantas menebalkan bedak dan memulas lipstik pada bibir plum-nya.
Raline kemudian membuka robe satin yang menutupi tubuh. Ia sudah mengenakan lingerie seksi berwarna salem. Buah dada kencang yang bersembunyi dari balik kain tipis. Sedangkan area di bawah sana hanya terlindungi oleh string senada dengan lingerie. Ia benar-benar sudah siap.
Raline dulu percaya bahwa Jeffrey adalah satu-satunya lelaki yang menyentuhnya. Ia bodoh karena juga percaya kalau kisah cintanya bakal berakhir manis bak dongeng. Kini semua kenyataan terpampang menampar Raline.
Di sinilah dia. Dalam kamar hotel menunggu pelanggan datang. Bukan hanya Jeffrey yang menyetubuhinya. Ada Aldi. Lalu sebentar lagi Rafli Hardiawan.
Raline lalu membayangkan segala kemungkinan yang Rafli akan lakukan. Dan semua makeup Raline pun menjadi sia-sia --- karena wanita itu kembali terisak tersedu-sedu.
***
Jantung Jeffrey berpacu cepat dan memburu. Ia menggulir ponsel lama yang sudah tak lagi ia gunakan. Ponsel yang menyimpan segala kenangan tentang Raline Lara.
"Ada apa, Pak? Kenapa sepertinya serius sekali?"
Pertanyaan dari Marni tidak Jeffrey indahkan. Ia sedang serius membuka riwayat pesannya dengan Bayu. Netra lelaki itu seketika terbelalak ketika berhasil menemukan apa yang dicari.
Ia memang pernah bertemu Raline Hardiawan sebelumnya.
Dan dia bukan Raline Hardiawan atau Raline Lara. Ia jelas telah menipu Rafli habis-habisan. Tetapi Jeffrey tahu siapa dalang di balik semua ini. Raline Hardiawan palsu pasti hanya boneka dari segala permainan.
"Brengsek. Dia Irma." Jeffrey menggeram seraya memandang layar ponsel. Pelacur berambut burgundy yang telah ia tiduri dua kali sebelum mengenal Raline Lara. Sebagai muncikari, Bayu selalu mengirimkan foto-foto para PSK-nya. Foto Irma masih tersimpan rapi dalam media percakapan mereka. "Bi Marni, segera carikan aku penerbangan ke Jakarta." Jeffrey beringsut bangun dan membuka lemari pakaian.
Marni menatap Jeffrey kebingungan. "Se-sekarang, Pak?"
"Sekarang!"
***
Presidential Suite yang berukuran super luas terasa sempit bagi Raline. Ia membiarkan Rafli menelisik setiap jengkal tubuhnya melalui tatapan. Lelaki matang itu jelas tersenyum puas.
Rambut Raline yang hitam panjang dibiarkan terurai hingga menutup sebagian dada. Wajahnya juga tak sepucat kemarin. Riasan berhasil menonjolkan fitur sensual yang sudah ada padanya. Ditambah aroma parfum menguar --- Angel benar-benar sempurna.
Rafli berjalan menghampiri Raline yang duduk di tepian ranjang. Ia lalu menarik dagu Raline.
"Gugup?" tanya Rafli.
Raline bergeleng pelan.
Rafli menyeringai. "Apa ini kali pertamamu?"
Raline kembali menggeleng.
"Bagus," ucap Rafli. "Aku tak menyukai perawan. Terlalu berantakan."
Raline terdiam dan membiarkan Rafli duduk bersebelahan dengannya.
"Katakan padaku tentang pengalaman seksualmu yang terdahulu," kata Rafli.
"Untuk apa?" sahut Raline datar. "Apakah itu perlu?"
"Tentu saja. Aku ingin permainan kita sempurna. Jadi aku perlu tahu sejauh mana kemampuanmu dalam bercinta," goda Rafli. Ia membelai lembut pipi Raline yang semulus porselen.
Raline memalingkan muka. Ia menerawang ke arah jendela kamar hotel. Pertanyaan dari Rafli bukanlah sesuatu yang ingin ia bahas.
"Ayolah ... tidak perlu malu," desak Rafli.
Raline menelan saliva. "Kurasa aku sudah melakukan hal-hal liar yang mampu menyeimbangimu, Pak Rafli."
"Oh, my Godness." Tawa Rafli pecah. "Kamu benar-benar membuatku bersemangat, Nona Angel."
Raline berusaha tersenyum dan menyembunyikan getir. Paling tidak --- ia harus profesional demi mendapatkan keinginannya.
"Bagaimana dengan bayaranku?" tanya Raline.
