SIXTY

KINKY bab 61 akan UPDATE setelah mencapai 700 followers. Jadi yang masih jadi pembaca goib, harap follow dulu supaya bisa baca lanjutan bab lebih cepat. Thank you.

Setengah jam sudah Jeffrey mengetuk-ketuk pintu rumah bermaterial kayu usang di hadapannya. Sesekali ia mengintip dari luar jendela seraya menyerukan nama sang kekasih. Rumah itu jelas kosong.

Jeffrey lagi-lagi mencoba menghubungi nomor Raline. Dan, hasilnya masih sama. Nomor tidak aktif.

Ia mendecih.

Melengos pergi untuk kembali ke kantor. Langkah Jeffrey gontai --- ia sudah merencanakan kejutan istimewa. Sesuatu yang Jeffrey siapkan tanpa rencana. Sesuatu yang lelaki itu pikir tak akan pernah ia lakukan seumur hidup. Berlutut dan melamar.

***

Bunyi pantofel Jeffrey bertumbukan pada lantai granit. Pandangan matanya yang hitam pekat kian dingin dan kelam. Ekspresi wajah sang CEO juga memancarkan aura suram yang membuat beberapa staf segan menyapanya.

Sambil berjalan, Jeffrey mengeluarkan ponsel dan menempelkan gawai tadi pada telinga. Ia masih berharap Raline akan mengangkat. Meski Jeffrey tahu nomor itu jelas-jelas sudah tidak aktif.

Raline pasti kehilangan ponselnya. Duga Jeffrey. Namun, mengapa kekasihnya itu juga ikut menghilang.

"I don't know, Jeff. Maybe something happened to her. Kemarin dia pulang saat jam makan siang. She even didn't said a word."

Perkataan dari Marlena semakin membuat Jeffrey bimbang. Damn it, Raline Lara! Sebenarnya di mana dia?!

Dalam ruang kerja, Jeffrey merogoh ke saku jas. Kotak mungil berwarna sangria. Sebuah cincin bermata berlian yang Jeffrey hendak berikan untuk Raline.

Toktoktok. Ketokan pada pintu membuyarkan lamunan Jeffrey. Ia kembali memasukkan kotak perhiasan itu dalam kantong.

"Masuk."

"Pak." Gisella menyelipkan tubuh di antara sela pintu. "Boleh saya bicara dengan Bapak."

"Masuk saja! Bukankah kewajibanmu memang bicara denganku," hardik Jeffrey gusar. Ketiadaan Raline membuat emosinya labil.

"Bapak sedang mencari Raline Lara, 'kan?" tebak Gisella.

Jeffrey menengok dan mencurahkan segala atensi pada sekretarisnya. Ia menghampiri dan meminta Gisella untuk duduk bersisian di sofa.

"Kamu tahu di mana Raline? Kamu tahu kenapa nomornya tidak aktif? Apa terjadi sesuatu kemarin?" cecar Jeffrey.

Gisella mengangkat kepala untuk menatap Jeffrey. Raut wajah sang CEO jelas mengisyaratkan kekhawatiran mendalam. Hal itu membuat kebencian Gisella kepada Raline semakin membara. Jeffrey adalah seseorang berpembawaan tenang. Kini ia perlahan kehilangan wibawa. Tak ubah bagaikan seekor induk ayam tanpa anaknya.

"Saya pikir, Raline Lara tidak akan kembali ke mari lagi, Pak Jeffrey," ucap Gisella.

"Apa maksudmu bicara begitu?" Dahi Jeffrey berkernyit. "Memang Raline ke mana?"

Gisella menelan saliva. Memasang wajah seolah-olah ia berempati pada si bos. "Paris," jawabnya.

"Pa ... ris?"

"Mungkin kedengarannya ini lancang --- tapi --- saat makan siang kemarin saya memergoki Raline bicara berdua saja dengan Pak Anwar Bahadir," terang Gisella.

Jeffrey menyorot Gisella dengan tatapan yang setajam elang. Membingkai sosok wanita itu dalam dua bola matanya yang sepekat malam.

"Pak Anwar menawarkan sejumlah uang dan beasiswa ke Paris kepada Raline. Dan, Raline menerimanya," ungkap Gisella.

"Nonsense," sahut Jeffrey. Seutas senyum ketidak-percayaan terukir pada wajah tampannya.

