SIXTEEN
Jemari Raline lihai menggoreskan ujung pensil di atas kertas. Garis demi garis yang akhirnya membentuk sketsa wajah sederhana. Raline memangku dagu dengan tangan kiri, ia memusatkan konsentrasi.
Sesekali bola matanya memutar ke atas --- mengingat-ingat figur Jeffrey yang ia torehkan dalam gambar. Alis tebal yang membingkai mata pekat Jeffrey. Lalu, bibir tipis kemerahan yang dikelilingi bakal janggut kasar.
Jeffrey tidak pernah menjadi milik Raline, namun kehilangan lelaki itu menyakitinya.
"Line!" Seorang wanita berpakaian daster mengintip dari balik pintu. Ia tersenyum saat menangkap sosok Raline duduk manis di rumah petaknya. Wanita itu melenggang masuk begitu saja.
Bibir Raline terkembang. "Eh, Tante Evi," sapanya. Evi adalah salah satu tetangga Raline. Ia dulu ikut membantu Raline mengasuh Sintia.
"Wih, lagi nggambar, ya? Kebetulan." Evi melirik pada kertas yang tadi menjadi fokus Raline.
Raline meletakkan pensil dan memandang Evi. "Ada perlu apa, Tante?" tanyanya.
"Gini, Line. Ponakanku bulan depan kawin. Aku mau jahit kebaya di tukang jahit, tapi tidak punya contoh kebayanya. Tolong buatkan model yang cocok buatku, dong," pinta Evi.
Raline memang terkenal jago menggambar di lingkungannya. Banyak ibu-ibu tetangga minta tolong dibuatkan pola kebaya tiap kali hendak menjahit kain. Tidak hanya ibu-ibu, saat lokalisasi masih 'hidup', mbak-mbak wisma juga sering request pola baju pada Raline.
"Mau model kebaya apa, Tante?" selidik Raline.
"Alah, yang simpel-simpel wae, Line. Pokoke apik. Kalau bisa yang perutnya ada semacam sabuknya gitu, lho. Ben aku ketok langsing¹," terang Evi.
(¹ Biar aku kelihatan langsing)
Raline mengangguk. "Ehm, coba kalau seperti ini, mau enggak, Tante?" Ia mulai menggoreskan pensil ke atas kertas. Tidak butuh waktu lama, rancangan kasarnya sudah jadi.
"Nah, iki apik, Line." Mata Evi berbinar. Jemarinya menunjuk ke atas kertas. "Tapi, isok nggak, yang bagian sini dibuat kayak yang ..." Ekspresi Evi mengialkan kalau ia sedang berpikir keras. "Itu, lho, Line, yang model seperti Cina itu. Apa namanya, ya?"
Dahi Raline berkernyit. "Cina?" ulangnya. "Oh, kerah Shanghai, ta, Tante?"
"Iya! Model Shanghai!" Evi sumringah.
Raline menghapus sketsanya dan mengganti sesuai permintaan Evi. Ia lalu kembali menunjukkan hasil tangannya kepada Evi.
"Gimana, Tante?" tanya Raline.
"Mantap ini, Line. Mantap. Aduh, makasi, Line." Evi menatap kertas berisi pola rancangan kebayanya dengan antusias. "Kamu pinter gambarnya. Kok tidak jadi Desainer saja? Seperti artis lelaki yang mukanya cantik itu, lho."
Raline terkikik. "Siapa lagi itu, Tante?"
"Aduh! Yang sama Ruben itu. Yang badannya tinggi besar!" terang Evi.
"Ivan Gunawan?" tebak Raline.
Evi bertepuk tangan. "Iyo, kui!" serunya.
"Jadi Desainer ada sekolahnya khusus, Tante. Dulu, aku mau kuliah saja tidak bisa." Raline mengulas senyum getir.
Evi mendecak. "Eman-eman, ya, Line². Padahal kamu sudah ada bakat."
(² sayang sekali, ya, Line)
Raline memilih tidak menjawab. Ia tertunduk membisu. Bagi kalangan kelas menengah ke bawah sepertinya, haram untuk bercita-cita tinggi.
Evi kembali melanjutkan, "Kerja di Koperasi Usaha Bersama saja, Line. Bikin slipper untuk hotel di Wisma Barbara," ujarnya.
Wisma Barbara dulunya merupakan rumah bordil yang bangunannya paling besar di antara wisma lain. Wanita-wanita yang dijajakan tergolong berusia muda dengan tarif tinggi. Bangunan tersebut adalah gedung paling elit pada kawasan gang Dolly dan Jarak. Setelah penutupan tahun 2014, pemkot membeli gedung Wisma Barbara. Kini, tempat itu diubah menjadi tempat pemberdayaan UMKM.
"Tante tahu sendiri, mereka ambil pegawai dari luar penduduk," ucap Raline.
Evi mengangguk setuju. "Iyo. Mana bayarannya kecil pula. Kalau dulu, aku buka warkop saja bisa dapat jutaan per hari, Line. Sekarang, sih, melesu," keluhnya.
Raline enggan berkomentar. Lokalisasi memang seperti dua mata pisau. Banyak kecaman, tapi banyak pula yang bergantung di dalamnya. Pelacuran adalah ancaman matrimoni. Namun, di mana manusia masih ada, usaha lendir akan selamanya abadi.