"Berapa yang kamu mau?" Rafli tersungging mantap.
Raline lantas menyebut nominal fantastis pada Rafli. Untuk sejenak Rafli sedikit terhenyak karena mendengarkan jumlahnya.
"Bayaranmu tidak main-main, Nona," sahut Rafli. "Aku tidak bisa memberikannya untuk sekali permainan saja."
"Lalu?" Raline mendadak gusar. Ia sangat membutuhkan banyak biaya untuk kesembuhan Sintia.
"Kamu harus melayaniku beberapa kali. Tidak hanya hari ini," ujar Rafli santai. "Tapi tergantung --- kalau sekarang servismu ternyata mengecewakan, jangan harap ..."
Ponsel Rafli tiba-tiba berdering. Ia mendecih dan mengabaikan panggilan hingga berakhir. Rafli sejenak lupa tentang apa yang ia ingin bicarakan dengan si cantik Angel. Semua gara-gara telepon bodoh yang masuk di saat tak tepat!
Rafli kembali melanjutkan, "Bagaimana, Nona Angel? Kamu setuju?"
Raline belum sempat menjawab karena ponsel Rafli kembali berbunyi.
"Sebaiknya Bapak menjawab panggilan yang masuk," kata Raline.
Rafli mendecih. Ia lantas meraih ponsel di atas console table. Dahinya berkernyit ketika tahu siapa yang telah berulang kali meneleponnya. Jeffrey. Mau apa?
"Tunggu di sini," titah Rafli pada Raline. Ia lantas berjalan menjauhi si wanita untuk menerima telepon dari calon menantunya.
Raline mengembuskan napas berat ketika sosok Rafli menghilang. Sebenarnya ia begitu bersyukur dengan panggilan itu. Sedikit pengulur waktu sampai saatnya ia harus melayani Rafli. Namun, Raline sadar. Ia membutuhkan uang dari Rafli secepatnya.
"Kenapa, Jeff?" Rafli menerima panggilan.
"Dua jam lagi aku akan tiba di Jakarta, Om," terang Jeffrey dari seberang.
Rafli terkekeh. "Oh ya? Lalu kenapa bukan Adinda yang kamu hubungi?" tanyanya.
"Aku ke Jakarta bukan untuk menemuinya. Melainkan untuk bicara dengan Om Rafli. Kuharap kita segera bertemu hari ini," tukas Jeffrey.
"Apa? Denganku? Ada apa?"
"Ini bukan hal yang pantas kubicarakan melalui telepon, Om. Tapi ini soal putrimu, Raline Hardiawan," terang Jeffrey.
Kedua alis Rafli saling bertautan. Perasaannya tiba-tiba gusar. "Kenapa dengan putriku?"
"Kurasa Om telah ditipu."
***
Netra hitam pekat Jeffrey terpaku pada jendela pesawat. Sebenarnya ia tak sedang menikmati pemandangan, melainkan sibuk melamun. Melamunkan takdir konyol yang telah menjebak dirinya dan Raline Lara.
Well. Jika benar maka Raline Lara --- submisifnya --- adalah calon ipar Jeffrey.
Oh bangsat. Ini sungguh plot twist yang tidak pernah diharapkan oleh Jeffrey. Meski wanita itu sedang ada di Paris, atau di mana pun itu, tetap saja suatu saat Rafli pasti bisa menemukannya. Dan Jeffrey yakin pandangan Rafli kepada dirinya akan berubah total.
Bagaimana respon Rafli jika ia tahu Jeffrey telah menjadikan putrinya seorang budak submisif. Menjebak wanita berambut perak itu dalam dunia dominan yang liar. Yah, meski pada akhirnya Jeffrey justru kalah dalam permainan. Raline Lara meninggalkannya saat Jeffrey bertekuk lutut.
Lalu bagaimana jika Rafli juga tahu bahwa Anwarlah yang mengirim Raline pergi ke Paris. Oh semua terlalu memusingkan untuk Jeffrey.
Padahal ia bisa saja membiarkan Irma selamanya menjadi Raline Hardiawan palsu. Mungkin dengan begitu semua taktik bisnisnya dan Anwar tak berpotensi riskan. Tapi nyatanya Jeffrey sudah berubah menjadi lelaki yang gemar ikut campur. Apalagi kalau itu menyangkut Raline Lara.
Raline Lara.
Nama yang Jeffrey tahan dan simpan pada ujung lidah. Sungguh. Ia ingin sekali mengenyapkan wanita itu. Tapi tak bisa! Dan sekarang jika ia dan Adinda menikah, mereka akan menjadi satu keluarga.