Gisella tertunduk. "Sebenarnya saya pun enggan menyampaikan ini, Pak. Namun, saya pikir lebih baik Bapak tahu siapa Raline Lara yang sebenarnya."

"Siapa Raline Lara yang sebenarnya?" ulang Jeffrey. "Kamu jangan sok tahu, Gisella. Kamu tidak benar-benar mengenal, Raline!"

"Lalu apa Bapak Jeffrey mengenalnya? Jika iya, ke mana dia sekarang?" tukas Gisella. Ia lalu bangkit dari duduk. "Saya sudah menyampaikan apa yang saya ketahui. Permisi."

Gisella lantas meninggalkan Jeffrey yang berdiri tepat di depan jendela. Dengan segera Jeffrey menghubungi Anwar menggunakan panggilan telepon.

"Ya, Jeff?" Suara Anwar terdengar dari balik speaker.

"Apa yang Papa lakukan kemarin saat aku tidak ada?" tanya Jeffrey dingin.

Anwar terdiam beberapa saat. Menciptakan jeda yang menyiksa untuk Jeffrey. "Papa ingin lihat wanita seperti apa Raline Lara itu. Dan dugaan Papa benar tentangnya."

"Papa tidak berhak ikut campur urusanku."

"Tentu Papa berhak. Terlepas dari ketegangan yang terjadi antara kita, Papa tetap peduli padamu." Anwar lagi-lagi hening. Setelah menarik napas sebentar, ia melanjutkan, "Semua orang miskin di dunia ini sama. Mereka seketika tunduk saat ditawarkan uang di depan mata. Begitu pun Raline. Tapi kurasa dia wanita yang cukup bijak. Dia memilih mengambil beasiswa ke Paris demi mengubah nasibnya. Apa yang dia lakukan sudah sangat tepat."

"Ini mustahil!" sentak Jeffrey. Ekspresinya mengeras. Namun, netranya menunjukkan kegetiran. "Raline Lara bukan wanita seperti itu!"

"Kamu pikir kenapa dia mendekatimu? Kamu lupa siapa dirimu, Jeff? Kamu adalah pebisnis muda keturunan Anwar Bahadir. Andaikan kamu hanya lelaki biasa yang bekerja sebagai karyawan, apakah Raline Lara tetap memilihmu sebagai targetnya?" tukas Anwar tenang.

Jeffrey mengepalkan tangan demi menahan emosi. Ia berusaha tetap berpikir dengan kepala dingin. "Raline mau pun adiknya tidak memiliki visa atau pun paspor," bantahnya.

Tawa Anwar terdengar mengejek. "Tentu saja tidak sulit untuk Papa mengatur semuanya, Jeff. Wanita itu sudah menyetujui penawaran yang Papa berikan. Pagi ini dia terbang ke Jakarta bersama adiknya."

Bibir Jeffrey kelu untuk membalas Anwar.

"Jeff," ucap Anwar. "Lepaskan wanita itu mencapai impiannya. Dia adalah satu orang beruntung yang memanfaatkan kesempatan dengan baik. Dan hal ini harusnya kamu jadikan pelajaran agar lebih menggunakan logika ketimbang perasaan. Sebentar lagi usiamu 32, bukan remaja yang baru merasakan indahnya cinta monyet."

Tanpa berkata apa pun, Jeffrey mengakhiri sambungan telepon. Raut wajahnya datar --- nyaris tanpa ekspresi. Meski demikian, hati lelaki itu terasa nelangsa dan sembilu.

Jeffrey melangkah keluar menyembunyikan kegusaran. Lelaki itu menaiki lift menuju area rooftop. Sesampainya di sana, Jeffrey menyandarkan lengan pada pembatas kaca. Dari puncak gedung kantor, Jeffrey mampu memandang jelas ke arah kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Langit biru yang terik juga terpampang nyata di atas kepala lelaki itu.

Jemari Jeffrey merogoh ke dalam saku, mengamati kotak cincin berwarna sangria. Cincin yang seharusnya sekarang ia berikan pada Raline Lara. Submisifnya. Kekasihnya. Sebuah garis melengkung tercipta dari tarikan kedua sudut bibir Jeffrey. Senyum pahit.

Semenjak mengenal Raline --- Jeffrey memang menomor-duakan akal sehat. Apa yang dikatakan Anwar ada benarnya. Raline juga pantas mengejar ambisinya sendiri. Ia bukan milik Bayu, miliknya, atau siapa pun. Kini Raline adalah manusia bebas yang berhak melangkah ke mana pun. Meski tanpa dirinya.