"Eh, ini gambar siapa? Kok ganteng?" Evi menelisik sketsa Jeffrey yang tadi Raline buat. "Pacarmu, yo? Wih, seperti bule begini? Kenal di mana?"
"Tante bisa aja. Ini bukan siapa-siapa. Cuma imajinasiku saja," kelit Raline.
Evi memicing. "Masa, sih?" pancingnya.
"Iya. Mana ada lelaki ganteng mau sama cewek sepertiku, Tante," gumamnya.
Evi menghela napas dan mengusap punggung Raline. "Jangan bicara begitu, Nduk. Kamu anak yang baik, lho. Meski dulu ibumu begitu, kamu tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan."
Raline makin nelangsa. Evi belum tahu saja, Raline sudah berkecimpung dalam dunia yang sama seperti mendiang ibunya.
"Pesanku ke kamu cuma satu, Line," lanjut Evi. "Hati-hati sama bapakmu, Bayu. Dia masih jadi germo, to? Semua orang di sini tahu. Tapi, herannya dia tidak pernah terciduk aparat. Berkali-kali kedapatan pakai narkoba saat razia, eh, sehari kemudian sudah keluar penjara. Kata Pak RT, sih, Bayu punya backing-an."
"Iya, Tante ..." bisik Raline.
Evi menyenggol lengan Raline. "Jadi betul ini cuma imajinasimu saja?" Ia menunjuk sketsa Raline.
"Ehm, dia enggak suka sama aku, Tante," ungkap Raline.
Evi memilin-milin helai rambut Raline yang panjang. "Kenapa? Kamu, 'kan, cantik. Tahu dari mana dia tidak suka kamu?"
"Dia yang bilang," sahut Raline.
"Terus kamu menyerah begitu saja, Line? Sekarang itu zamannya e-man-pa-si wanita." Evi tampak kepayahan saat menyebut kata 'emansipasi'. "Buat dia menyukai kamu juga, dong. Cari tahu apa kesukaannya."
Mata Raline membulat. "Begitu, ya, Tante?"
"Iya. Kamu sudah tahu belum apa yang dia suka?" selidik Evi.
Raline berpikir sejenak. Ia ingat Marni pernah menjelaskan bahwa Jeffrey adalah Dominan yang berpihak memberikan rasa sakit.
"Dia suka menyakiti, Tante," jabar Raline.
Dahi Evi berkerut. Wanita itu menggaruk-garuk pelipisnya karena bingung. "Kok uaneh men, senengane ngelarani?³"
(³ Kok aneh sekali, sukanya menyakiti?)
"Begitulah, Tante." Raline mengembuskan napas berat.
Sejurus kemudian, mata Evi berkilat. "Berarti, ya, dia suka sama kamu juga, dong, Line!"
"Kok bisa?" cecar Raline.
"Kamu bilang dia sukanya menyakiti, kalau dia berkata dia enggak suka kamu. Itu, 'kan, menyakiti hatimu. Jadi kesimpulannya, dia juga suka kamu. Ngerti opo ora, Nduk?" ujar Evi.
Raline tertawa kecil. Penalaran Evi terkesan dipaksakan. Namun, mungkin pendapat polos dari tetangganya itu ada benarnya juga. Setitik harapan timbul pada relung Raline.
Jeffrey adalah lelaki unik.
Maka, Raline harus menemukan cara untuk menyelami pikiran unik itu. Wanita itu mantap untuk kembali berjuang meraih cintanya. Jeffrey punya utang yang harus ia bayarkan kepada Raline.
Ia telah merenggut kesucian Raline. Tak hanya itu, hatinya juga.
Jeffrey harus bertanggung jawab.
***
Raline berdiri di depan gerbang tinggi kediaman Jeffrey. Ia sudah siap jika security kembali mengusirnya. Raline akan menunggu Jeffrey sampai lelaki itu menampakkan batang hidung.
"Cari siapa, Non?" sapa si security ramah.
Raline mengerutkan dahi. Itu adalah security yang sama dengan yang mengusirnya dulu. Aneh sekali, perlakuan penjaga keamanan itu sangat berbeda sekarang. Raline mengulas senyum kecut, pasti karena dulu wajahnya babak belur. Sudah jadi watak kebanyakan orang memperlakukan wanita dari penampilan semata.
"Bapak Jeffrey ada?" tanya Raline.
Si security tersenyum. "Sudah bikin janji?"
"Belum, sih." Raline menggelengkan kepala.
Security itu membuka gerbang dan mempersilakan Raline masuk. "Masuk dulu, Non. Tunggu di depan pos lebih adem. Biar saya beri tahu Bapak Jeffrey dulu, ya."
Raline berjalan mengikuti si security. Tempo lalu ia diperlakukan seperti sampah. Sekarang security itu sangat baik dan sopan.
"Ini dengan Non siapa, ya?" tanya si security.
"Raline Lara," sahut Raline.
Hola, DARLS!
KINKY sudah tamat di Bestory, silakan kunjungi akun Ayana Ann untuk baca jalur cepat. Part utuh tanpa potongan dan cukup 2K saja, bab tsb menjadi milikmu seumur hidup.
Link bisa kalian temukan di papan percakapan Ay, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top