Jeffrey lantas mendesah berat.
Ia harus mendesak Anwar untuk memberitahu di mana Raline berada. Wanita itu harus tahu kenyataan yang sebenarnya. Bahwa ia masih memiliki seorang ayah. Seutas garis melengkung tipis tercipta pada bibir Jeffrey. Ia turut senang untuk submisifnya itu. Ternyata ... Raline memiliki akhir bahagia dalam kisah hidup.
Cantik, lulusan sekolah mode Paris, dan keturunan Hardiawan.
Raline Lara berhasil mengubah nasib dalam sekali jentikkan jari. Menjadi anak Rafli menjamin ia hidup sejahtera tak berkekurangan. Syukurlah.
Senyum Jeffrey mendadak pudar. Berganti dengan dengkusan kesal. Sialan. Harusnya ia mengutuk Raline Lara, bukan? Wanita itu pengkhianat yang telah menukar cinta demi uang. Namun, setelah kesakitan yang diciptakannya, Jeffrey tetap tak bisa --- membenci.
Landing announcement terdengar diumumkan. Pesawat yang membawa Jeffrey akan segera mendarat pada Bandara Soekarno Hatta dalam hitungan menit. Lelaki itu lantas menelan saliva. Ia dan Rafli akan bicara tentang kebenaran yang berpotensi mengubah nasib semua orang. Termasuk dirinya.
***
Ajudan Rafli menjemput Jeffrey yang baru saja keluar di pintu kedatangan.
"Bapak menunggu di lounge." Ajudan tadi menawarkan untuk membawakan travel bag Jeffrey. "Mari saya bawakan, Pak."
Jeffrey menggeleng. "Tak perlu," sahutnya.
Mereka pun lantas berjalan bersisian menuju tempat di mana Rafli berada.
Rafli memilih bertemu pada lounge nyaman yang terdapat pada area bandara. Interior elegan dengan ornament minimalis tetap menampilkan kesan mewah nan eksklusif. Lelaki matang itu duduk santai dan mengambil tempat dekat dengan jendela. Ia meneguk secangkir cappucino sambil menunggu Jeffrey.
Rafli sebenarnya agak gusar.
Ia terpaksa meninggalkan si cantik Angel karena desakan Jeffrey. Calon mantunya memang terdengar serius saat di telepon tadi. Apa lagi masalah yang hendak mereka bahas adalah soal putrinya, Raline.
"Om," sapa Jeffrey.
Rafli berdiri dari duduk dan merangkul calon menantunya. "Oh, Jeff. Kamu sudah datang," sambutnya. "Duduklah."
Jeffrey mengangguk dan membiarkan pelayan mendatangi. Lelaki itu pun memilih kopi hitam untuk mengusir jengah setelah menempuh penerbangan.
"Katakan, apa maksudmu kalau Om telah ditipu," kata Rafli.
Jeffrey berdeham. Ia mengeluarkan ponsel dan menyalakan layarnya.
"Sebenarnya aku tidak bangga dengan kelakuanku ini, Om," aku Jeffrey.
Rafli menatap Jeffrey lekat. Ia mendengarkan dengan saksama.
Jeffrey pun melanjutkan, "Aku pernah menyewa jasa seorang wanita penghibur dari muncikari."
Rahang Rafli mulai mengeras. Ia mengubah posisi duduk untuk mengusir ketidak-nyamanan.
"Adinda sudah tahu kelakuanku. Mungkin itu juga yang membuatnya ragu padaku," imbuh Jeffrey.
Rafli menggeleng. "Om paham, Jeffrey. Ia berulang kali mengatakan kalau kamu dan Om itu sama." Ia lantas tersenyum kecut. "Sebagai lelaki kita memang tidak bisa mengabaikan kebutuhan yang satu itu. Om sepenuhnya mengerti dan tak menyalahkanmu. Hanya saja, jika kamu masih melakukan itu sekarang, Om mungkin harus berpikir dua kali menyerahkan Adinda padamu."
"Tidak, Om. Aku sudah lama meninggalkan hobi buruk itu," kelit Jeffrey. Ia tak mengatakan bahwa alasannya meninggalkan hobi buruknya adalah Raline Lara.
"Baguslah. Om mempercayaimu, Jeff." Rafli lalu meneguk kopinya. "Lantas, apakah ini yang ingin kamu bicarakan dengan Om? Sebuah pengakuan tingkah nakal sebelum memperistri Adinda?"
"Tidak. Bukan itu." Jeffrey kembali membersihkan tenggorokan. "Jadi ... ehm ... begini ..." Ia menyodorkan ponselnya pada Rafli. "Salah satu wanita panggilan yang pernah kupakai adalah wanita ini. Namanya Irma."