Jeffrey bisa saja menyusul Raline ke Jakarta selama wanita itu mengurus visa pelajar. Namun ini bukan sebuah drama romansa yang mendramatisir sebuah perpisahan. Jeffrey tak akan berlari ke Juanda demi menciptakan adegan klise yang sudah basi. Ini adalah hidup. Ia harus menghormati keputusan sang kekasih --- atau lebih tepatnya --- mantan kekasih.

Ia mendecih seraya tersenyum getir. Setidaknya Raline bisa berpamitan sebelum pergi. Mereka seharusnya berpisah layaknya dua orang dewasa. Memberikan kesempatan terakhir bagi bibir mereka untuk saling bertautan. Untuk terakhir kali.

Tenang saja --- Jeffrey tak akan menahan Raline ketika di bandara. Bahkan, ia sangsi bakal menawarkan tumpangan ke Juanda. Jeffrey tak suka melihat punggung Raline perlahan berlalu. Ia juga tak suka air mata.

"Oh, Pak Jeffrey." Seorang pramu kantor tidak sengaja muncul sambil membawa alat-alat kebersihan. "Selamat siang, Pak." Ia menunduk penuh hormat.

"Siang." Jeffrey tersenyum tipis. Ia berjalan menghampiri dan menyodorkan kotak sangria tadi pada si pramu kantor. "Untukmu."

Pramu kantor tadi menerimanya penuh tanya. Memandang sosok Jeffrey yang dengan santai berjalan masuk ke dalam.

Dalam pembawaan tenang --- tak seorang pun tahu bahwa hati Jeffrey sedang remuk redam.

Sudahlah. Ia sudah terbiasa menyembunyikan sengsara semenjak kecil. Inilah alasan Jeffrey haram membuka diri pada seseorang. Lelaki itu sudah menduga cinta hanya akan berakhir duka. Seperti hari ini.

"Pak, ruang meeting sudah siap." Gisella menghampiri Jeffrey yang baru saja kembali.

Jeffrey mengangguk. "Oke. Kita mulai rapatnya sekarang."

Dan dunia terus berputar --- seolah tak terjadi apa-apa.

***

René Descartes, Molière, dan Maupassant
Kau penuhi kepalaku yang kosong
Dan Perancis membuat kita sombong
Saat kau masih milikku

Aih, puan kelana
Mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh marabahaya
Dan duka nestapa
Seperti Surabaya

(Puan Kelana - Silampukau)

***

Senja itu beberapa orang duduk bersama di depan pelataran rumah. Sesekali tawa riuh terdengar menggelegar memecah sepi. Seorang lelaki berkaos putih polos dilengkapi bawahan sarung, berjalan cepat menghampiri kerumunan tadi.

"Heh!" seru si lelaki paruh baya itu. "Aku tadi dapat telepon dari Mapolres Jaksel!"

Evi melirik sepintas. "Duh, Pak RT, datang-datang kok bawa berita heboh. Memang kenapa kok ditelepon sama Mapolres Jaksel? Pak RT habis ngapain?" ledeknya.

Bapak-bapak yang lain ikut menimpali. "Jangan sampai Bu RT dengar, nanti gula darahnya naik!" Mereka pun kompak mengikik.

"Hush!" sentak Pak RT. "Ini soal Bayu! Dia sekarang ditahan di sana. Katanya sulit menghubungi pihak keluarga."

Mereka kompak terdiam dan saling pandang.

Salah seorang menimpali. "Bayu iku selalu lolos soale nduwe backing-an nang kene. Saiki sopo sing arep ngewangi de'e nang kono." Ia bergeleng seraya mendecak.
(Bayu itu selalu lolos karena punya backing-an di sini. Sekarang siapa yang mau bantu dia ke sana)

"Wes jalane ben kapok. Ben tobat," timpal Pak RT.
(Sudah jalannya supaya kapok. Supaya tobat)

Evi tiba-tiba mendengkus seraya mengusap matanya yang merah. "Apa karena itu, ya, Raline dan Sintia pergi dari sini. Karena takut terseret oleh ulah bapaknya. Ya Allah, cek saknoe, seh, arek loro iku ..." Ia menyedot cairan hidungnya.
(Ya Allah, kok kasihan sekali, sih, dua anak itu)

"Memang kasihan. Harus menanggung perbuatan orang tuanya," imbuh Pak RT.

"Tapi setidaknya mbok, ya, pamit dulu sebelum pergi. Aku wes anggap mereka anak, lho, Pak. Opo maneh Sintia. Tak ramut tekan cilik. Tekan sek abang." Air mata Evi menetes karena mengenang-kenang.
(Apa lagi Sintia. Kurawat dari kecil. Dari masih merah)

"Yawes, to, Vi. Mereka pasti punya alasan. Doakan saja di mana pun mereka berada, diparingi sehat dan selalu dilindungi dari musibah," ucap Pak RT bijak.
(diparingi : diberikan)

Terlalu asyik bercakap-cakap, mereka tak menyadari bahwa sedari tadi seorang lelaki tegap berdiri dan mengetuk-ketuk pintu rumah Bayu.

"Sopo iku? Polisi jangan-jangan ...?" bisik Evi takut.

Pak RT pun berinisiatif menghampiri lelaki asing tadi.

"Cari siapa, Mas?" tegur si Pak RT.

"Ini benar rumah Ibu Lina Larasati, ya?"

Pak RT terkesiap. Begitu pula dengan Evi dan sekumpulan bapak-bapak tadi.

"Lina Larasati?" ulang Pak RT.

Evi berjalan menyusul. Mata wanita itu kembali nanar.

"Mas ini siapanya Lina Larasati kalau boleh tahu ...?" tanya Evi gemetaran.

"Saya diutus oleh kerabat jauhnya untuk menemui Ibu Lina Larasari dan anaknya Raline Lara. Mereka betul tinggal di sini?" Si lelaki tegap balik bertanya. Posturnya tinggi dengan barisan otot menyembul dari balik jaket tebal. Potongan rambut lelaki itu juga tipis ala seorang pasukan keamanan negara.

"Ini memang betul rumah Lina Larasati. Tetapi, beliau sudah lama meninggal, Mas," terang Evi.

Lelaki itu terdiam. Bosnya tak akan senang jika mendengar kabar duka ini. "Lalu anaknya Raline Lara?"

"Raline memang tinggal di sini dari kecil, Mas. Tapi sayangnya, beberapa hari yang lalu dia pergi entah ke mana. Sama sekali tidak berpamitan pada kami semua," sahut Pak RT. "Saya pikir, kemungkinan dia takut ikut terseret oleh kejahatan yang dilakukan bapaknya."

"Bapaknya?" selidik ajudan Rafli itu.

"Betul, Mas. Bapaknya sedang ditahan di Mapolres Jakarta Selatan. Namanya Bayu. Bayu Angkoro," terang Pak RT.

"Bayu Angkoro?" ulang ajudan menegaskan.

Pak RT dan Evi kompak menganggukkan kepala.

"Soalnya Raline pergi bertepatan saat berita Bayu ditahan. Kemungkinan, Bayu tahu di mana keberadaan Raline," imbuh Pak RT.

Lelaki tegap tadi mengangguk. "Baik. Terima kasih informasinya." Ia lantas melenggang pergi tanpa berbasa-basi. Ajudan itu berkewajiban menelepon Rafli jika menemukan informasi baru. Namun berita kematian Lina Larasati bukan kabar baik yang pantas disampaikan melalui telepon. Ia harus segera kembali ke Jakarta untuk bicara pada bosnya.

***

"Halo, Jeff. Ini Om Rafli."

Jeffrey mengalihkan pandangan dari komputar lipatnya. "Oh, Om Rafli. Apa kabar?"

"Buruk," sahut Rafli terkekeh.

"Ada apa, Om?" tanya Jeffrey sedikit cemas.

"Aku sedang dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung mendadak," ujar Rafli.

"Astaga, Om?"

"Tidak perlu khawatir, Jeff. Aku baik-baik saja dan sebentar lagi diperbolehkan pulang." Rafli tertawa sebentar lalu menarik napas panjang. Ia kemudian kembali berkata, "Namun peristiwa ini membuatku berpikir ulang tentang Adinda. Dia akan sendirian jika hal buruk menimpaku."

Jeffrey terdiam dan mendengarkan saksama.

"Maaf kalau membicarakan ini melalui telepon, Jeff. Tapi ... Om ingin bertanya soal kelanjutan hubunganmu dengan Adinda. Om rasa kalian sudah mengulur waktu terlalu lama," lanjut Rafli.