Rafli menerima ponsel Jeffrey dan memandang lekat pada layar. Tampak potret seorang wanita berambut burgundy yang tersenyum manis. Saat ia menggeser slide berikutnya, terlampir juga foto identitas diri wanita itu. Irma Arianti.
"Ini ..." gumam Rafli.
Jeffrey mengangguk. "Dan muncikarinya bernama Bayu Angkoro."
Tatapan Rafli berkilat penuh amarah. Ia cukup lama menatap gawai milik Jeffrey. "Ini tidak benar, bukan? Kalian bertemu saat pesta pertunangan."
"Irma tidak mengenalku karena tiap kali bermain, ia selalu mengenakan penutup mata," terang Jeffrey. Sebenarnya ia tak nyaman menjelaskan soal detail itu. Tapi, mau bagaimana lagi?
Rafli terhenyak dan mengembalikan ponsel Jeffrey. Giginya bergemeretak saking emosi.
"Om tidak melakukan tes DNA terlebih dahulu?" tanya Jeffrey.
Rafli mendengkus. "Setelah mengabaikannya selama 25 tahun, apa kamu pikir hal itu pantas kulakukan, huh?"
Jeffrey jelas menangkap kegusaran pada si calon mertua. Ia tak lagi mengatakan apa pun pada Rafli. Dan membiarkan lelaki dengan rambut memutih itu mencerna perasaan yang berkecamuk. Bayu memang nekat. Menipu orang sekelas Rafli tanpa gentar. Muncikari itu memanfaatkan ketiadaan Raline demi keuntungan. Tapi semua salah Rafli yang terlalu ceroboh mempercayai kriminal macam Bayu Angkoro.
"Apa ada lagi yang mau kamu sampaikan pada Om, Jeff?" Rafli menyorot Jeffrey dingin.
"Ti-tidak, Om."
Jeffrey memilih bungkam soal fakta bahwa ia mengenal Raline. Untuk kali ini, ia mengutuk diri yang pengecut. Namun Jeffrey tak hanya melindungi dirinya semata, melainkan Anwar juga. Kepergian Raline Lara tak lepas dari andil ayahnya itu.
Rafli bangkit dari kursi.
"Om sangat berterima kasih untuk informasi yang kamu berikan. Ini sangat berarti," kata Rafli.
"Ya," sahut Jeffrey. "Apa yang akan Om lakukan pada Irma dan Bayu?"
Rafli menyeringai. "Yang akan kulakukan? Aku belum memikirkannya. Tapi mereka telah bermain dengan orang yang salah. Selain itu, aku butuh mengorek informasi tentang keberadaan putriku pada Bayu."
"Baiklah." Jeffrey menghela napas.
Rafli menepuk lengan Jeffrey. "Om duluan. Ada urusan yang harus Om urus."
***
Irma sedang berendam menikmati busa wangi dari sabun mahal yang ia tuang dalam bathtup. Wanita itu mengusap seluruh bagian tubuh dengan jemarinya yang lentik.
Ah, ternyata begini rasanya jadi anak konglomerat.
Wanita itu tersenyum seraya bersandar santai. Matanya terpejam untuk mengingat-ingat lagi kebersamaan dengan Rafli tadi.
Rafli Hardiawan ... Lelaki matang yang memiliki keseksian luar biasa. Irma kembali bernafsu tiap membayangan ayah palsunya itu. Tanpa sadar, ia pun memainkan sendiri kedua gundukannya dengan jemari. Berfantasi seolah Raflilah yang melakukan itu.
Toktoktok.
Pintu kamar mandi yang mendadak diketuk membuat Irma tersentak bukan main.
"Ya?" seru Irma.
"Honey, ini Papi. Boleh Papi masuk?"
Bibir Irma seketika tersungging. Lelaki dalam imajinasi liarnya tiba-tiba datang. Tanpa pikir panjang, Irma lantas mengizinkan Rafli untuk menyusulnya di bathroom.
"Masuk aja, Pi," kata Irma.
Ia tidak tahu saja apa yang akan Rafli lakukan padanya sebentar lagi.
Hai, Darls!
Join grup telegram Ayana, yuk! Nanti bakalan ada informasi seputar works Ayana, bagi voucher baca gratis di KarKas, dan obrolan seru lainnya! So, please banget kalian kudu join kalau emang sayang aku ☺️☺️😌✨
Find : https://t.me/ayanaAnn2727 or ayanaAnn2727
Aku tunggu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top