"Ya, Om Rafli benar," sahut Jeffrey. "Untuk hal itu, aku minta maaf sebesar-besarnya. Aku akan mencari waktu lowong secepatnya untuk bertemu dengan Om Rafli dan Adinda."

"Oh ya, Jeff?"

"Tentu, Om. Hubungan kami memang sebaiknya segera diresmikan."

***

Setelah ditangkap oleh Polres Metro Jakarta Selatan dengan sejumlah barang bukti yang memberatkan. Bayu pun mendapatkan vonis hukuman dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lelaki itu terbukti bersalah karena melakukan praktik prostitusi dan penyalahgunaan narkoba.

Bayu yakin ia dijebak --- narkoba itu bukan miliknya. Terlebih, PSK yang bersama dengannya membuat pernyataan yang kian memberatkan Bayu. Wanita itu mengatakan dipaksa untuk menjajakan dirinya. Ia juga mengaku telah dilecehkan oleh Bayu sebelum akhirnya dijual.

Padahal tak seinci pun ia menyentuh wanita setan itu.

Dengan menyimpan dendam membara --- Bayu menduga ini pasti ulah Jeffrey dan Raline. Tidak sulit bagi lelaki berduit itu untuk menjebaknya. Sang muncikari akhirnya kehilangan taring dan cakar. Ia frustrasi karena harus menghadapi masa hukuman bertahun-tahun dalam jeruji besi.

Siang itu, Bayu berjalan gusar sambil dituntun oleh penjaga rumah tahanan. Mereka bilang ada tamu yang ingin bertemu.

Seorang lelaki berusia matang duduk menunggu. Bayu sama sekali tak mengenalnya. Mungkin pengacara dari LBH, tapi untuk apa? Sidang sudah selesai. Hanya saja Bayu yakin 100 persen kalau tamunya itu pasti pengacara. Tampak dari penampilannya yang parlente. Dan tatanan rambut klimis meski telah memutih sepenuhnya.
(LBH : Lembaga Bantuan Hukum)

Bayu merebahkan bokong ke atas kursi. Ia menatap Rafli tanpa berkedip --- ekspresinya bengis. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Bayu.

"Pak Bayu Angkoro?" sapa Rafli.

"Kamu siapa?" tanya Bayu ketus. "Pengacara dari mana? Asal kamu tahu, saya tidak terlibat dalam penjualan wanita dari kalangan artis!"

Senyum tipis terukir pada bibir Rafli.

"Pak Bayu, saya bukan seorang pengacara. Sebelumnya, kenalkan, saya Rafli. Rafli Hardiawan."

"Rafli Hardiawan, sopo? Aku tidak kenal sampeyan," sahut Bayu.

"Memang Bapak Bayu tidak kenal saya. Tetapi kita mengenal wanita yang sama. Lina Larasati," ujar Rafli.

Raut wajah Bayu mendadak berubah. "Ka-kamu kenal Lina?"

"Saya tahu Pak Bayu adalah suaminya. Bapak tiri dari Raline Lara, anak kandung saya," ungkap Rafli.

Bibir Bayu sedikit gemetar. Memori masa lalu berkelindan dan menyeruak.

Rafli kembali melanjutkan, "Saya harap saya bisa menemui putri saya, Raline. Ia tak lagi tinggal di rumah lamanya."

Bayu masih hening. Ia sedang berpikir cepat - memaksa kapasitas otaknya bekerja keras demi mendapat celah. Raline, brengsek! Dia tahu aku di penjara. Lonte itu terang kabur bersama gadunnya -- si Jeffrey. Awas kamu, Line. Netra Bayu kemudian menelik Rafli dari atas ke bawah. Ia tahu lelaki itu mengenakan barang-barang mahal. Ditambah aroma parfum yang bisa tercium dari radius dua kilometer. Pasti bukan merek ecek-ecek.

Bayu pun menyeringai. "Ya, dia memang sudah pindah dari situ," kilahnya.

"Bapak tahu dia di mana?" selidik Rafli penuh penasaran.

Seringai Bayu bertambah lebar. "Ya tahulah. Dia, 'kan, sudah menganggap saya ini bapak kandungnya sendiri. Kalau ada apa-apa, ya, dia bilang ke sayalah."

"Kalau begitu, bisa Bapak membantu saya bertemu dengan Raline?" pinta Rafli.

"Bisa," jawab Bayu. "Tapi ada syaratnya, Pak Rafli. Bantu juga saya keluar dari sini."


KINKY bisa dibaca sampai tamat di BESTORY 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top